Friday, March 21, 2008

Berupaya Demi Penghidupan Masa Depan

Text by Sari Widiati, GARUDA Magazine Maret 2008

Sebagian besar wilayah Indonesia merupakan pusat segitiga terumbu karang (The Coral Triangle Center) dunia bersama dengan Malaysia, Filipina, Papua Nugini, Timor Leste dan Kepulauan Solomon, mencakupi 5,7 juta km2 wilayah laut.

Taman Nasional (TN) Wakatobi di Sulawesi Tenggara, yang berada di pusatnya, terus mengupayakan penyelamatan dan pelestarian kekayaan alamnya demi keseimbangan dan penghidupan masa depan yang lebih baik.

Pulau Hoga dijadikan tempat penelitian Operation Wallacoa di TN Wakatobi.

Andalan bagi Berbagai Sektor
Ditetapkan sebagai taman nasional pada 1996 oleh Departemen Kehutanan ketika masih menjadi bagian Kabupaten Buton, nasib Wakatobi, yang merupakan gugusan dari empat pulau besar—Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko—sama seperti taman nasional-taman nasional lainnya di Indonesia. Di samping sebagai tumpuan hidup masyarakat di sekitarnya, ia juga diandalkan oleh berbagai sektor penting. Dilihat dari wilayahnya yang merupakan 97% laut, sektor perikanan dan kelautan adalah yang paling utama setelah pariwisata.

Dengan luas 1.390 juta hektar yang memiliki 39 pulau (hanya tujuh pulau berpenghuni), tiga gosong (beting) dan lima atol (pulau karang), TN Wakatobi menyimpan kekayaan yang melimpah. Tercatat ada 942 jenis ikan dan 750 spesies karang di dalamnya. Bandingkan ini dengan kawasan Karibia yang hanya memiliki 50 spesies karang dan Laut Merah 300 spesies karang serta di dunia yang berjumlah 850 spesies karang saja.

Berdasarkan penelitian Operation Wallacea—pusat penelitian berbasis di Inggris yang membuka pusat penelitiannya di Pulau Hoga, Wakatobi—diasumsikan bahwa 90% kekayaan alam dunia itu terdapat pada taman nasional ini. Belum lagi dalam area seluas 90 ribu hektar terumbu karang itu terdapat atol 48km di Kaledupa, terpanjang di dunia.

Dengan posisinya yang dikelilingi oleh Laut Banda, Laut Flores dan Pulau Buton, ia memiliki keistimewaan tersendiri dibanding daerah-daerah lain karena kemampuannya memberikan jaminan ketahanan dan kemampuan pulih yang tinggi bagi spesies terumbu karang jika mengalami kerusakan. Itu dikarenakan pola arus air yang mempertahankan area ini yang juga berperan sehingga tidak mudah terkena dampak bleaching akibat pemanasan global.

Kegiatan monitoring adalah penting untuk pengelolaan konservasi di TN Wakatobi.Tidak berlebihan jika taman nasional ini dinobatkan sebagai surga bawah laut bagi para penyelam dunia yang disediakan 29 titik penyelaman yang tersebar di kawasannya. Kekayaan hayati yang tinggi tersebut tidaklah serta merta membuai untuk terus digunakan tanpa batas. Praktik penangkapan ikan yang merugikan, seperti pengeboman, penggunaan racun sianida dan kegiatan destruktif lainnya, menjadi ancaman yang terus menghantui. Namun, kondisi yang memprihatinkan itu membentuk pola pikir konservasi akan pentingnya potensi hayati agar di masa depan ia tetap dapat menghidupi masyarakat Waktobi dan pada saat yang sama tetap bagian terpenting dari The Coral Triangle Center.

Berperan untuk Pelestarian
Keindahan TN Wakatobi juga mendorong para pemerhati dan pelestari lingkungan baik dari pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan masyarakat untuk bersama-sama melakukan konservasi guna memperpanjang kehidupan hingga generasi selanjutnya.

Dari peninjauan pada kegiatan Visit Wakatobi bersama WWF-Indonesia beberapa waktu lalu telah terbentuk kesepahaman dalam mengelola pelestarian TN Wakatobi yang dilakukan pemerintah serta LSM atau organisasi terkait, yang kemudian membentuk inisiatif masyarakat untuk berbuat arif.

Setelah membentuk kabupaten baru, yaitu Kabupaten Wakatobi pada 2004, pemerintah setempat semakin serius dalam pengelolaan konservasi aset penting itu. Salah satunya dengan menerapkan sistem zonasi yang dalam perumusannya telah disepakati bersama antara pemerintah pusat, pemerintah kabupaten dan masyarakat setempat. Disusun melalui proses konsultasi publik yang melibatkan banyak pihak, termasuk kelompok-kelompok masyarakat, khususnya kelompok pemanfaat sumber daya alam kelautan di Wakatobi.

Kegiatan monitoring adalah penting untuk pengelolaan konservasi di TN Wakatobi.Sistem zonasi yang ditanda tangani bersama dengan Direktur Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan (PHKA-Dephut) pada 23 Juli 2007 tersebut adalah salah satu cara strategis yang diyakini dapat menjamin pelestarian sumber daya alam hayati serta untuk keberlangsungan perekonomian berbasis masyarakat dan untuk kabupaten.
Aturan zonasi terdiri dari zona inti: daerah larang ambil dan larang lintas, dan zona perlindungan bahari. Daerah larang ambil, boleh lintas dan zona wisata mencakup 36% dari total target konservasi.

Aturan zonasi ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Rencana Tata Ruang Wilayah Wakatobi; pemerintah kabupaten kemudian menyusun visi pembangunan yang mengedepankan dua sektor unggulan, pariwisata dan perikanan.

Sebagai pendukung dalam bidang infrastruktur dibangun lapangan terbang di Wangi-Wangi yang direncanakan beroperasi pada awal 2008. Menurut Bupati Wakatobi Huguan "Dengan adanya lapangan terbang ini Wakatobi tidak lagi terisolasi sehingga lebih mudah dicapai oleh siapa pun yang mau berkunjung, khususnya wisatawan. Untuk sektor perikanan, pemerintah kabupaten mengarahkan peralihan dari perikanan karang ke perikanan laut dalam dan budidaya komiditi laut."

Dalam hal penyelenggaraan pelestarian, Balai TN Wakatobi sebagai badan pengelola kawasan konservasi memiliki 3 pilar utama. Seperti yang disampaikan Kepala Balai TN Wakatobi Wahju Rudianto, "3 pilar utama yang diemban atau diamanatkan itu terdiri dari perlindungan kawasan, pengawetan sumber daya alam dan pemanfaatan sumber daya alam itu sendiri secara lestari."

Kemudian, Wahju Rudianto menjelaskan bahwa dari hasil penyusunan zonasi ada 11 sumber daya penting yang menjadi prioritas konservasi, mereka adalah terumbu karang yang terdiri dari tiga macam; terumbu karang tepi, terumbu karang penghalang dan terumbu karang atol. Kemudian SPAGs (Spawning Aggregation sites) yaitu lokasi pemijahan ikan, penyu, mangrove, burung migran, upwelling (naiknya massa air dari kedalaman ke permukaan yang membawa zat hara), lintasan mamalia laut, padang lamun (seagrass) dan rumput laut (seaweed).

Kejernihan air laut di Pulau Binongko.Perumusan konsep konservasi pun tidak terlepas dari peran aktif organisasi atau LSM pecinta lingkungan. Dari keterangan Project Leader Program Bersama WWF-TNC (The Nature Conservancy) Wakatobi Veda Santiaji, survey lapangan dimulai pada 2003 dengan berkerja sama dengan Balai TN Wakatobi untuk eksplorasi awal dan kelayakan program untuk diterapkan. Dari situ, difokuskan tiga hal untuk lebih dioptimalkan. Pertama, meng-komprehensifkan desain perencanaan kawasan yang juga ditinjau dari pertimbangan ekologis, kepentingan sosial dan ekonomi serta target yang ingin dikejar dalam pengembangannya. Kedua, kegiatan monitoring secara kontinyu sebagai dasar pertimbangan pengelolaan, termasuk penyediaan alat pengamanan dan operasionalnya serta sumber daya manusia. Ketiga, penyuluhan dan pengorganisasian kelompok-kelompok masyarakat sampai pada titik kesadaran bahwa potensi TN Wakatobi yang menjadi bagian hidup mereka harus dijaga kelestariannya.

Upaya-upaya yang dilakukan di atas pada akhirnya membentuk kesetaraan pemahaman di antara masyarakat dalam pengelolaan potensi TN Wakatobi. Mereka yang berpikir lebih jauh mengenai keberlangsungan masa depan segera melahirkan organisasi kecil yang menunjang seperti Forkani (Forum Komunitas Tani) dan Komunto (Kelompok-Kelompok Nelayan Tomia).

Berkat buah pikiran dan tenaga yang mereka lakukan di atas, bukan hal yang mustahil jika TN Wakatobi terus hidup. Namun yang terpenting adalah bagaimana terus menyalakan semangat melestarikannya meskipun masih banyak yang enggan atau bahkan tidak peduli akan nasibnya di masa depan.

No comments: