Friday, December 02, 2005

Tempat Bertemunya Monster Laut

Kawasan perairan laut Indonesia bagian timur hingga saat ini masih menjadi segitiga terumbu karang terbaik dunia. Salah satunya adalah Taman Nasional Wakatobi di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Di kawasan tersebut, alga, udang, dan plankton tersedia melimpah. Apabila di darat berlaku pepatah, "di mana ada gula, di situ ada semut", maka di laut yang berlaku adalah "di mana ada plankton, di situ akan berkumpul banyak ikan".

Tidaklah mengherankan jika kawasan tersebut menjadi lokasi "favorit" beberapa jenis ikan dalam mencari pakan. Salah satu jenis ikan yang sering bertandang ke Wakatobi adalah ikan paus sperma (Physeter macrocephalus). Mamalia raksasa itu memang dikenal suka berpindah-pindah tempat saat mencari pakan, antara Lautan Hindia hingga Samudera Pasifik. Mungkin karena ukuran tubuhnya yang besar, paus butuh pakan dalam jumlah yang besar pula.

Biasanya, kawanan paus sperma berada di Wakatobi pada bulan November, saat belahan bumi lain membeku. Pada bulan tersebut perairan Wakatobi relatif lebih hangat dan berlimpah pakan yang bisa mengenyangkan perut kawanan paus. Pada saat itulah, para monster laut berkumpul. Mengapa disebut moster laut? Karena paus sperma dengan ciri noktah putih berbentuk mirip sperma di kepala itu termasuk dalam ordo Cetacea, yang dalam bahasa Yunani berarti monster laut.

Selain paus sperma, perairan Wakatobi juga dihuni oleh monster laut yang lain. Misalnya, ikan pari Manta (Manta ray) yang ukuran tubuhnya tergolong raksasa dan bentuknya seperti monster laut. Pari Manta merupakan salah satu jenis ikan yang khas dan unik, yang hanya terdapat di perairan tropis.

Menurut hasil survei ilmiah FDC-IPB pada 1994, kepulauan Wakatobi merupakan salah satu tempat penyelaman terbaik di Indonesia dengan keanekaragaman terumbu karang dan ikan yang tinggi. Atas dasar itu, melalui SK Menteri Kehutanan No.393/Kpts-V/1996, kepulauan Wakatobi ditetapkan sebagai taman nasional. Maka dari itu, jadilah Wakatobi sebagai kawasan pelestarian alam yang memiliki ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi (pasal 1 butir 14 UU No. 5 Tahun 1990).

Menyangkut keanekaragaman hayati laut, skala dan kondisi karang, Wakatobi menempati salah satu posisi prioritas tertinggi dari konservasi laut di Indonesia. Hal ini juga merupakan bagian terpenting dalam sebuah jaringan yang saling memenuhi dari Kawasan Perlindungan Laut sepanjang pesisir tenggara Sulawesi. Dengan luas total mencapai 1,39 juta ha, taman nasional ini termasuk kepulauan Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko.

Taman Nasional Wakatobi memiliki potensi sumber daya alam laut yang bernilai tinggi baik jenis dan keunikannya, dengan panorama bawah laut yang menakjubkan. Secara umum, perairan lautnya mempunyai konfigurasi dari mulai datar sampai melandai ke arah laut, dan di beberapa daerah perairan terdapat yang bertebing curam. Kedalaman airnya bervariasi. Bagian terdalam mencapai 1.044 meter dengan dasar perairan sebagian besar berpasir dan berkarang.

Wakatobi memiliki 25 buah gugusan terumbu karang dengan keliling pantai dari pulau-pulau karang sepanjang 600 km. Lebih dari 112 jenis karang dari 13 famili di antaranya Acropora formosa, A. hyacinthus, Psammocora profundasafla, Pavona cactus, Leptoseris yabei, Fungia molucensis, Lobophyllia robusta, Merulina ampliata, Platygyra versifora, Euphyllia glabrescens, Tubastraea frondes, Stylophora pistillata, Sarcophyton throchelliophorum, dan Sinularia spp.

Menurut sumber resmi di Departemen Kehutanan, Wakatobi sedikitnya dihuni oleh 93 jenis ikan konsumsi perdagangan dan ikan hias, di antaranya argus bintik (Cephalopholus argus), takhasang (Naso unicornis), pogo-pogo (Balistoides viridescens), napoleon (Cheilinus undulatus), ikan merah (Lutjanus biguttatus), baronang (Siganus guttatus), Amphiprion melanopus, Chaetodon specullum, Chelmon rostratus, Heniochus acuminatus, Lutjanus monostigma, Caesio caerularea, dan lain-lain.

Selain terdapat beberapa jenis burung laut seperti angsa-batu coklat (Sula leucogaster plotus), cerek melayu (Charadrius peronii), raja udang erasia (Alcedo atthis), juga terdapat tiga jenis penyu yang sering mendarat di pulau-pulau yang ada di taman nasional yaitu penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu tempayan (Caretta caretta), dan penyu lekang (Lepidochelys olivacea).

Masyarakat asli yang tinggal di sekitar taman nasional ini adalah suku laut atau yang disebut suku Bajau. Menurut catatan Cina kuno dan para penjelajah Eropa, manusia berperahu adalah manusia yang mampu menjelajahi Kepulauan Merqui, Johor, Singapura, Sulawesi, dan Kepulauan Sulu. Dari keseluruhan manusia berperahu di Asia Tenggara yang masih mempunyai kebudayaan berperahu tradisional adalah suku Bajau. Kehidupan mereka sehari-hari cukup unik dan menarik, terutama kemampuan mereka menyelam ke dasar laut tanpa peralatan menyelam dan alat untuk menombak ikan.

Pulau Hoga (Resort Kaledupa), Pulau Binongko (Resort Binongko), dan Resort Tamia, merupakan lokasi yang menarik untuk dikunjungi terutama untuk kegiatan menyelam, snor-
keling, wisata bahari, berenang, berkemah, dan wisata budaya. Musim kunjungan terbaik ke pulau ini adalah pada April s/d Juni dan Oktober s/d Desember setiap tahunnya.

Untuk mencapai lokasi, pengunjung bisa berangkat dari Kendari ke Bau-bau dengan kapal cepat regular yang beroperasi dua kali setiap hari, dengan lama perjalanan lima jam atau setiap hari dengan kapal kayu selama 12 jam. Dari Bau-bau ke Lasalimu pengunjung bisa naik kendaraan roda empat selama dua jam, lalu naik kapal cepat Lasalimu-Wanci selama satu jam atau kapal kayu Lasalimu-Wanci selama 2,5 jam. Wanci merupakan pintu gerbang pertama memasuki kawasan Taman Nasional Wakatobi. (Syarifah, S.P.)***

Monday, October 03, 2005

Man or beast? -- the daily talk in a national park

In early September the Indonesian offices of non-governmental organizations (NGOs) the World Wide Fund for Nature (WWF) and The Nature Conservancy (TNC) invited a number of journalists to Wakatobi National Park, Southeast Sulawesi province, comprising 1.3 million hectares, mostly of sea and a few small islands. The following is a report by The Jakarta Post's Ati Nurbaiti and contributor Hasrul.

The classic argument around ecosystems and conservation is ""man or beast"" -- which one to sacrifice? -- while environmentalists insist that sustainable use of natural resources and protection of the species is, in the long term, for the good of both. 

The debate still rages on in the isles of Southeast Sulawesi, involving passionate activists, worried researchers and grumbling fisherfolk. Zoning of fishing areas and national parks, for the locals who have ever heard of these concepts, simply means a series of ""no this, no that"" a nuisance and even unwanted intervention into their livelihoods. 

The middle way is the pragmatic, firm tone of Regent Safaruddin Safar: It's all about cash. ""If we want to attract dollars to Wakatobi then we must preserve the coral. Destroy it and the fish flee, and, in turn, the tourists leave."" 

Local elections are coming up later in September and the environment is becoming a hot political issue. But the incumbent says the pro-conservation stand is the only choice for whoever becomes the new regent for the sake of the economy. 

Already in the waters around the regency of Wakatobi -- an acronym for the main islands of Wangi-wangi, Kaledupa, Tomea and Binongko -- swimmers and divers are safe from the sharks, ironically because the feared rulers of the sea have already left in the past few decades. 

The absence of the feared predators is a main indicator of degradation of the ecosystem here, experts say. 

Bloro, a resident of Kaledupa, cites how sharks were numerous in his childhood. ""My uncle caught an octopus and tied it to the end of the boat, and soon after a shark followed us and we just dragged it home."" 

Fishermen among the famed sea gypsies in Sulawesi, the Bajo people, say they now increasingly sail to the waters further south, to Flores and even Australia, in search of the sharks. The value of the fins apparently continues to lure them to sail for months, even with the threat of imprisonment by Australia's immigration authorities. 

Assessments of coral and other marine life by staff and volunteers by the ongoing Operation Wallacea environmental program here has led to its latest conclusion: The sites selected for study have clearly degraded, compared with last year. 

Locals also cite the greater distance they now must cover to get their delicacies, the best seaslugs (tripang) compared to some years ago. This may be an initial sign of locals' awareness that the greens are looking for -- that people sense they are in trouble if fishing continues at the current rate, and increasingly involving destructive methods like bombing. 

However, it seems playing catch up on the part of these environmentalists will remain the norm in the foreseeable future. 

""There are fish to be caught, every single day,"" says Veda Santiadji of WWF, citing the strong belief of locals. 

He acknowledges the need of more expertise from anthropologists and the like; marine scientists and even those working on social issues say they are bewildered at the behavior here -- today's catch and today's earnings are for today only. 

""One family earned Rp 150,000 in a day and spent it all, including on food,"" says Veda

The global rule on national parks, environmentalists have found, is that local people are the best guardians of the ecosystem, no matter how many regulations or patrol boats the authorities may have (very little, in the case of Wakatobi). Instilling local awareness of retaining the marine life for the future is therefore vital, but the sense here is that high expectations are thrown on the shoulders of the communities alone, without much government support. 

""The locals can't be expected to guard the surroundings by themselves,"" a resident said. ""It's just not fair; we might refrain from fishing in a certain zone but then our neighbor does it and gets away with it."" 

Authorities know what they are up against. Regent Safaruddin says the budget allocates a mere Rp 25 million for patrolling the 1.3 million-hectare area; hence the heavy reliance on big international NGOs like WWF and TNC and their speedboats. 

The law on coastal areas is new, the maximum penalty being five years jail and a hefty fine of Rp 100 million for violations. ""Our approach is mostly giving information and being persuasive,"" says police patrol official La Fasa. 

On one bumping patrol trip through the long coral reefs of Karang Kaledupa, the speedboat stops besides a fairly large boat, belonging to Haji Sana, who's on the deck with his wife and other crew members. La Fasa steps up to approach the big, burly, dark man in a friendly manner, whose eyes dart suspiciously at La Fasa in his green uniform and the blue uniform of forestry policeman Murgiono. Then a few reporters augment the interrogation party and Sana gets worked up: I think he may push us off the boat! 

At La Fasa's question on whether he has a permit, he barks, ""I've been fishing all these years and I've never had to look for permits!"" ""But you should know"", Fasa says gently, ""that when you use a fishing boat like this you must have a permit."" 

He goes along to explain about the national park and Sana retorts he has never heard of it. ""Our catch is worth only so much and the permit is some Rp 100,000!"" 

There is no ticketing or anything and our group leaves after La Fasa and Murgiono feel they have shared enough information and understanding. Sana manages a hesitant smile when we wave, and La Fasa sighs later: ""Sometimes it's as though the supervision of the whole park depends on a few patrol men like us."" 

The current signs are that they might have lots of rest in the coming weeks; a quota policy on fuel has been introduced as the the impact of the fuel shortage has crept even into these waters.

The Jakarta Post ,  Jakarta   |  Tue, 09/20/2005

Sunday, October 02, 2005

Wakatobi dalam Transisi

Jaman Beralih, Musim Bertukar 


Oleh
Adi Seno

WANCI – Perubahan! Itulah satu-satunya yang pasti dalam hidup ini. Dan orang Bajo menyiasati perubahan dengan kehidupan nomadik. Inilah mengapa mereka disebut juga “gypsy laut”. Bagi Chris Major yang sudah sepuluh tahun bersama orang Bajo bahkan beristrikan “orang laut” itu. Ini tantangan! Pasalnya, jika alam rusak, mereka pun minggat.
Ilmu perikanan itu bukan ilmu pasti, demikian Duncan May mengingatkan. Peneliti bergelar doktor ini sudah lima tahunan meneliti di Wakatobi. Ia menjelaskan indikator yang menentukan kurang tidaknya ikan di Wakatobi. “Persepsi masyarakat (melalui penelitian sosiologi) bahwa jumlah tangkapan ikan berkurang,” jelas Duncan yang merupakan wakil dari Wallacea Trust. Data hasil tangkapan pun menunjukkan yang didapat ikan-ikan usia muda. 
Rantai makan yang menjadi landasan siklus hidup untuk di Wakatobi membutuhkan terumbu karang. Sayangnya, terumbu sudah dirusak lewat racun ikan dan bom. 
Racun memabukkan ikan, juga sekaligus merusak terumbu karang. Terumbu itu tempat tinggal dan tempat mereka mencari pangan. Sedangkan, bom selain mengambangkan ikan, juga menghasilkan bongkah karang yang berguna untuk fondasi rumah.
Bagi Chris Major, saudaranya orang-orang Bajo inilah yang harus disadarkan mengenai pentingnya melestarikan sumberdaya laut. Walau mereka hanya sepuluh persen dari jumlah penduduk, menurut Chris Major, peran orang Bajo dalam perikanan sangat besar. Ia bahkan berani menyebutkan 90 persen kegiatan perikanan dilakukan orang Bajo. Ini dengan sendirinya peran mereka dalam overfishing serta praktik perikanan yang merusak juga besar.
“Jadi upaya konservasi harus melibatkan orang Bajo, tanpa mereka mungkin tidak akan berhasil,” ujar Major di Sampela (3/9), desa terapung di lepas pantai Pulau Kaledupa.
Sulitnya mengubah pandangan orang Bajo diungkap Joanna Swiecicka, peneliti antropologi di Sampela yang berasal dari Polandia. Ia menjelaskan, 

mengenai kepercayaan akan umbu mari laut yang selalu akan memberikan ikan lagi pada orang Bajo. Konsep konservasi susah diterima sehingga upaya membatasi perikanan dengan membuat daerah larang tangkap ditanggapi orang Bajo hanya sebagai kepentingan turis asing, bukan untuk mereka.
Major lebih lanjut menjelaskan bahwa orang Bajo, walau sudah memiliki kampung di Sampela, masih punya kecenderungan pindah. Sekarang ini banyak yang berangkat ke Timor. “Jika mereka sudah siap maka keluarga pun dibawa,” katanya.
Bukti omongan Chris Major didapat ketika melakukan kunjungan ke Mola Selatan. Ini juga desa yang mayoritas orang Bajo. Letaknya di bagian kota Wanci, Ibu Kota Kabupaten Wakatobi di Pulau Wangi-wangi. Di sana rombongan wartawan dari Jakarta dan Kendari berjumpa dengan Jufri, pria berputra tiga yang semuanya sudah di sekolah menengah atau lebih tua lagi. Ia sedang menyiapkan kompor untuk dipasang di perahunya. Rencananya dalam tiga hari sejak 5 September lalu, ia akan memulai perjalanan kesekiannya ke Timor.
Pelayaran sendiri akan makan seminggu. Di sana ia akan melanjutkan lagi ke perairan Australia. Rencananya akan menangkap hiu untuk mendapatkan “ekor”-nya. Menurut Jufri, “ekor” (sirip) ini bisa dijual sekilo mencapai Rp 1 juta lebih ke juragan di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Dalam perjalanannya ke sana ia bisa menangguk Rp 33 juta.
Jufri juga mengakui sudah tiga kapal ditangkap di Australia. Kerugiannya diperkirakan satu kapal Rp 10 juta. Jadi Jufri yakin jika ia bisa lolos sekali saja sudah impas, apalagi jika dua kali lolos, pasti untung. 
Dia sendiri mengaku tidak ada niat menjual rumah batunya yang berdiri kokoh di atas fondasi batu karang. Anak-anaknya yang menempati rumah itu untuk melanjutkan sekolahnya. Namun, ia juga mengaku bahwa tetangganya sudah banyak yang berlayar “lama” atau “merantau” ke Timor. Bahkan, dia menyatakan 30 persen lebih orang di Mola Selatan sudah meninggalkan kota itu.

Seperti kata pepatah Melayu “zaman beralih, musim bertukar,” maka bagi orang Bajo jawabannya gampang saja. Mereka merantau mencari tempat-tempat di mana “umbi mari laut” masih menyediakan ikan bagi mereka. Jika itu di perairan Australia, jadilah! (*)

Copyright © Sinar Harapan 2003

Taman Nasional Wakatobi, Bertahan pada Dua Arus

Oleh  Adiseno

 

Wanci – Kata orang di Pulau Hoga, kalau mau ke Binongko akan menyeberang selat dengan arus deras. Begitu juga dari Pasar Wajo di Pulau Buton menuju ke Pulau Hoga, ada gelombang yang menandakan arus ke Laut Banda. Buat orang yang tak biasa melaut, goncangan ini memabukan. Sekarang pulau-pulau di Sulawesi Tenggara itu pun terguncang dua arus, konservasi dan eksploitasi.

Pulau – pulau Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko adalah pulau terbesar di Kepalauan Tukang Besi. Sekarang orang lebih mengenalnya dengan Wakatobi, singkatan keempat nama pulau itu. Ini juga karena nama Wakatobi yang dipakai ketika kawasan seluas 1,39 juta hektare ini dijadikan taman nasional laut pada 1996.

Perkara taman nasional, seperti biasa dimulai dari ketakutan sumberdaya yang kaya didalamnya dijarah manusia. Hutan yang takut habis di darat sudah dari zaman kolonial dipagar-pagar dengan ketentuan hutan lindung. Sayangnya, baru zaman kemerdekaan pada kawasan yang jauh lebih luas lautannya seperti Kepulauan Nusantara kita ini, pelestarian kawasan laut dilakukan.

Salah satunya yang terbesar adalah Karang Kaledupa. Berada 10 mil laut ke barat dari Wakatobi. Ini yang bisa dilihat mata telanjang oleh orang darat dari atas kapal. Jika mau menyelam, situs penyelaman di Wakatobi sampai ratusan jumlahnya. Bahkan ada orang Swiss Lorenz Mader yang membuka resor penyelemanan lengkap dengan bandar udara perintis, yang melayani turis kaya langsung dari Bali.

Juga ada Operation Wallacea (Opswal) yang menyediakan kesempatan bagi ilmuwan dan mahasiswa yang mampu bayar 2000 poundsterling (Rp 37.808.000, - dengan kurs Rp 19.805,- /poundsterling) untuk belajar dari alam kita yang kaya. Ini di Pulau Hoga. Setiap musim pembelajaran yang lamanya tiga bulan bisa seratusan mahasiswa dan peneliti yang datang. Ini sudah berjalan lima tahun, begitu yang dijelaskan John Coop, direktur operasi Opswal.

Bagi awam seperti saya, ini indikasi bahwa memang ada sesuatu yang indah dan perlu dilestarikan. Perlu lestari sendiri diperkuat oleh Duncan May, seorang peneliti yang sudah tahunan di Wakatobi. “Keadaan tangkapan menurun, bisa dilihat jika predator pada rantai makan berkurang,” jelas dia dengan sabar. Maksudnya sekarang ini kalau berenang selepas pantai Hoga tidak bakal lagi ketemu ikan hiu. Padahal hal ini ketika May pertama meneliti bukan hal yang heboh. Jika hiu sudah jarang maka artinya populasi bawah laut juga langka, begitu kira-kira maksudnya.

Ini lah arus pertama yang sudah hampir sepuluh tahun melanda Wakatobi. Arus ini bagi para peneliti konservasi di Wakatobi dinilai lemah. Coba saja tanya pada para petugas taman nasional, pada anggota World Wide Fund for nature (WWF) dan The Nature Conservancy (TNC) yang bergerak dibidang itu disana. Veda Santiaji (WWF), Purwanto (TNC), La Fasa (Polhut), Murgianto (juga Polhut) semua khawatir akan kelestarian bawah laut di Wakatobi. Mereka rata-rata disana sudah selama Duncan May.

 Arus Baru

Kira-kira dua tahun lalu datang arus baru. Entah apa arus ini masih jadi tanda-tanya. Ada undang-undang no 29 tahun 2003 tentang pembentukan Kabupaten Wakatobi. Yah, luasnya seluas 1,39 juta hektare, sama persis dengan luasnya taman nasional. Dan pemilihan kepala daerahnya yang direncanakan Juni ditunda jadi 20 September mendatang. Biasanya, pemerintah daerah dan pimpinannya akan mengarah pada peningkatan kesejahteraan yang kerap identik dengan eksploitasi.

“Saya yakin bisa sejalan,” begitu ujar Sarifudin Safaa pejabar bupati yang bertugas mempersiapkan kabupaten baru ini. Ia optimis pemerintah daerah bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat jika bupatinya mengutamakan konservasi. Demikian diutarakannya di Kaledupa ketika ditemui wartawan. “Saya optimis jika pimpinan mendahulukan konservasi. Hanya itu dan pariwisata.” Demikian Safaa (3/9).

Duncan May pun sepakat. Bisa jadi seperti “dua arus” bertemu seperti dalam ilmu kelautan dimana jika arus panas dan dingin bertemu (Kuroshiwo, contohnya) maka hasilnya jadi lokasi ikan. Richard Unsworth peneliti dari Essex University di Inggris yang jadi pendamping mahasiswa pun sepakat. “Ada kelompok Forkani yang merupakan kumpulan petani rumput laut. Mereka mulai merasa terganggu dengan adanya pengebom dan racun ikan. Jadi mereka mulai bertindak.” Maksud Unsworth masyarakat sendiri mulai menerima perubahan akan kebutuhan konservasi bukan hanya eksploitasi. Jadi ia dan Duncan juga berharap pemerintah daerah pun menerima yang sama. 

Copyright © Sinar Harapan 2003

Tuesday, September 20, 2005

Chris Majoers: Bajo lovely

Si bule yang jatuh cinta pada Bajo

Jauh sebelum James Cook mendarat di pesisir New South Wales, Australia tahun 1770, para pelaut suku Bajo atau Bajau, Sulawesi Tenggara, tanpa banyak ribut sudah menjelajahi kawasan utara benua tersebut.

Hal itu terbukti pada lukisan berusia puluhan ribu tahun di dinding bebatuan karya suku Aborigin di Kakadu National Park di Australia Utara. Sayang, baik Bajo maupun Aborigin bernasib sama. Terlupakan dan terpinggirkan.

Aborigin tak hanya tercerabut dari pola hidupnya yang sub sistem dan dipaksa berbudaya ala pendatang dari benua Eropa dan Amerika. Gamang dan tak nyaman.

Hasilnya, kini mudah ditemui Aborigin yang berkeliaran di jalanan Australia dalam kondisi mabuk menghabiskan jatah sosial secure mereka sembari meminta-minta.

Hal yang sama dialami suku Bajo yang sejatinya adalah penghuni laut karena kondisi politik dipaksa menjadi penghuni daratan. Bayangkan jika manusia yang terbiasa menebar jala harus mencangkul tanah.

Beruntung, Bajo masih memiliki harga diri. Seiring melemahnya pemerintahan Orde Baru yang renta, mereka kembali menjelajahi lautan yang menjadi tempat umbo made laut (ibunda lautan) bersemayam.

Menyelundup ke seputaran Asia sudah biasa. Ditangkap patroli AL Australia pun tak membuat nyali surut. Pendek kata, selama laut masih belum berpagar suku Bajo akan terus berlayar.

“Mereka adalah orang yang mengagumkan dan unik. Itu alasan utama saya terus tinggal di tempat ini sejak 10 tahun lalu,” ujar Chris Majoers pendiri Yayasan Bajau Matilla di Sampela, Kaledupa, Kabupaten Wakatobi, Sultra.

Menurut dia, orang Bajo memiliki pandangan hidup yang serupa dengan Suku Laut di perairan Riau atau Suku Moke di Thailand.

Bagi ketiga suku itu, laut adalah segalanya. Mereka memandang laut sebagai satu-satunya sumber penghidupan. Laut tak sebagai lahan mencari nafkah namun juga sebagai tempat tinggal, bahkan beranak-pinak.

Namun kehidupan Suku Bajo paling unik. Tidak hanya sejarahnya yang unik, tetapi persebarannya juga paling luas.

Sayang kehidupan yang tenang selama ribuan tahun itu harus terusik seiring penetapan Taman Nasional Wakatobi menjadi salah satu daerah konservasi alam.

Tambah lagi kearifan tradisional mulai ditinggalkan. Jika sebelumnya mereka menjala ikan untuk konsumsi sendiri maka seiring perjalanan waktu bom dan bius mulai dipergunakan.

“Mereka sulit untuk diberi pengertian. Mereka selalu beranggapan umbo made laut akan terus memberikan ikan. Tak hanya itu, untuk membangun rumah mereka juga menggali karang. Padahal karang adalah tempat ekosistem laut berbiak,” tutur Chris.

Hasilnya kini keindahan ekosistem batuan karang yang cantik menjadi rusak. berbagai jenis spesies ikan koral yang tinggal di daerah pantai bersama dengan koloni batuan koral makin sulit ditemukan.

Awalnya nyasar

Tidak hanya tinggal, Chris juga menikah dengan Ida, wanita asli suku Bajo dan dikaruniai seorang penerus darah Bajo bernama Era Majoers. “Dia cikal bakal suku Bajo bule. Nanti saya kepala sukunya,” katanya disusul tawa berderai.

Menurut pria kelahiran Saint. Louis, Missouri, AS yang tinggal di Perth, Australia sejak umur satu tahun itu perkenalannya dengan suku Bajo di Sampela itu berawal tak sengaja bahkan cenderung nyasar.

Pasalnya, pada 1993 seharusnya dia, yang saat itu masih merupakan mahasiswa Fakultas biologi di University of Western Australia, melakukan penelitian di hutan Kasi Guncu, Poso, Sulteng dengan pembimbing dari UI, Yatna Supriatna.

“Rupanya hutan di tempat itu sudah habis dibabat. Alhasil penelitian batal dilakukan dan saya kemudian pergi mengunjungi Sampela dan langsung jatuh cinta dengan tempat ini,” ujarnya.

Berbaur dan hidup selama berbulan di tempat itu menjadikan dia mengerti dan jatuh cinta dengan ketangguhan suku yang diharamkan pemerintah Australia. Digalangnya beberapa kawan Bajo untuk membentuk sebuah wadah yang bisa meningkatkan harkat suku itu.

“Tanpa memperkuat suku ini maka mereka akan senasib dengan Aborigin yang juga terbiasa hanya mengambil hasil alam tanpa memikirkan hari esok,”

Awal 1995 berdiri Yayasan Bajau Matilla. Matilla berasal dari bahasa Bajo yang berarti membagi ikan. Makin serius dengan urusan ini Chris pun pulang ke Perth dan pindah jurusan ke Social Science di Murdoch University.

Tak hanya menjadikan kehidupan suku penjelajah laut itu menjadi sumber tesis master dan doktoralnya. Dia juga menggalang dana bagi masyarakat.

Alasannya ikan Napoleon dan Kepe-kepe, Cakalang, Kerapu, Sunu, Cucut dan Kakap yang bernilai ekonomis tinggi makin sulit ditemukan karena perilaku over fishing. Tangkapan pun lebih banyak yang busuk kalau dijual ke pasar di Pulau Bau-Bau.

Itu alasan mengapa Yayasan Bajau Matilla lalu membuat fasilitas pengolahan awal yang dilengkapi sarana kotak es agar hasil tangkapan masyarakat Bajo tetap bernilai ekonomi.

“Mereka [Suku Bajo] memang hanya 10% dari komunitas di seluruh Wakatobi tetapi 90% pemanfaatan laut dilakukan oleh mereka, begitu pula kerusakan yang terjadi,” ujarnya.

Dengan adanya fasilitas ini, lanjutnya, masyarakat Bajo akan belajar bahwa kesejahteraan dapat diperoleh jika melakukan pengolahan dan tidak hanya melakukan penangkapan.

Beruntung sejak organisasi nirlaba lingkungan WWF mendirikan pos penelitian di tempat ini pola pemikiran masyarakat ikut berubah. Pasalnya sepanjang musim turis, Juni-Oktober sekitar Rp150 juta uang berputar.

Untuk setiap wawancara setiap orang suku Bajo dihargai Rp10.000. Jika setiap mahasiswa-yang umumnya berasal dari Inggris-rata-rata melakukan penelitian selama enam minggu dan butuh setidaknya 100 responden, maka jumlahnya lumayan.

“Jumlahnya kecil tapi itu besar bagi mereka. Dan lebih baik daripada nonton acara televisi Indonesia yang menjadikan mereka masyarakat konsumtif.”

Di satu sisi pola konsumtif itu cukup mengkhawatirkan, namun di sisi lain menggelikan.

Bayangkan saja setiap Jumat, saat adzan mengumandang masyarakat justru bergembira karena itu sat mereka dapat menonton VCD film Bollywood koleksi mereka.

Yang memalukan, pemerintah Indonesia mempersulit Chris untuk menjadi WNI. Akibatnya, setiap tahun dia harus bolak-balik memperpanjang visa dan bekerja utuk beberapa waktu di Australia untuk mempertahankan status kewarganegaraannya.

“Saya tidak mengerti mengapa, tapi tak apalah asal saya masih boleh tinggal dan dekat dengan keluarga saya di sini. Dan mungkin justru status ini baik bagi saya dan keluarga jika harus kembali Australia,” ujarnya santai.

*Bisnis Indonesia Edisi: 13/09/2005

Tuesday, August 02, 2005

jurnal 1 Agustus 2005

Pelabuhan Murhum pukul 21.05. KM Riko Saputra tujuan Wanci, sudah menurunkan putaran mesinnya pertanda bersiap untuk melaut kembali setelah seharian tambat.
Pagi tadi acaraku pertemuan dengan staf Balai TNKW untuk evaluasi program outreach dan membahas tindaklanjut pertemuan-pertemuannya. Selesai pukul 15 - an melanjutkan acara hari ini dengan nongkrong di Kamali Beach bersama Beloro, rekan dari Kaledupa. Tampak keramaian wisatawan lokal yang menikmati pinggiran pantai yang belum selesai direhab itu.
Sambil menikmati nasi campur, kulihat speed "Nautilus" meluncur dari utara menuju pelabuhan ferry. "Pasti itu Bardin" gumamku. Tadi pagi sebelum meninggalkan kamar 205 hotel Rajawali ia sempat bilang mau ujicoba speed baru yang sedang finishing setelah beberapa hari dibongkar akibat kesalahan desain di Jakarta.