Sunday, March 02, 2008

Kampung Bajo, "Negeri di Atas Karang"

Suku Bajo atau Bajau banyak berdiam di perairan Sulawesi dan kepulauan sekitarnya. Populasi Bajo sesungguhnya menyebar dari Kepulauan Filipina dan Laut Cina Selatan, Kalimantan, hingga pulau-pulau Sunda. Dulu nenek moyang Bajo juga dikenal sebagai manusia perahu. Kini suku Bajo mendiami "Negeri di Atas Karang".

Sebutan Bajo sebenarnya dipakai untuk orang-orang yang menggunakan perahu sebagai tempat tinggal. Konon mereka berasal dari Laut Cina Selatan. Itulah sebabnya mereka digolongkan suku laut nomaden. Namun, saat ini, suku Bajo yang masih tinggal di atas perahu sudah berkurang. Sebagian besar menetap, walaupun masih di atas laut.

Permukiman suku Bajo memang cukup banyak di sekitar Pulau Sulawesi. Antara lain perairan Manado, Kendari, Kepulauan Togian, Selat Tiworo, Teluk Bone, perairan Makassar, dan Kepulauan Wakatobi (Wangi-wangi, Kaledupa,Tomia, Binongko). Meskipun tersebar berjauhan, mereka masih menjalin hubungan kekerabatan.

Baru-baru ini, rombongan sejumlah wartawan mengunjungi suku Bajo di perkampungan Sama Bahari (dulu Sampela) di Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Aktivis lingkungan dari The Nature Conservancy (TNC) dan World Wide Fund for Nature (WWF) mendampingi perjalan-an itu.

Keberadaan suku Bajo di Sama Bahari sesungguhnya salah satu potensi wisata Wakatobi. Kepulauan seluas 1,39 juta ha tersebut menjadi Taman Nasional Laut sejak 1996. Banyak wisatawan mengagumi alam bawah laut, keindahan terumbu karang, pesona Karang Kaledupa, termasuk kehidupan suku Bajo. Tidak banyak orang dapat memastikan kapan pertama kali mereka tiba di Kaledupa.

Pejabat Bupati Wakatobi H Ahmad Mahufi Madra yang juga putra daerah, mengatakan suku Bajo pertama kali datang dengan menggunakan perahu-perahu. Selama beberapa tahun, mereka tinggal di atas perahu. Mata pencariannya menangkap ikan. Lama kelamaan, populasi bertambah.

"Pada 1957, perkampungan suku Bajo hanya mencapai puluhan rumah. Namun kini perkampungan Bajo di Sama Bahari meluas hingga 5 km persegi. Di samping itu, suku Bajo ada juga yang tinggal di darat," katanya.

Seiring berkembangnya suku Bajo, Pemda Wakatobi mulai menuai persoalan. Kebiasaan suku Bajo mulai bergeser. Setelah mendirikan rumah di atas tiang kayu, mereka mengambil batu-batu karang dari laut untuk pekarangan. Alhasil sebagian besar rumah suku Bajo berdiri di atas karang. Tanpa disadari, kebiasaan mengambil karang-karang besar itu berpotensi merusak ekosistem laut.

Suasana kampung Bajo di pagi hari.

Lapangan bermain di atas batu karang.

Kondisi Lingkungan

Kampung Sama Bahari memang paling sering dikunjungi wisatawan, terutama turis asing peneliti. Kabarnya, perkampungan itu jauh lebih teratur dibandingkan perkampungan Bajo lainnya. Merapat di dermaga kecil, pengunjung memasuki jalan umum yang sesungguhnya jembatan. Walau sebagian besar masih ditopang batang kayu gelondong, sebagian jembatan beralas kayu tersebut sudah menggunakan pancang beton.

"Mereka membangun rumahnya dulu, setelah itu cari batu karang untuk pekarangannya. Untuk membuat satu pekarangan di sekeliling rumah, pengumpulan batu dilakukan enam sampai satu tahun. Jadi istilahnya rumah tancap, kan tiangnya ditancapkan dulu," kata Ma'aruji, nelayan yang juga aktivis Forum Kahedupa Todani (Forkani).

Rumah-rumah suku Bajo asli umumnya beratap rumbia. Dindingnya terbuat dari papan kayu dan kombinasi gedek (anyaman bambu). Kini sebagian rumah warga banyak memakai atap seng. Dahulu, rumah orang Bajo lebih mirip gardu besar, tapi kini sudah memiliki beberapa kamar. Tak satu rumah pun berjendela besar.

Buat wisatawan, Sama Bahari memang memiliki daya tarik tersendiri. Jika menyusuri gang-gang berupa jembatan kayu yang membentang panjang, dapat melihat ikan-ikan kecil berenang di kanal-kanal. Alam se- olah sangat bersahabat dengan mereka. Seorang warga malah memelihara dua ekor elang laut yang jinak. Sesekal tampak ular laut belang berenang bebas di kolong rumah.

Sepintas, permukiman Sama Bahari tampak cukup padat. Penduduknya terus bertambah. Rupanya program keluarga berencana pernah gagal di sana. Ada satu rumah yang dihuni tiga keluarga. Rata-rata satu keluarga memiliki anak enam hingga delapan orang. Bisa dibayangkan, sumpeknya! Belum lagi, sistem sanitasi kurang baik. Sampah dan limbah menumpuk di sekitar rumah. Tak mengherankan kalau menemukan bangkai beberapa ekor tukik penyu sisik di sekitar rumah penduduk.

"Sekarang jumlah keluarga mencapai 250, sedangkan jumlah penduduknya sekitar 800 orang lebih. Sejak ada sosialisasi dari LSM Yayasan Bajo Matilla, keluarga berencana cukup berhasil," ujar Ma'aruji.

Kebiasaan

Suku Bajo di Sama Bahari mengandalkan mata pencarian dari mengelola hasil laut. Selain nelayan, mereka juga mulai mengenal tambak terapung. Beberapa di antara mereka juga bertani rumput laut. Ikan hasil tangkapan dan panenan rumput laut dijual ke Kota Wanci, Pulau Wangi-wangi. Tetapi umumnya, nelayan menjual ikan ke kapal pengumpul ikan yang datang.

Kebanyakan suku Bajo nelayan tradisional. Mereka menangkap ikan dengan menggunakan jaring, bagan apung, dan pancing. Konon dulu orang Bajo biasa menangkap ikan dengan tombak. Kini seiring peradaban modern, kebiasaan itu mulai hilang. Bahkan ada warga Sama Bahari yang sudah menjadi bandar ikan. Pendapatannya bisa mencapai ratusan ribu rupiah hingga jutaan sekali melaut.

"Sayang orang Bajo nyaris tidak ada perhitungan. Pengeluaran mereka tidak teratur. Tidak terpikirkan hari esok, mereka seolah bisa cari lagi di laut. Mereka tidak biasa menabung. Kalau ada roti hari ini, mereka habiskan juga hari ini," kata Ma'aruji.

Sejak beberapa bulan lalu, orang Bajo di Sama Bahari sudah mampu mengatasi kebutuhan air bersih. Dengan menggunakan pipa di dasar laut, air bersih disalurkan dari pulau terdekat. Sebelumnya, mereka harus bolak-balik mengangkut air bersih dengan perahu. "Sekarang mereka bisa beli satu jeriken Rp 500. Atau, mereka bisa ambil sendiri di daratan. Ada sumur gratis di sana," tambahnya.

Di tengah perkampungan, suku Bajo membangun sebidang lapangan, tempat anak-anak sering bermain bola. Tak jauh dari lapangan, ada semacam balai-balai tempat berkumpul, atau menonton siaran televisi. Berkat antena parabola, mereka dapat menyaksikan siaran televisi luar negeri. Untuk sumber listrik, mereka menggunakan generator.

Menurut Outreach & Community Development Coordinator WWF Indonesia Veda Santiadji, perkampungan Bajo di Sama Bahari relatif cukup modern. Mereka sudah memiliki sejumlah fasilitas umum seperti sekolah, madrasah, musala, tempat pelelangan dan penyimpanan ikan.

"Wisata kampung Bajo memang menarik. Tetapi sayang, belum dikelola dengan baik. Perkampungan yang unik itu akan lebih menarik jika ada wisata budaya dan hasil kerajinan," ujarnya. [Pembaruan/Unggul Wirawan]


No comments: