Saturday, December 20, 2008

Dewan Pesisir Wakatobi Gelar Pertemuan Semester II

Wangi-Wangi, Kepres - Dewan pesisir Wakatobi yang terdiri dari perwakilan sejumlah organisasi dan profesi, Selasa (16/12) lalu melakukan pertemuan semester II. Bertempat di Aula RM Wisata Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi. Salah satu tujuan dari pertemuan ini yakni melakukan review atas pelaksanaan tugas Dewan Pesisir Wakatobi. Salah satu tugas dari Dewan Pesisir ini yakni memberikan masukan pada pihak pengelola terumbu karang Wakatobi. Dalam hal ini PMU Coremap II Wakatobi.

Dalam pertemuan ini, ditarik beberapa kesimpulan yang nantinya akan disusun dalam sebuah rekomendasi untuk PMU Coremap II. Diantaranya perlu peningkatan peran media lokal dalam memberikan informasi yang dapat mebuka wawasan dan kesadaran masyarakat terhadap pengelolaan terumbu karang yang berkelanjutan. Serta perlunya peningkatan kerjasama dengam lembaga-lembaga yang konsen dalam melakukan konservasi sumber daya alam di Wakatobi. 

Pertemuan ini dihadiri oleh, Ir Salim yang mewakil Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Wakatobi, Ir Veda Santiaji Pimpinan TNC WWF Wakatobi, Ir Abdul Haris coordinatir tim leader Coremap II Wakatobi, dan Abd Rahman konsultan publik awarnes Coremap II Wakatobi. Hadir pula sejumlah tokoh pemuda, tokoh agama yang juga tergabung dalam Dewan Pesisir ini. 

Sekedar diketahui, sekitar awal juni 2008 lalu Dewan Pesisir ini juga telah melakukan pertemuan yang sama dan berhasil melahirkan sejumlah rekomendasi. Selain pertemuan semesteran semacam ini Dewan Pesisir juga akan melakukan pertemuan tahunan yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat ini.CR2/B/LEX

KENDARI EKSPRESS 17 DESEMBER 2008

Friday, December 05, 2008

Wakatobi Pusat Penelitian Bawah Laut Dunia


WAKATOBI, KOMPAS, 5 Desember 2008 - Kekayaan keragaman hayati atau biodiversity terumbu karang di kawasan Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara, bukan cuma menarik untuk kepentingan pariwisata, melainkan juga ilmu pengetahuan dan penelitian. Bekerja sama dengan sejumlah perguruan tinggi ternama di Eropa, Pemerintah Kabupaten Wakatobi akan menjadikan Taman Nasional Wakatobi sebagai pusat keunggulan dunia untuk penelitian bawah laut
 
"Proses pembangunan pusat keunggulan penelitian bawah laut dunia itu sedang dalam persiapan," kata Hugua, Bupati Wakatobi, di Wangi-wangi, Wakatobi, Kamis (4/12).Hugua menyebutkan. Wakatobi layak mengklaim sebagai surga nyata bawah laut di jantung segitiga terumbu karang dunia yang meliputi enam negara, yakni Indonesia, Malaysia, Filipina, Papua Niugini, Pulau Solomon, dan Timor Leste. Taman Nasional Wakatobi memiliki 750 jenis terumbu karang dari 850 jenis terumbu karang di dunia.
 
"Dari tiga pusat penyelaman kelas dunia, Wakatobi lebih unggul dan menakjubkan. Ini sudah diakui dunia. Karibia hanya punya 50 jenis terumbu karang, sedangkan Laut Merah (Mesir) punya 300 jenis terumbu karang," jelas Hugua.Selama ini, peneliti dari sejumlah negara datang ke Wakatobi untuk meneliti biodiversity bawah laut Bahkan, pada 2009 ratusan peneliti dunia akan mengadakan pertemuan untuk presentasi soal kajian bawah laut di Wakatobi,Sebagai tahap awal, kata Hugua, Pemkab Wakatobi menyiapkan bangunan di Pulau Hoga untuk menjadi laboratorium lahanbasah (wetland laboratorium) pada 2009. Untuk sumber energi, dikembangkan dari tenaga air, angin, atau matahari.Veda Santiaji, Project Leader Joint Program The Nature Conservancy-WWF untuk Taman Nasional Wakatobi, mengatakan sumber daya alam di Wakatobi sangat memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai laboratorium alam yang luar biasa. WWF mengidentifikasi delapan sumber daya alam yang penting di Taman Nasional Wakatobi.Sumber daya alam di Wakatobi itu meliputi terumbu karang, mangrove, lamun atau padang rumput laut (sea grass), daerah pemijahan ikan, mamalia laut, burung-burung migrasi, penelur-an penyu, dan ikan-ikan pesisir. Tetapi yang penting, Pemkab Wakatobi harus tegas soal zonasi wilayah yang sudah disepakati," kata Veda. (ELN)

Wednesday, December 03, 2008

Students head marine conservation in Wakatobi

Matahora is a fishing village on the island of Wangi-wangi, one of four in an island chain which comprises the Wakatobi National Park, Southeast Sulawesi. 

After Wangi-wangi the chain extends southeast -- Kaledupa, Tomia, Binongko -- between the Banda and Flores seas. The quartet makes up the territory of Wakatobi regency, which has much water and little land: 823 square kilometers are islands and 55,113 square kilometers are ocean, 98.5 percent of its total area. 

Wakatobi was declared a protected area in 2002. 

"Wakatobi can claim some of the broadest biological marine diversity in the world," said Ali Basaru, an environmental activist and public high-school teacher from Matahora. 

Ali cited data on coral: Ninety percent of the world's 850 species can be found in Wakatobi regency. 

Research conducted by the Coral Reef Rehabilitation and Management Program from the Indonesian Institute of Sciences (COREMAP LIPI) in 2007 recorded 942 species of fish in the region. It also discovered the world's longest atoll, the coral island of Kaledupa, which spans 48 km. 

Ali said the coral reefs around his village, particularly those along the island's eastern shoreline, were severely damaged between 1998 and 2001. 

"There was a lot of illegal fishing going on with explosives and poisons. The ecosystem was damaged, which then cut into the fishermen's catches." 

Anggun Ciputri Pratami, 18, one of Ali's students, said people near the village had been quarrying coral and stealing sand during that period. 

"The marine and shoreline ecosystem was damaged by locals and outsiders. Unscrupulous fishing was trying to meet export needs to increase their income and they didn't heed good conservation practices," Anggun said. 

Anggun said the rural community and administration in 2002 had begun efforts to restore the coral ecosystem around their village. 

"They gave the lagoon area, Ou Matahora, special protection status.... The open-close system has been in effect in that protected area." 

The open-close system is a traditional marine conservation strategy which allows the area to be open for use by Matahora villagers but closed to outsiders. The Matahore people are responsible for protecting the area at the same time. 

Anggun and her two classmates, Dian Ekawati (18) and Musriani (17) conducted research from May to August 2008 on the effectiveness of this moderate conservation strategy. The three undertook field surveys, studied relevant literature, drew up site maps and interviewed local residents. 

"This system has proven to be effective for rehabilitating damaged coral reefs," Dian said. 

Based on the team's observations, 96 percent of the lagoon's coral is now growing better than eight years ago, thanks to the conservation effort. Fishing in the lagoon is open only during a certain period for local ceremonial practices, and then only after consulting with village leadership. 

"Ou Matahora is closed to all outsiders, not just those using equipment hostile to the environment," Dian said, adding local residents who fished near the lagoon were required to use environmentally friendly equipment. 

Violators could face warnings, customary sanctions and fines. 

The young researchers said they hoped other regions in Indonesia, particularly those around Wakatobi, could imitate the coral reef conservation efforts Matahora villagers have undertaken. They also suggested regional authorities facilitate the local endeavor by legalizing existing customary rules for effective control. 

The group's research efforts earned Anggun and her peers third place in the Young Innovator Contest III for Indonesia's Coral Reef Conservation 2008, organized by COREMAP LIPI on Oct. 24-25 in Jakarta. They presented a working paper to marine experts on Ou Matahora, describing the lagoon as a potential fish bank to support sustainable fishing. 

Since 2007, Wangi-wangi's high school has taught marine conservation as part of its local curriculum. The subjects has also been taught at Wangi-wangi's primary school. 

Ali Basaru said making the subject a full part of the curriculum brings home to the students the importance of safeguarding environmental conditions around their school and homes. 

"Some 70 percent of the studies involve field practice and the rest is theoretical classroom work. So students are taught to practice direct observation in nature," he said. 

Field studies, he added, had proven to be very effective because students could directly observe actual objects or natural conditions. To learn about the coral reefs, Wangi-wangi students snorkeled or dived around the island. 

"They've become more acquainted with the diversity of coral reef and marine biodata through direct experience," said Ali, who sidelines as a marine researcher and dive guide in addition to his teaching and activism. 

He said when his students observed sea grass they discovered various plant species growing around their village that they hadn't seen in their textbooks. 

"Their findings didn't match what the books said. Perhaps the author had gotten pictures and species samples from other regions. 

"Textbook descriptions are often different from actual circumstances in nature ... when the students are taken to coral areas, they can see for themselves the actual conditions and better examine their shapes, sizes and colors," he added. 

Musriani, 17, a second-year Wangi-wangi high school student, said outdoor surveys were very exciting. 

"We can immediately see a wide variety of flora and fauna in the sea and around the shore," she said, adding field work was a valuable experience which acquainted her both with the marine biota and with the ecosystem damage caused by human behavior. 

Through her observations, Musriani said she discovered why coral growth in Ou Matahora had proceeded so fast. Within eight years, damaged coral reefs in Ou Matahora were now almost totally restored. 

"It's because Wakatobi waters are very rich in nutrients conducive to the growth of coral and fish," said the school's research team member. 

In view of the great potential of natural resources in Wakatobi National Park, elevating marine conservation as a full-fledged subject in the schools is a wise move. 

The park has great tourism potential: Its gorgeous beaches and fascinating aquatic panorama attracts foreign tourists and marine wildlife researchers alike. 

"With its conserved marine wealth and unique ecotourism features, our archipelago can bring economic benefit to the local population," Ali said.

Bambang Parlupi ,  Contributor ,  Wakatobi   |  Tue, 12/02/2008

Monday, August 25, 2008

Menengok Jantung Karang Dunia

WAKATOBI. Kawasan kepulauan dekat Pulau Buton ini disebut-sebut sebagai “jantung karang dunia”. Di perairan itu memang muncul sebuah keajaiban alam. Sebuah gugusan pulau karang membentang sekitar 48 kilometer, dengan luas 90 ribu hektare, yang menjadikannya karang terpanjang di dunia.

Di situlah para penyelam internasional bersaksi, di dasar lautnya terdapat panorama terumbu karang yang paling cantik, penuh keanekaragaman ikan yang tak ada duanya di dunia, bahkan dibanding Karibia. Dengan snorkeling sebentar, kita dapat menemui barracuda, ikan badut, dan kuda laut.


Dan siang itu–dalam perjalanan menuju “surga” tersebut–kapal motor yang saya tumpangi pontang-panting digoyang ombak keras Laut Banda. Perjalanan ditempuh dari Kendari, ibu kota Sulawesi Tenggara. Dengan perahu cepat itu, Kendari ke Wangi-Wangi, salah satu pulau di sana, biasanya ditempuh tiga setengah jam. Namun, ombak ganas hari itu membuat perjalanan kami memakan waktu delapan jam.

Nama Wakatobi diambil dari singkatan empat pulau utama: Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Pertengahan April 2008 lalu, saya bergabung dalam sebuah ekspedisi mengeksplorasi potensi wisata Wakatobi. Acara ini diadakan Pemerintah Kabupaten Wakatobi, diikuti sejumlah wartawan dari Jakarta dan lokal. Kami bermaksud mengunjungi keempat pulau tersebut.

Sejak 1996, pemerintah meresmikan perairan Wakatobi menjadi Taman Nasional Wakatobi.  Sebuah keputusan yang saya kira tepat, karena sebagaimana hasil penelitian Operation Wallacea, sebuah lembaga penelitian yang berpusat di Inggris: Wakatobi mempunyai angka tertinggi di dunia untuk keanekaragaman biota lautnya. Lembaga ini mencatat ada 942 spesies ikan hidup di sini.

Di Wakatobi juga terdapat 750 spesies karang dari 850 spesies yang ada di muka bumi. Bandingkan dengan dua pusat terumbu karang lain di dunia. Laut Merah yang hanya mempunyai 300 spesies, sedangkan Laut Karibia hanya 50 spesies.

Pulau-pulaunya juga menyimpan keunikan. Di situ misalnya ada perkampungan para “petualang laut” terkenal suku Bajo. Di beberapa tempat juga terdapat peninggalan sejarah–kejayaan kekuasaan Kesultanan Buton.

***

Kami akhirnya tiba di Wangi-Wangi, pulau terbesar dengan penduduk 50 ribu jiwa, ibu kota kabupaten. Pagi itu tampak sebagian warga memulai aktivitas mereka. Di Desa Liya Mawi, kaum ibu terlihat sibuk memanen rumput laut sembari mengasuh anak mereka. Tumbuhan berkhasiat ini diangkat dari tempat persemaian di laut, tak jauh dari pantai. Rumput laut atau disebut garanggang adalah penghasilan utama mereka. Setelah dipanen, garanggang dijemur kemudian dijual Rp 7.000-8.000 per kilogram.

Tak syak, masyarakat Kepulauan Wakatobi mengandalkan penghasilan utama dari laut. Meski begitu, ada juga sebagian warga Wanci–sebutan lokal untuk Wangi-Wangi–yang berdagang barang bekas impor. “Mereka berburu barang sampai ke Singapura pakai kapal kayu, lalu dijual di sini,” kata Saleh, warga lokal yang menemani saya jalan-jalan di pulau itu.

Wangi-Wangi sempat dikenal sebagai daerah pemasok barang bekas impor berharga murah. Dari pakaian bermerek terkenal, barang elektronik, sampai kendaraan bermotor “beredar” di sini. Saya sempat heran ketika melihat motor gede merek Aprilia melintas di depan saya. “Di sini motor seperti itu bisa dibeli seharga Rp 10 juta saja,” ujar Saleh, yang juga aktivis World Wildlife Fund. Buset.. kata saya dalam hati, karena di Jakarta, merek terkenal itu mungkin harganya lima kali lipat.

Saya mengunjungi Masjid Liya di Wangi-Wangi. Masjid ini konon tertua setelah Masjid Keraton Buton di Pulau Buton. Letak masjid ini di atas bukit, di dekat Benteng Liya Togo. Di zaman penjajahan Portugis dan Belanda, tempat ini merupakan salah satu benteng pertahanan. Tak jauh dari benteng, ada makam Talo-Talo, pemimpin kadiye atau “kerajaan kecil” bagian Kesultanan Buton. Talo-Talo dalam bahasa setempat berarti “dia yang mengalahkan”.

Ada pula makam Djilabu, ulama penyebar syiar Islam daerah itu. Sejumlah bangunan bersejarah ini berada di Desa Liya Togo. Sesuai dengan artinya, tempat ini dulu togo atau pusat kota. Tiap-tiap Lebaran desa ini menyelenggarakan ritual adat Posepa, semacam tawuran massal yang diakhiri dengan bermaaf-maafan, di tanah lapang di depan masjid. Rumah peninggalan La Ode Taru tak jauh dari Masjid Liya. La Ode Taru “raja kecil” terakhir Liya yang dibunuh pada zaman penjajahan Jepang.

Sorenya saya mengunjungi pasar malam Wanci. Pasar itu menjual berbagai kebutuhan warga Wangi-Wangi. Ikan berbagai ukuran, dari yang kecil sampai sebesar anak umur empat tahun, juga ada.

***

Pukul dua dini hari. Tatkala sunyi menyelimuti warga Wangi-Wangi, kami menuju ke Kaledupa. Sebuah kapal pinisi putih bernama Menami yang buang sauh 500 meter di lepas pantai pelabuhan kecil Wangi-Wangi telah menanti kami untuk perjalanan ke Kaledupa.

Pinisi itu sulit bersandar di dermaga karena air laut surut. Untuk mencapainya, kami naik speedboat. Pelayaran dari Wangi-Wangi ke Kaledupa dengan kapal Menami yang punya kecepatan maksimum delapan mil per jam butuh waktu tiga jam.

“Kita berangkat dini hari. Biar pukul lima pagi kita sudah masuk perairan Kaledupa,” kata Veda Santiaji, project leader The Nature Conservancy- World Wildlife Fund, yang memimpin pelayaran.

The Nature Conservancy dan World Wildlife Fund adalah dua lembaga yang dalam lima tahun ini buka base camp di Wakatobi. Bersama pemerintah setempat, kedua lembaga itu memonitor kawasan taman laut nasional.

Kami memasuki perairan Kaledupa ketika matahari masih malu-malu memperlihatkan wajahnya.  Sunrise begitu indah di tempat ini. Pukul enam, kapal buang sauh di perairan yang diapit Pulau Kaledupa dan Hoga. Saya tak sabar bergegas pindah ke kapal motor untuk merapat ke Pulau Hoga.

Meski pulau kecil, Hoga adalah salah satu tempat favorit penyelam profesional dalam dan luar negeri. Di pulau ini terdapat Marine Research Station, yang dikelola Operation Wallacea. Biasanya musim penyelaman terjadi sepanjang satu bulan pada Maret atau tiga bulan sepanjang Juni-Agustus (musim panjang). “Musim panjang, tamu yang datang bisa ratusan orang,” kata Asri, pengurus stasiun riset itu.

Umumnya mereka mahasiswa Eropa dan Amerika yang meneliti biota laut. Di tempat ini mereka bisa tinggal berminggu-minggu. Saya sempat jalan-jalan di pulau teduh dengan rerimbunan pohon itu. Lewat jalan setapak, saya mengelilingi area penginapan para peneliti asing tersebut. Ada sekitar 200 penginapan sederhana, berbentuk rumah panggung kecil dari kayu, tersebar di sebagian pulau. Itu milik warga Kaledupa. “Sewanya Rp 40 ribu semalam tiap orang,” ujar Asri. Harga yang murah untuk orang asing.

Bupati Wakatobi, Hugua mengatakan kehadiran stasiun penelitian itu dirasakan langsung dampaknya oleh masyarakat. Selain mendapat uang sewa penginapan, warga memperoleh penghasilan dari penyediaan makanan untuk mereka. “Operation Wallacea cuma tangani penelitian. Penginapan dan makanan diserahkan ke warga,” kata Hugua.

Sayang, lantaran waktunya tidak tepat, saya tak menemukan satu bule pun di sana. Ratusan penginapan itu kosong melompong, meski adakalanya pulau ini penuh sesak. Wajar jika Hoga jadi daya tarik para penyelam. Pantainya sangat indah berpasir putih, nyiur melambai menyambut siapa pun yang datang. Tak satu pun bungkus permen atau biskuit saya temukan. Kebersihannya terjaga, pemandangan langka di pantai-pantai wisata di Jawa.

Dari atas dermaga kayu, saya melihat ikan warna-warni bermain di celah terumbu karang. Air lautnya jernih, memungkinkan saya menonton pemandangan dasar laut tanpa harus terjun ke air. Pulau Hoga mengingatkan orang akan keindahan laut dan pantai di film The Beach yang diperankan Leonardo DiCaprio. Tak terasa, dua jam kami berjalan-jalan di Hoga. Kami harus kembali ke kapal Menami.

Di kapal ternyata ada rombongan lain bergabung. Mereka menyusul dari Wangi-Wangi naik speedboat. Ada tim penyelam profesional yang akan membuat film bawah laut dengan Nadine Chandrawinata sebagai bintang-nya. Mantan Putri Indonesia itu ditemani ayahnya, Andy Chandrawinata.

Dan peralatan selam kemudian disiapkan. Dua buah boat parkir di sisi kapal Menami, siap mengantar ke Hoga Channel. Ini sebuah dive site atau situs penyelaman yang terletak antara Pulau Hoga dan Kaledupa. Di sini kami membagi dua tim. Tim pertama menyelam hingga kedalaman 20 meter. Tim ini tentu melengkapi diri dengan pakaian selam (wet suit), sepatu katak (fin), masker, dan tabung oksigen. Nadine, yang kini rajin menyelam, tentu di tim pertama.

Saya sendiri bergabung dengan tim kedua, ber-snorkeling ria. Kami tak perlu tabung oksigen. Cuma modal kacamata snorkel dengan selang menjulur ke atas untuk nyemplung ke laut. Selang ini membantu bernapas dengan mulut saat berenang dengan kepala di bawah permukaan air untuk melihat pemandangan dasar laut. Karena itu, tim kami memilih lokasi yang tak terlalu dalam, dua setengah sampai lima meter saja. Saya tidak mau ambil risiko ikut tim pertama menyelam puluhan meter. Jujur, saya tak punya keterampilan menyelam. Ingat semboyan, “Safety first.”

Meski cuma snorkeling, saya mendapat pengalaman tak kalah keren. Di Wakatobi, snorkeling pun bisa menyaksikan “surga” bawah laut. Karang warna-warni menggerombol di sana-sini. Anemon fish atau ikan badut bermain di sela-sela karang lembut anemon yang jadi rumah mereka. Apa jadinya jika karang indah itu rusak gara-gara pemakaian bom ikan?

Makhluk laut yang cantik itu tentu tak lagi bisa bermain dan berkembang biak di sana. Kelestariannya sangat bergantung pada kelestarian karang. Cipto Aji Gunawan, penyelam profesional yang ikut dalam kegiatan ini, mengatakan ada jenis ikan yang bertelur di karang, tapi banyak juga jenis yang tinggal dan hidup di sana. “Lebih dari 33 persen jenis ikan laut bergantung pada terumbu karang,” ujar konsultan pengembangan wisata bahari ini.

Selain Hoga Channel, ada sekitar 20 situs penyelaman tersebar di perairan Wakatobi. Di antara itu, ada yang menjadi favorit para penyelam. Itulah situs Pinnacle, di dekat Pulau Hoga. Di Kaledupa ada Karang Kaledupa dan di Pulau Tomia ada Mari Mabuk. Setiap situs ini punya keunikan masing-masing. Seperti di Karang Kaledupa, terdapat table coral (karang berbentuk meja) berukuran 2-3 meter. “Ini jarang dijumpai di dive site lain,” kata Cipto.

Soal keindahan struktur karang, Pinnacle pusatnya. Di situs ini, karangnya bergunung-gunung, sesuai dengan namanya, Pinnacle atau “puncak”. Lokasi ini juga menjadi habitat ikan barracuda yang jarang ditemui di tempat lain. Ikan berbentuk lonjong seperti peluru itu termasuk hewan laut tercepat. Di Pinnacle, ikan barracuda bergerombol. Hoga Channel lain lagi. Di lokasi ini bisa dijumpai pygmy, kuda laut berukuran sangat kecil. Nadine sampai dua kali menyelam hari itu. Keindahan bawah laut Wakatobi tak pernah ia temukan di tempat lain. “Karangnya indah, ikannya cantik-cantik,” ujarnya.

***

Pada hari ketiga saya mengunjungi Pulau Tomia. Seperti dari Wangi-Wangi ke Kaledupa, perjalanan Kaledupa-Tomia berlangsung sekitar tiga jam. Sebelum berlayar ke Tomia malam harinya, kami mampir di Kaledupa. Dekat dermaga Kaledupa, rumah-rumah panggung warga hampir seragam, berderet rapi. Di sini saya mencicipi ikan bakar, juga kaswami dari ubi dan luluta. Luluta atau nasi bambu adalah nasi ketan yang dibakar dengan batang bambu. Enak.

Kami kembali menyelam dan snorkeling di Tomia. Kami juga mengunjungi Benteng Patua. Seperti Benteng Liya di Wangi-Wangi, Benteng Patua konon dibangun di masa kekuasaan Kesultanan Buton. Letaknya juga di atas bukit. Perlu 30 menit bermobil plus 20 menit jalan kaki ke sini. Beberapa meriam kuno masih terpasang mengarah ke laut, “menyambut” kedatangan musuh. Konon perairan ini dulu dilewati kapal penjajah yang “merampok” rempah dari Maluku. Di area benteng juga terdapat makam tokoh pejuang lokal dan bekas perkampungan.

Ada pula Jomba Katepi yang menyita perhatian. Sumur berlubang kecil sedalam lebih dari 100 meter itu ternyata WC “masa lalu”. Versi berbeda selain tempat buang hajat adalah tempat menceburkan orang-orang hukuman. Sayang, peninggalan arkeologis itu kurang mendapat perhatian. Saat ke sini, jalan setapak menuju benteng tertutup alang-alang. Bangunan benteng dan makam yang seharusnya terlihat, sebagian tertutup pohon dan semak belukar. Apa boleh buat, kesan angker yang terasa.

***

Hari itu juga kami mengunjungi Pulau Binongko. Kami tidak menggunakan kapal Menami, tapi naik speedboat agar cukup waktu. Esoknya kami harus balik badan ke Wangi-Wangi dan kembali ke Jakarta. Memakai perahu cepat, dari Tomia ke Binongko sekitar satu jam saja. Di Pulau Binongko kami mendatangi para tukang besi yang jumlahnya makin berkurang.

Kembali ke Tomia, kami mampir di Wakatobi Dive Resort. Resor eksklusif ini milik penanam modal asing. Mungkin jarang turis lokal menginap di sini. Kebanyakan turis asing berkantong tebal, karena paket menginap dan wisata selamnya dipatok dengan dolar.

Saking eksklusifnya, resor ini membangun Bandar Udara Maranggo, bandara kecil untuk pesawat pengangkut tamu mereka dari Bali. Pemerintah kabupaten pun sekarang tengah membangun lapangan terbang umum di Wangi-Wangi. Bandara yang bakal bernama Matahora ini memiliki landasan sepanjang 1.600 meter, pembangunannya ditargetkan rampung tahun 2008 ini. Sebuah maskapai penerbangan pelat merah sudah siap mendaratkan pesawatnya untuk menarik minat wisatawan berkunjung.

Saat perjalanan pulang dari Binongko, sejumlah ikan lumba-lumba beriringan melintas di depan speedboat kami. Saya jadi ingat yang dikatakan Veda Santiaji. Dulu, di Wakatobi terdapat 30 area pemijahan ikan alami. Pada 2003 jumlahnya menyusut tinggal 12 karena penangkapan ikan berlebihan atau over-fishing. Tahun lalu jumlah ini melorot lagi tinggal empat, dengan satu lokasi kini dalam keadaan kolaps.

Penangkapan ikan di area konservasi masih terjadi. Penggunaan bom untuk menangkap ikan masih dilakukan sembunyi-sembunyi, di tempat yang jauh dari pantauan. Penggunaan bius atau potas oleh nelayan yang dimodali pengusaha lokal masih marak.

Bom menghancurkan terumbu karang. Potas mematikan hewan karang dan sebaran racunnya merusak biota laut lain. Saya tercenung, jangan sampai Wakatobi tak lagi menjadi “surga” ikan-ikan dan terumbu karang.

Dimas Adityo, Wakatobi, April 2008

Friday, August 08, 2008

Wakatobi; Keindahan Terumbu Karangnya Terbaik di Dunia

Satu lagi tulisan tentang Wakatobi yang dimuat di www.ruang keluarga.com yang dikutip dari www. perempuan.com.   Tulisan yang cukup menarik untuk promosi Wakatobi.  Namun masih ada beberapa koreksi yang perlu dibuat pada tulisan ini seperti adanya pembagian suku Tukang Besi Utara dan Selatan, kayanya harus dicek ulang deh...  

Dituliskannya seperti ini, "Destinasi kali ini akan mengusik jiwa petualang anda. Sebuah kawasan yang masih terbilang masih asli menawarkan perjalanan yang tak terlupakan. Adalah Kepulauan Tukang Besi, sebuah gugusan kepulauan yang terdiri dari empat pulau besar dengan luas sekitar 821 km2. Empat pulau besar tersebut adalah Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko yang oleh masyarakat setempat biasa diakronimkan sebagai WAKATOBI.

Sebagaimana namanya, Tukang Besi, kepulauan ini memang terkenal dengan pembuatan keris tradisional yang indah dan tetap diproduksi hingga sekarang. Gugusan kepulauan ini memiliki alam yang masih asli, tenang dengan air laut yang segar, gua-gua bawah laut yang saling berdekatan satu sama lain yang disuguhkan khusus untuk pecinta alam sejati. Bisa dikatakan bahwa wilayah ini merupakan kawasan wisata taman laut pertama di Indonesia.

Meski menyelam bisa dilakukan setiap saat, tetapi bulan April dan Desember adalah bulan yang paling baik untuk melakukan penyelaman karena cuacanya sangat bagus. Di samping menyelam dan snorkling di pantai juga disediakan khusus motor selam, tour snorkling dan penjelajahan di kepulauan. Sebuah kawasan kecil yang berlokasi di samping pulau Tomia seluas 8 km2, bernama Pulau Tolandona (Pulau Onernobaa) memiliki keunikan karena pulau ini dikelilingi taman laut yang indah.

Setelah menempuh perjalanan 5-6 jam dengan kapal cepat dari Kendari, Bau-Bau menjadi tempat transit berikutnya ke Wakatobi. Perjalanan tidak dapat langsung karena jadwal penyeberangan Bau-Bau-Wanci, pintu gerbang Wakatobi terbatas. Lagi pula penyeberangan dengan kapal kayu sekitar satu hari akan sangat melelahkan. Jalur yang biasa dipakai dari Bau-Bau adalah perjalanan darat ke Lasalimu, kecamatan di sebelah tenggara Bau-Bau, sekitar 3 jam. Selanjutnya menyeberang ke Wakatobi. Itu pun jadwal penyeberangan sekali sehari, pukul 06.00.

Ada dua macam suku di Kepulauan Tukang Besi, yaitu Tukang Besi utara dan selatan. Total penduduk kedua suku tersebut kini mencapai kisaran 250.000 orang, tersebar di empat pulau besar Wakatobi. Mata pencarian suku Tukang Besi adalah bertani. Makanan pokok mereka adalah ubi-ubian, yang biasa dibakar dan dimakan bersama ikan. Suku Tukang Besi selatan juga termasuk rumpun suku Buton. Ketergantungan hidup mereka terletak pada hasil laut yang menjadi santapan sehari-hari.

Jika anda ingin berkunjung ke Wakatobi, pada bulan Juli-September ombak bisa setinggi gunung. Namun, bagi anda yang berjiwa petualang, ombak besar tidak menjadi halangan untuk mengunjungi gugusan kepulauan di antara Laut Banda dan Laut Flores ini. Tapi bila anda ingin lebih ‚aman’, bulan Oktober sampai awal Desember merupakan pilihan terbaik menikmati keindahan di Wakatobi. Begitulah beberapa pesan penduduk Wakatobi yang ditemui di Kota Bau-Bau.

Sebenarnya Wakatobi tidak hanya mengandalkan transportasi laut dari Bau-Bau atau Lasalimu. Sejak tahun 2001, transportasi udara bisa menjangkau wilayah kepulauan di timur Pulau Buton ini. Namun, ongkos perjalanan sangat mahal, selain itu transportasi udara hanya melayani jalur Denpasar-Wakatobi dengan jadwal tiap 11 hari.

Kepulauan Tukang Besi mempunyai 25 gugusan terumbu karang yang masih asli dengan spesies beraneka ragam bentuk. Terumbu karang menjadi habitat berbagai jenis ikan dan makhluk hidup laut lainnya seperti moluska, cacing laut, tumbuhan laut. Ikan hiu, lumba-lumba dan paus juga menjadi penghuni kawasan ini. Kesemuanya menciptakan taman laut yang indah dan masih alami. Taman laut yang dinilai terbaik di dunia ini sering dijadikan ajang diving dan snorkling bagi para penyelam dan wisatawan. Sejak tahun 1996, kawasan Wakatobi ditetapkan sebagai taman nasional.

Kawasan wisata juga terdapat di Pulau Wangi-Wangi, Hoga, pulau di sebelah Kaledupa dan Binongko. Selain snorkling dan diving, aktivitas pariwisata lain yang bisa dinikmati adalah pemandangan pantai, menyusuri gua, fotografi, berjemur, dan camping.

Empat pulau besar di Wakatobi memiliki karakteristik khusus, yakni setiap pulau merupakan satu wilayah kecamatan, kecuali Pulau Wangi-Wangi yang terdiri dari dua kecamatan. Wangi-Wangi, pulau pertama yang dijumpai saat memasuki Kabupaten Wakatobi, menjadi pintu gerbang dan paling dekat dengan Pulau Buton. Di sini terdapat pelabuhan besar yang melayani kapal barang dan penumpang di Desa Wanci. Jika Pulau Wangi-Wangi menjadi pintu gerbang transportasi laut, maka Pulau Tomia menjadi pintu gerbang transportasi udara.

Pastikan Wakatobi menjadi destinasi kunjungan anda selanjutnya. Berikan liburan yang sedikit berbeda kepada keluarga anda."

Saturday, August 02, 2008

Suku Bajo dan “No Go Area”

Zonasi Taman Nasional Wakatobi diperbarui untuk mencegah makin susutnya area pemijahan ikan alami. Nelayan suku Bajo khawatir daerah tangkapan menyempit.

——-

DESA Mola Selatan, perkampungan suku Bajo di Pulau Wangi-Wangi, suatu siang pertengahan April 2008 lalu. Rumah La Ode Mustamin tiba-tiba dipenuhi belasan warga. Padahal sang empunya rumah, yang menjabat kepala desa, tidak sedang menggelar pertemuan.


Para nelayan Bajo ini mendadak berkumpul karena sejumlah wartawan–termasuk saya dari Tempo–bertandang ke rumah Mustamin. Seperti dikomando, mereka nimbrung ketika sang pemimpin berkeluh-kesah tentang kesulitan ekonomi yang dialami warga.

Ketua komunitas kerukunan masyarakat Bajo se-Kabupaten Wakatobi ini mengeluhkan aturan zonasi Taman Nasional Wakatobi yang ditetapkan tahun lalu. Sejumlah lokasi menjadi daerah terlarang bagi nelayan untuk menangkap ikan. “Sekarang semua serba dilarang,” kata Mustamin.

Pada Juli 2007, Balai Taman Nasional Wakatobi bersama Pemerintah Kabupaten Wakatobi serta Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam menetapkan peta zonasi. Zonasi ini untuk membatasi daerah yang bisa dimanfaatkan dan yang tidak. Peta ini membagi perairan Wakatobi menjadi lima zona: zona inti, perlindungan bahari, pariwisata, pemanfaatan lokal, dan pemanfaatan umum.

Zona inti atau “no go area” adalah kawasan yang sama sekali tidak boleh dimanfaatkan atau dilintasi kapal. Zona perlindungan bahari juga terlarang untuk penangkapan ikan, meski kapal nelayan boleh melintas. Adapun zona pariwisata hanya untuk wisata. Nelayan hanya boleh menangkap ikan di zona pemanfaatan lokal dan zona pemanfaatan umum.

Zona pemanfaatan lokal inilah yang bisa dimanfaatkan nelayan setempat. Sedangkan nelayan daerah lain, asalkan mengantongi izin, bisa mencari ikan di zona pemanfaatan umum. Aturan zonasi inilah yang dikhawatirkan semakin mempersulit ekonomi warga. Suku Bajo, kata Mustamin, sangat menggantungkan hidup pada hasil laut.

***

Suku Bajo, bagaimana keadaan mereka?

JUMLAH penduduk suku Bajo di Kepulauan Wakatobi kini 12 ribu orang, yang tersebar di beberapa kampung. Selain Mola Selatan, ada Desa Mantigola dan Sampela di Pulau Kaledupa serta Desa Lamanggau di Tomia. Mola terbanyak penduduknya, 7.000 orang. Kampung ini juga paling “modern” dibanding kampung Bajo lain. Beberapa rumah terbuat dari tembok, sebagian beratap seng, menunjukkan sisa-sisa “kejayaan” mereka.

Jalan-jalan setapak yang melintasi kampung dibeton, seakan sudah menyatu dengan daratan. Itu berbeda dengan Kampung Sampela, yang merupakan “rumah tancap” di tengah laut, terpisah dari darat, seakan membentuk sebuah pulau sendiri. Meski lebih modern, sebagian rumah warga di Mola masih menunjukkan ciri khas perkampungan Bajo: rumah panggung dari kayu atau gedek, dengan atap daun kelapa. Kampung didirikan di atas laut, yang ditimbun karang.

Suku Bajo memang tak terpisahkan dari laut. Sejak dulu, mereka dikenal sebagai pelaut ulung, gemar mengarungi lautan Nusantara. Sejak puluhan tahun lalu, para orang tua mereka mendapat berkah dari hasil laut perairan ini. Mereka bisa menangkap ikan dan penyu di mana pun tanpa larangan.

Untuk menangkap ikan, mereka berlayar ke perairan Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua, bahkan sampai ke wilayah Australia. Nelayan Desa Mola Selatan “terkenal” sering terjaring pihak berwajib Australia. “Saya pernah ditahan polisi Australia karena menangkap hiu untuk diambil sirip dan ekornya,” ujar Mujur, nelayan Bajo di Mola.

Mustamin bercerita, pada 1980-an hingga 1990-an, warga Bajo Wakatobi mengalami “masa kejayaan” berdagang penyu sisik. Penyu yang ditangkap sebagian dijual, sebagian dikembangbiakkan. Dulu mereka bisa menjual penyu sisik ukuran 60 sentimeter seharga Rp 100-200 ribu per ekor. “Penyu itu sekarang harganya jutaan,” ujarnya. Mereka menjualnya ke beberapa daerah, terutama Bali. Di Pulau Dewata, kata Mustamin, penyu laku keras karena dibutuhkan untuk upacara adat. Ia pernah menjual 200 ekor penyu sisik ke Bali sekali kirim.

Penjualan penyu memang bergantung pada besar kapal yang digunakan. “Dari berdagang penyu, tiga bulan sekali kami mendapat puluhan juta rupiah.” Setelah penangkapan penyu dilarang di seluruh perairan Indonesia, kegiatan perdagangan hewan itu merosot drastis. Pendapatan mereka sejak beberapa tahun lalu pun jauh berkurang.

Kini kesulitan itu ditambah dengan kekhawatiran soal penetapan zonasi. Meski para nelayan Bajo bisa saja mencari ikan di luar kawasan konservasi, larangan itu tak urung membuat daerah tangkapan mereka semakin sempit. Warga khawatir pendapatan mereka yang sudah berkurang makin menyusut. “Dulu pinjam uang jutaan mudah, sekarang Rp 100 ribu saja sulit,” ujar Mustamin.

Bupati Wakatobi, Hugua, mengungkapkan keresahan warga Bajo. “Manusiawi, mereka merasa terusik.” Padahal, kata Hugua, hanya 10 persen kawasan perairan Wakatobi yang tidak boleh diganggu. Meski demikian, ia mengaku tak membiarkan warga Bajo kesulitan akibat aturan itu. Belum lama ini, kabupaten mengucurkan kredit ringan Rp 20 miliar untuk masyarakat, termasuk warga Bajo.

Kredit ini untuk mengembangkan usaha di sektor perikanan dan kelautan, kerajinan, serta pariwisata. Untuk warga Bajo, kredit dikucurkan antara lain melalui program motorisasi kapal. “Untuk meningkatkan kemampuan menangkap ikan, tapi dengan alat ramah lingkungan.” Nelayan diberi pemahaman bahwa mereka masih bisa menangkap ikan meskipun selektif. Misalnya ikan yang bermigrasi sepanjang waktu dari laut dalam atau laut lepas. “Ikan laut dalam ini yang kita tangkap di Wakatobi,” kata Hugua.

Veda Santiaji, project leader The Nature Conservancy-World Wildlife Fund, mengatakan aturan zonasi dibuat untuk mengefektifkan konservasi kawasan itu. Sejak taman nasional diresmikan, 1996, sebenarnya telah dibuat peta zonasi. “Tapi sampai 2003 belum berjalan efektif,” ujarnya. Nelayan masih menangkap ikan di daerah terlarang.

Area pemijahan ikan, yang dulu tersebar di 30 lokasi, pada 2003 menyusut tinggal 12 lokasi karena penangkapan berlebihan. Penggunaan bom ikan, bius (potas), dan pukat harimau (trawl) yang merusak lingkungan masih terjadi. Terumbu karang di kawasan “segi tiga karang dunia” itu banyak yang rusak akibat praktek tersebut. “Karena itu, zonasi didesain ulang,” kata Veda.

Meski peta zonasi yang baru telah dikeluarkan tahun lalu, bukan berarti aturan ini langsung efektif. Penangkapan ikan di zona-zona terlarang masih terjadi. Penggunaan bom ikan, meski jauh berkurang, kadang dilakukan di tempat yang jauh dari pantauan. “Penggunaan potas juga masih marak.” Karena itu, kata Veda, penerapan zonasi bukan untuk membatasi hajat hidup nelayan. “Tapi justru menjamin suplai sumber daya laut demi kepentingan hajat hidup mereka di masa depan.”

Warga Bajo sendiri sesungguhnya mempersilakan aturan zonasi kawasan konservasi diterapkan. Tapi mereka tetap menanti solusi “alternatif” jika lokasi-lokasi yang mereka anggap banyak ikannya justru masuk zona terlarang. “Kami kan butuh makan,” katanya. Mereka menganggap program bantuan yang direncanakan pemerintah setempat masih belum jelas manfaat dan sasarannya. Tapi, di sisi lain, nelayan Bajo selalu menjadi pihak yang dicurigai melanggar kawasan konservasi. “Kami merasa dianggap seperti anak tiri,” ujar Mustamin.

Dimas Adityo, Wakatobi, April 2008
http://dimasadityo.wordpress.com

Saturday, July 12, 2008

Tim Join Program TNC-WWF Wakatobi


Pepatah lama mengatakan "Tak kenal maka tak sayang...".  Maka di atas ini adalah wajah-wajah tim Join Program TNC-WWF di Wakatobi.  Tentunya untuk dikenali dan disayangi.

Thursday, May 08, 2008

Wakatobi Belum Terpengaruh Perubahan Iklim

JAKARTA - Meskipun suhu laut diakui memanas, Kepulauan Wakatobi (Wangiwangi, Kaledupa, Tomea, dan Binongko) tetap diasumsikan belum terpengaruh perubahan iklim. Kenaikan air laut juga tak ditemui.
“Kami tak menemukan adanya tanda kenaikan air laut yang berpengaruh pada tenggelamnya pulau-pulau di kawasan konservasi Wakatobi saat ini,” urai Wahju Rudianto, Kepala Balai Taman Nasional Wakatobi, Minggu (1/4), di Jakarta.
Justru yang ada saat ini, menurutnya, merupakan kecenderungan naiknya permukaan gosong-gosong (pulau karang) di sana. “Seperti gosong Kabota, yang menurut pengamatan kami malah tumbuh terus permukaan tanahnya,” papar beliau.
Kondisi tersebut menurutnya lazim terjadi karena wilayah ini merupakan daerah tumbukan lempengan. Karena pertumbukan itu, ada beberapa pulau karang terus naik wilayah permukaannya. Data tersebut kemudian disebut Wahju, baru dari pengamatan melalui pasang surut air laut.
Wilayah Wakatobi sendiri dikenal sebagai area dengan topografi bergelombang. Kebanyakan sisi yang menjorok lautan, tidak datar langsung menemui laut. Keberadaan tersebut membuat kondisi fluktuasi kenaikan air laut karena perubahan iklim menjadi isu yang tidak terlalu mencemaskan.
Karena pandangan itu pula, kemudian belum ada program adaptasi masyarakat terhadap perubahan iklim di sana. “Bukan menyepelekan, namun bila melihat kondisi yang ada, kondisi tenggelamnya pulau-pulau di Wakatobi karena kenaikan air laut tampaknya belum akan terjadi dalam waktu dekat ini,” ucapnya.

Tak Ada Pemutihan
Kondisi perubahan lingkungan karena perubahan iklim yang terjadi, saat ini di Wakatobi yang paling signifikan malah terlihat pada naiknya suhu lautan. “Namun kondisi tersebut belum membuat terjadinya pemutihan karang,” kata Wahju.
Meskipun data kenaikan suhu belum dapat dirata-ratakan. Namun kecenderungan kenaikan tidak mencapai titik dua derajat celcius. Sementara itu, tingkat mencemaskan untuk pemutihan karang (bleaching) karena pemanasan bumi diperkirakan bila mencapai titik tiga derajat celcius.
Faktor kerusakan karang yang dicemaskan saat ini kebanyakan datang dari intervensi manusia. Karena hingga saat ini masih banyak nelayan menggunakan bom, bahan kimia, dan jaring sebagai sarana untuk menangkap ikan.
Meskipun Bupati Wakatobi saat ini, Ir Hugua, sudah menyatakan perang terhadap para perusak karang laut. Namun disinyalir cakupan penangkapan ikan secara tak ramah lingkungan di wilayah yang dahulu dikenal dengan nama Kepulauan Tukang Besi tersebut masih luas.
Hal lain yang mencemaskan lestarinya terumbu karang di sana adalah masih digunakannya terumbu karang laut sebagai fondasi rumah. Kebiasaan ini sendiri merupakan adat turun-temurun yang hingga kini masih banyak dilakukan masyarakat sekitar Wakatobi.
Tindakan tersebut terutama terlihat pada masyarakat Sampela yang dikenal beretnis Bajo. Dalam penelitian yang dilakukan Caitlyn Louise Stanley, “Sikap-sikap dan Kesadaran Orang Bajo terhadap Lingkungan Hidup dan Konservasi”, tahun 2005 lalu, terungkap kalau masalah utama dari kebiasaan ini merupakan mahalnya bahan subtitusi pengganti karang laut sebagai fondasi rumah. Konsep keberlanjutan terhadap lingkungan juga belum melekat pada adat budaya mereka.
 
Oleh
Sulung Prasetyo (Sinar Harapan)

Tuesday, May 06, 2008

Kunjungan Putri Indonesia 2005 ke Wakatobi


Nadine Chandrawinata, memenuhi undangan Bupati, berkunjung ke Wakatobi. Berangkat bersama ayah dan sepupunya serta beberapa orang kru dokumentasi Nadine berangkat untuk melakukan sesi pemotretan sekaligus memenuhi hasrat hobi barunya, menyelam.
Promosi gencar Kabupaten Wakatobi sebagai satu destinasi penyelaman unggulan di ajang pameran Deep Indonesia 2007 menyebabkan banyak orang bertanya-tanya "Seperti apa sih Wakatobi dan surga nyata bawah lautnya itu". Surga nyata bawah laut di pusat segitiga karang dunia merupakan visi kabupaten Wakatobi yang tak pernah lupa dikumandangkan dalam setiap event di nasional maupun internasional. Tak heran banyak orang penasaran untuk membuktikannya. Dan Nadine merupakan salah satu yang dengan penuh antusias datang ke Wakatobi untuk membuktikannya.
Perjalanan mengarungi perairan Wakatobi, mulai 10 - 15 April 2008, tak lengkap rasanya tanpa menikmati pengalaman tinggal di kapal FRS Menami. Kapal ini sejauh ini telah menjadi saksi bisu dari kedatangan para jurnalis, pejabat dan selebritis ke Wakatobi. Tak luput pula si Putri Indonesia ini. Tentunya ini berkah tersendiri bagi para ABK, yang sebelumnya hanya bisa menonton di layar kaca, bisa tinggal bersama sang putri selama empat hari.
Dan yang kian membanggakan adalah komentar Nadine ketika ditanya kesannya selama empat hari bersama FRS Menami, "Kamar mandinya bersih dan nyaman. Seperti kebanyakan perempuan, biasanya agak risih kalau harus menggunakan toilet yang tidak bersih. Tapi di Menami saya bisa menikmati perjalanan karena toiletnya yang bersih". Mmmh.. suatu komentar yang tak terduga, tapi cukup berkesan dan tentunya menambah semangat para ABK untuk mempertahankan kebersihan FRS Menami yang sudah dikenal selama ini sebagai "Kapal Putih" yang sangat bersih oleh masyarakat Wakatobi yang berkesempatan menaikinya.
Selamat buat para ABK dan semoga Nadine dan seleb yang lain akan terus ingin menikmati FRS Menami.

Sunday, April 27, 2008

Seminar dan Diskusi: Dive Resorts and Sustainable Tourism in Indonesia

Sebagian dari upaya mempromosikan Wakatobi dilakukan melalui seminar di forum nasional Deep Indonesia. Liputannya sebagai berikut :

Kajian seminar National Geographic Indonesia mengenai keberadaan operator asing, nasional dan komunitas masyarakat lokal, yang diselenggarakan di Lumba Lumba room, Asembly Hall, Jakarta Convention Centre pada hari minggu, 30 Maret 2008, pukul 15:00-17:00, berlangsung hangat, menyerap peserta lebih dari 110 orang membuat panitia harus menambah kapasitas kursi pada saat seminar hendak dibuka oleh moderator Wayan Veda Santiadji dari WWF.

Tantyo Bangun, chief editor majalah National Geographic Indonesia ikut hadir untuk membuka seminar yang dihadiri oleh Bupati Wakatobi, Hugua yang secara khusus diundang untuk ikut berbicara sore itu. Juga Komeng yang mewakili Elang Ekowisata kepulauan seribu, Paul Batuna dari Murex Dive-Bunaken, Sandra Turok dari Eco Divers-Bunaken dan Bapak Ahyaruddin dari Departemen Budaya dan Pariwisata. Cipto Aji Gunawan juga hadir sebagai salah satu panelis mewakili konsultan wisata bahari.

Beragam kalangan datang untuk menyimak seminar bebas yang digelar untuk memeriahkan acara pameran Deep Indonesia 2008 ini. Termasuk juga di antaranya yang hadir beberapa pagawai pemerintah, pelaku pendidikan universitas negeri, pembaca majalah National Geographic Indonesia, mahasiswa, rekan wartawan daerah hingga prospektus bisnis.

Acara yang berlangsung selama 2 jam tersebut mengangkat tema yang sedikit berusaha menggelitik rasa nasionalis dan pula berusaha mengajak membuka peluang berbisnis warna negara lokal untuk merebut dominasi dive operator asing yang masih merambah. Acara ini pun sekaligus menjadi simbolik pembuka Indonesia Reef 2008 yang akan datang.

(dikutip dari http://indonesiareef.com/?show=blog&id=78)

Thursday, April 24, 2008

Nadine Punya Sertifikat Menyelam

Kamis, 24/4/2008
 
WINDIARTO TJANDRA
JAKARTA, KAMIS - Mungkin banyak yang belum tahu bahwa Putri Indonesia 2005, Nadine Chandrawinata, memiliki hobi lain selain jalan-jalan. Hobi lain itu ialah menyelam. Bahkan untuk yang satu ini Nadine sudah memiliki sertifikat.

Nadine yang memiliki tinggi badan  174 cm dan berat 60 kg itu kagum akan keindahan bawah air Indonesia yang kaya akan berbagai makhluk hidup termasuk terumbu karang dan jenis ikan laut dengan berbagai ukuran.
    
Namun, perempuan kelahiran Hanover, Jerman, 1984, itu prihatin akan banyaknya terumbu karang yang rusak akibat pencarian ikan dengan  bahan peledak. 

"Mungkin cara seperti itu dilakukan karena faktor ekonomi. Karenanya kita perlu melakukan kampanye laut untuk merubah pola pikir dan mangajak mereka untuk turut menjaga lingkungan dan ekosistem," kata putri dari Andy Chandrawinata dan Elfie Chandrawinata itu.
    
Menurut Nadine, Indonesia memiliki kekayaan laut yang berpotensi sebagai modal untuk mengembangkan daerah wisata selam dan sekarang negara kepulauan ini harus menjaganya.
    
Kecintaannya terhadap dunia selam juga ditunjukkan oleh perempuan yang sedang menyelasaikan skripsi S-1nya di bidang Periklanan itu dengan mempromosikan bukunya yang berjudul Nadine, Labor of Love.
    
Buku karya Windiarto Tjandra itu menggambarkan kecantikan Nadine Chandrawinata sebagai Putri Indionesia yang juga pernah tampil pada pemilihan Miss Universe 2006 dan keindahan bawah air Indonesia.
    
Sebagai penyelam yang telah mengetahui dan mengagumi keindahan laut Indonesia, penyuka mie itu juga turut mempromosikan tujuan wisata selam Indonesia di Pameran Selam Asia (Asia Dive Expo) 2008 di Singapura yang berlangsung dari 18 hingga 20 April 2008.
    
Pada kesempatan itu, dia mempromosikan tempat wisata selam Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, yang memiliki keindahan laut dengan berbagai tumbuhan dan binatang laut termasuk terumbu karang dan ikan-ikan yang unik.

Thursday, April 03, 2008

Seru, diskusi soal bisnis selam tanah air

Guna memeriahkan pameran Deep Indonesia 2008 pada 28-30 Maret 2008, National Geographic Indonesia ikut berpartisipasi menggelar diskusi bertajuk "Dive Resort and Sustainable Tourism". Titik berat diskusi adalah "menggugat" fakta bahwa jumlah operator selam asing jauh lebih banyak daripada milik negeri sendiri. Selain itu juga dibahas bagaimana mengelola turisme yang berwawasan lingkungan.

Hadir sebagai narasumber adalah Bupati Wakatobi Hugua, Achyarudin dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata yang mewakili pemerintah, Sandra Terok dari Edo Divers Bunaken, Paul Batuna dari Murex Dive Bunaken, Komeng dari Elang Ekowisata Pulau Pramuka, Cipto Aji Gunawan, Marine Eco Tourism Development Consultant, dan Hugua, Bupati Wakatobi. 

Hugua bersuara agak kritis dalam melihat fenomena tidak imbangnya jumlah pengusaha resort selam asing dibandingkan dalam negeri. "Orang Indonesia tidak mau melihat hal-hal kecil yang sudah mereka lihat sehari-hari, sehingga orang asing lebih menghargainya," kata Hugua. Selain itu, dia melanjutkan, "orang kita sering kali melihat orang asing lebih hebat sehingga kita kurang berani. Kalaupun berani, dalam berusaha orang kita cenderung langsung menyaingi bukan mencoba mencipta yang lebih baik.

Sementara itu, dalam presentasinya Achyarudin mengemukakan alasan mengapa wisata selam domestik justru dikuasai oleh pihak asing. "Karena usaha ini lebih dulu dikenal di luar negeri dan mereka lebih memiliki pengetahuan terhadap industri ini," ujarnya. Karenanya, belum banyak pengusaha Indonesia yang memahami industri ini.

Hal berbeda disampaikan Sandra Terok. Dominasi asing, jelas Sandra, disebabkan oleh keberanian mereka berinvestasi. "Penguasaan bahasa asing sesuai negara asal konsumen ikut memengaruhi lakunya dive operator mereka," tegas Sandra. Di sisi lain, konsumen dalam negeri sendiri masih belum banyak karena sarana transportasi dirasakan masih mahal. "Pendidikan lingkungan juga penting karena akan meningkatkan minat terhadap kegiatan selam," tambahnya.




Pendapat senada disampaikan Komeng dari Elang Ekowisata. Di Kep Seribu saat ini banyak resor yang mati suri. "Selain dianggap mahal, ekosistem di Kep Seribu juga banyak yang sudah rusak. Karenanya Elang berupaya mengembalikan ekosistem dengan melakukan transplantasi dan pendidikan lingkungan bagi anak-anak sekolah di P Pramuka untuk mengenal kehidupan bawah laut.

Upaya yang dilakukan Elang selain melakukan transplantasi adalah melakukan pendidikan lingkungan bagi anak2 sekolah di Pulau Pramuka untuk mengenal kehidupan bawah laut. Mereka secara bergiliran diajak dan diajari untuk mampu snorkling. Diharapkan pengetahuan dan minat mereka terhadap laut akan meningkat.

Lalu bagaimana cara agar pengusaha kita bisa bersaing? Cipto Aji Gunawan menawarkan empat hal: pengetahuan, ketegaran, kapital, dan penjangkauan pasar. "SDM kita yang berkualitas masih sedikit. Dan dari yang sedikit tersebut tidak banyak yang berminat membuka usaha diving," tukas Cipto.

 

Diskusi yang dimoderatori oleh Veda Santiadji dari WWF-Indonesia ini diwarnai dengan tanggapan dan pertanyaan dari puluhan peserta diskusi. Salah seorang penanggap menyatakan kelemahan kita adalah kurangnya communication marketing ke generasi muda. Nada kritis terhadap departemen terkait (Budpar) juga terlontar dari Kirtya (Grand Komodo). Budpar, jelasnya, tidak banyak mendukung pengembangan wisata bahari. "Sebabnya, jabatan dalam direktorat terkait tidak diduduki oleh orang yang tepat."*** (Foto-foto: Debbie Hanna)

Friday, March 21, 2008

Berupaya Demi Penghidupan Masa Depan

Text by Sari Widiati, GARUDA Magazine Maret 2008

Sebagian besar wilayah Indonesia merupakan pusat segitiga terumbu karang (The Coral Triangle Center) dunia bersama dengan Malaysia, Filipina, Papua Nugini, Timor Leste dan Kepulauan Solomon, mencakupi 5,7 juta km2 wilayah laut.

Taman Nasional (TN) Wakatobi di Sulawesi Tenggara, yang berada di pusatnya, terus mengupayakan penyelamatan dan pelestarian kekayaan alamnya demi keseimbangan dan penghidupan masa depan yang lebih baik.

Pulau Hoga dijadikan tempat penelitian Operation Wallacoa di TN Wakatobi.

Andalan bagi Berbagai Sektor
Ditetapkan sebagai taman nasional pada 1996 oleh Departemen Kehutanan ketika masih menjadi bagian Kabupaten Buton, nasib Wakatobi, yang merupakan gugusan dari empat pulau besar—Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko—sama seperti taman nasional-taman nasional lainnya di Indonesia. Di samping sebagai tumpuan hidup masyarakat di sekitarnya, ia juga diandalkan oleh berbagai sektor penting. Dilihat dari wilayahnya yang merupakan 97% laut, sektor perikanan dan kelautan adalah yang paling utama setelah pariwisata.

Dengan luas 1.390 juta hektar yang memiliki 39 pulau (hanya tujuh pulau berpenghuni), tiga gosong (beting) dan lima atol (pulau karang), TN Wakatobi menyimpan kekayaan yang melimpah. Tercatat ada 942 jenis ikan dan 750 spesies karang di dalamnya. Bandingkan ini dengan kawasan Karibia yang hanya memiliki 50 spesies karang dan Laut Merah 300 spesies karang serta di dunia yang berjumlah 850 spesies karang saja.

Berdasarkan penelitian Operation Wallacea—pusat penelitian berbasis di Inggris yang membuka pusat penelitiannya di Pulau Hoga, Wakatobi—diasumsikan bahwa 90% kekayaan alam dunia itu terdapat pada taman nasional ini. Belum lagi dalam area seluas 90 ribu hektar terumbu karang itu terdapat atol 48km di Kaledupa, terpanjang di dunia.

Dengan posisinya yang dikelilingi oleh Laut Banda, Laut Flores dan Pulau Buton, ia memiliki keistimewaan tersendiri dibanding daerah-daerah lain karena kemampuannya memberikan jaminan ketahanan dan kemampuan pulih yang tinggi bagi spesies terumbu karang jika mengalami kerusakan. Itu dikarenakan pola arus air yang mempertahankan area ini yang juga berperan sehingga tidak mudah terkena dampak bleaching akibat pemanasan global.

Kegiatan monitoring adalah penting untuk pengelolaan konservasi di TN Wakatobi.Tidak berlebihan jika taman nasional ini dinobatkan sebagai surga bawah laut bagi para penyelam dunia yang disediakan 29 titik penyelaman yang tersebar di kawasannya. Kekayaan hayati yang tinggi tersebut tidaklah serta merta membuai untuk terus digunakan tanpa batas. Praktik penangkapan ikan yang merugikan, seperti pengeboman, penggunaan racun sianida dan kegiatan destruktif lainnya, menjadi ancaman yang terus menghantui. Namun, kondisi yang memprihatinkan itu membentuk pola pikir konservasi akan pentingnya potensi hayati agar di masa depan ia tetap dapat menghidupi masyarakat Waktobi dan pada saat yang sama tetap bagian terpenting dari The Coral Triangle Center.

Berperan untuk Pelestarian
Keindahan TN Wakatobi juga mendorong para pemerhati dan pelestari lingkungan baik dari pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan masyarakat untuk bersama-sama melakukan konservasi guna memperpanjang kehidupan hingga generasi selanjutnya.

Dari peninjauan pada kegiatan Visit Wakatobi bersama WWF-Indonesia beberapa waktu lalu telah terbentuk kesepahaman dalam mengelola pelestarian TN Wakatobi yang dilakukan pemerintah serta LSM atau organisasi terkait, yang kemudian membentuk inisiatif masyarakat untuk berbuat arif.

Setelah membentuk kabupaten baru, yaitu Kabupaten Wakatobi pada 2004, pemerintah setempat semakin serius dalam pengelolaan konservasi aset penting itu. Salah satunya dengan menerapkan sistem zonasi yang dalam perumusannya telah disepakati bersama antara pemerintah pusat, pemerintah kabupaten dan masyarakat setempat. Disusun melalui proses konsultasi publik yang melibatkan banyak pihak, termasuk kelompok-kelompok masyarakat, khususnya kelompok pemanfaat sumber daya alam kelautan di Wakatobi.

Kegiatan monitoring adalah penting untuk pengelolaan konservasi di TN Wakatobi.Sistem zonasi yang ditanda tangani bersama dengan Direktur Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan (PHKA-Dephut) pada 23 Juli 2007 tersebut adalah salah satu cara strategis yang diyakini dapat menjamin pelestarian sumber daya alam hayati serta untuk keberlangsungan perekonomian berbasis masyarakat dan untuk kabupaten.
Aturan zonasi terdiri dari zona inti: daerah larang ambil dan larang lintas, dan zona perlindungan bahari. Daerah larang ambil, boleh lintas dan zona wisata mencakup 36% dari total target konservasi.

Aturan zonasi ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Rencana Tata Ruang Wilayah Wakatobi; pemerintah kabupaten kemudian menyusun visi pembangunan yang mengedepankan dua sektor unggulan, pariwisata dan perikanan.

Sebagai pendukung dalam bidang infrastruktur dibangun lapangan terbang di Wangi-Wangi yang direncanakan beroperasi pada awal 2008. Menurut Bupati Wakatobi Huguan "Dengan adanya lapangan terbang ini Wakatobi tidak lagi terisolasi sehingga lebih mudah dicapai oleh siapa pun yang mau berkunjung, khususnya wisatawan. Untuk sektor perikanan, pemerintah kabupaten mengarahkan peralihan dari perikanan karang ke perikanan laut dalam dan budidaya komiditi laut."

Dalam hal penyelenggaraan pelestarian, Balai TN Wakatobi sebagai badan pengelola kawasan konservasi memiliki 3 pilar utama. Seperti yang disampaikan Kepala Balai TN Wakatobi Wahju Rudianto, "3 pilar utama yang diemban atau diamanatkan itu terdiri dari perlindungan kawasan, pengawetan sumber daya alam dan pemanfaatan sumber daya alam itu sendiri secara lestari."

Kemudian, Wahju Rudianto menjelaskan bahwa dari hasil penyusunan zonasi ada 11 sumber daya penting yang menjadi prioritas konservasi, mereka adalah terumbu karang yang terdiri dari tiga macam; terumbu karang tepi, terumbu karang penghalang dan terumbu karang atol. Kemudian SPAGs (Spawning Aggregation sites) yaitu lokasi pemijahan ikan, penyu, mangrove, burung migran, upwelling (naiknya massa air dari kedalaman ke permukaan yang membawa zat hara), lintasan mamalia laut, padang lamun (seagrass) dan rumput laut (seaweed).

Kejernihan air laut di Pulau Binongko.Perumusan konsep konservasi pun tidak terlepas dari peran aktif organisasi atau LSM pecinta lingkungan. Dari keterangan Project Leader Program Bersama WWF-TNC (The Nature Conservancy) Wakatobi Veda Santiaji, survey lapangan dimulai pada 2003 dengan berkerja sama dengan Balai TN Wakatobi untuk eksplorasi awal dan kelayakan program untuk diterapkan. Dari situ, difokuskan tiga hal untuk lebih dioptimalkan. Pertama, meng-komprehensifkan desain perencanaan kawasan yang juga ditinjau dari pertimbangan ekologis, kepentingan sosial dan ekonomi serta target yang ingin dikejar dalam pengembangannya. Kedua, kegiatan monitoring secara kontinyu sebagai dasar pertimbangan pengelolaan, termasuk penyediaan alat pengamanan dan operasionalnya serta sumber daya manusia. Ketiga, penyuluhan dan pengorganisasian kelompok-kelompok masyarakat sampai pada titik kesadaran bahwa potensi TN Wakatobi yang menjadi bagian hidup mereka harus dijaga kelestariannya.

Upaya-upaya yang dilakukan di atas pada akhirnya membentuk kesetaraan pemahaman di antara masyarakat dalam pengelolaan potensi TN Wakatobi. Mereka yang berpikir lebih jauh mengenai keberlangsungan masa depan segera melahirkan organisasi kecil yang menunjang seperti Forkani (Forum Komunitas Tani) dan Komunto (Kelompok-Kelompok Nelayan Tomia).

Berkat buah pikiran dan tenaga yang mereka lakukan di atas, bukan hal yang mustahil jika TN Wakatobi terus hidup. Namun yang terpenting adalah bagaimana terus menyalakan semangat melestarikannya meskipun masih banyak yang enggan atau bahkan tidak peduli akan nasibnya di masa depan.

Friday, March 07, 2008

Ekspedisi NGI ke Wakatobi

Rombongan relawan NGI ke Wakatobi menghasilkan satu catatan perjalanan dari salah seorang relawan itu.  Tulisannya yang dimuat di blog Indonesia Reef adalah sebagai berikut :

Trip to Wakatobi

by Tono Suhartono

Towards the end of the year 2007, I still got no plan to spend the end of the year while there are still a lot of leaves that I have not been able to spend. Suddenly, there was an announcement in Alfa Dolfin mailing list, inviting divers to participate in Reef and Spawning Aggregations monitoring at Wakatobi. I registered and soon found out that Bonar Sitohang (my friend at Alfa Dolfin as we used to dive together) also participated in the event.

The trip was organized by Indonesia Reef – NGI (National Geographic Indonesia) together with TNC (The Nature Conservancy) and WWF (World Wildlife Federation). A lot of sponsors are supporting the event including Ody Dive. Ody Dive was involved in planning the trip together with NGI.

Initially there were 12 divers, but soon after it was increased to 18 divers. At the technical meeting, Sari - the dive coordinator - reminded us to limit our baggage to maximum 15 kg. She said it was caused by relatively small airplane that flying from Makassar to Baubau at Buton Island where by only 65% of the gross weight will be carried by the airplane the rest will be sent on the next day. After nearly removing all fancy items, I managed to get 20 kg. Sari was in no objection when I sent an SMS to her indicating my baggage weight. It turned up later the baggage limitation inflicted some problems in some of the divers. Some found the meals were not suitable but they did not bring enough food of their own choice. Many of participated divers did not bring their Under Water casing for underwater photography.


On 25 December 2007 early in the morning, we embark on the journey to Makassar by plane. Soon after we landing at the Makassar, there was another mishaps as a result of miss management where by our luggage were not transferred directly to next flight to Baubau but was sent down to conveyor belt instead. So we recheck in again at Makassar. The flight to Baubau was delayed also for about 2 hours. I met with my co-worker at the airport lounge but I forgot who he was. After talking with him around 15 minutes, I finally gave up and asked Department he working for and he said Field Human Resource. I then remembered he was Arnham Pattamwari. I used to meet him at Musholla in Badak while performing Ashar prayer. I left Badak already for more than a year, so it a bit hard to remember everyone.

I was a bit sick when leaving Jakarta, but since Debbie – Sari’s assistance- requested me to submit a health certificate I went to a doctor couple days before trip. The doctor then directed me to an internist specialist. Then I got a lot of medicine including Aridin that should be used before diving.

Finally at 15:00 WITA, there was an announcement to board the plane to Baubau. Makassar - Baubau took around 45 minutes using twin turboprop engine. Soon after we landed at Baubau, we embark on land cruise to Pasarwajo which took around 2 hours driving using a bus. The facility at Baubau airport was very poor. The toilet has no water. I cannot imagine if I have to wait for a flight in that airport. The airstrip also very short, I think that was the reason for limiting baggage weight.

At Pasarwajo port, the ship FRS (Floating Ranger Station) Menami already waiting for us. Some divers took liberty to shower and clean themselves as Menami was loaded with fresh water. The spirit was a bit high at that time. I can feel it. From a driver at Wanci, I later learned that Menami is the common local name for Napoleon fish. Menami have 12 beds at the bottom deck and 4 beds at the lower deck. She has two toilets. The upper deck was an open but sheltered deck giving a room for a meeting and comfortable sleeping room at night. The pre-dive briefing and training were given in the upper deck.

On the day two, at the Hoga Channel near Kaledupa Island, we were attending training and met with media team consisting reporters and presenters. I managed to get signature and photo of the famous presenter Rianni Djangkaru as requested by my nephew who is very much fond of her. The training was about how to perform monitoring. It was very much scientific, but to perform it requires an advanced diving skill. The data will be used as a feed back to TNKW (Taman National Kepulauan Wakatobi – Wakatobi islands National park). The data includes Reef health status, herbivore fish population, and carnivore fish population. There is a correlation between those three that indicates ecosystem healthiness. The other training was on Spawning Aggregations (SPAGs) monitoring; whereby we monitor fishes especially of a rather large commercial fishes were mating in a large aggregation. There were 5 known locations for the SPAGs usually takes place, that are now reserved and agreed with locals not be fished. The locations are kept secret to preserve the fish populations. To monitor SPAGs requires a lot of effort as it took place in heavy current area. The current ensures eggs are spread around avoiding being eaten by the predators.

I realized, I have entered a scientific community where people talking about fish by their scientific names instead of common names such as Baronang, Kerapu etc. The TNC personnel were talking about fuscogattus, aerolatus, etc. Upon mixing with these researchers, Bendri –our speed boat captain- has developed his own scientific name for his Batak friends such as ucoklatus etc.

The diving was quite good. We saw several Spawning Aggregations. We saw Wakatobi pigmy sea horse, turtle, large fish and also nudi branch. I was once attacked by a trigger fish called Titan. Luckily, I can move back quickly avoiding it. Pak Putu, TNC personnel, was laughing when I met him shortly afterwards, it was the first time he was laughing under water and I was a bit shock at that time. Later at the ship, Sessy informed me that there was an event she read in a magazine where by a diver lost his ear eaten by Titan. Titan can be very aggressive especially when approached by human while it nesting. Titan has very strong jaws.

To avoid problems due to unfit body, I always dive closer to the surface than anybody else in the group and immediately went on to the surface once one of the researchers surfacing. Kiki once asked me why I surfaced so quickly. The next dive, however, she was diving close to the surface also. Upon asking her on air status, she showed me the gauge that went 50bar then reduce to 30 bar and increase again to 50bar. I then open her tank exhaust and immediately the indicator showing 100bar. So she surfaced with 100bar tank.

On the day three we were hit by a storm. The ship was move around by gusty winds on top and heavy current in opposite direction at the bottom resulting both anchors were moved several meters. The ship ended up sink to the sea sand below. Upon starting the engine, the rear side of the ship sink deeper as the front side was stuck at the sea bottom. The ship can leave the site after water level increased due to high tide at mid night. The next morning, the snorkeling crew found the ship propeller was damaged. The ship was then docking at Kaledupa port and we stayed there for about 2 days while waiting for propeller being fixed at Wanci. The good thing was that we can perform Jum’ah prayer at Kaledupa in congregation instead of individually at the ship as it was originally planned.

After hit by a storm, the team spirit was down, nearly all team members were sick. The only one who was not sick was Darwin, the body builder. Sari tried to boost team spirit by performing a visit to Kaledupa salt water lake and wait for sun set at Sombanu beach at the other side of the Kaledupa Island. It was quite enjoying actually. Just before the storm, we visited a village in Hoga to release tension after a training that finished late at night and a full day monitoring exercises. However, being a true divers, the team spirit always boosted when we were about to dive especially a fun dive. Nearly all team members went diving regardless of their sickness. At the bottom, the sickness is healed, they said.

From Tomia, we were informed that BMG (National Weather Bureau) had released information saying that in 1-2 days ahead a huge tropical storm will be approaching. After diving in the morning under light rain, we headed up to Wanci which took around 5 hours under heavy storm using Menami. We spent New Year eve at the boat at Wanci and visited TNC-WWF office at Wanci. I took Yayan’s picture in front of TNC-WWF office as depicted above. From Wanci we went to Kendari using regular ship that took around 10 hours.

At the end of trip, we were greeted with Ir. Hugua, Wakatobi district head (Bupati) in Kendari. He asked us how our feel on the overall trip. Before meeting him, Sari already appointed Yayan, the eldest among us to talk on our behalf. So when Bupati asked how our observation was, we all looked at Yayan. Being late at night (around 23:00 hours at that time) and lack of sleep, Yayan nervously mentioned that we have visited Tomiang (should be Tomia) and Kelapa dua (a district in Jakarta instead of Kaledupa). The team was then burst in laughing. Anyway, I saw a leader with very optimistic view in pak Bupati. Being an entrepreneur himself, he has a vision to make Wakatobi a major tourist destination in the near future.

Overall trip was quite adventurous and yet scientific. Look forward for another trip with NGI.

Seru... khan!!!  Ditunggu loh kalau ada yang mo ke Wakatobi di trip berikutnya 2008

Sunday, March 02, 2008

Perdagangan Penyu Masih Terjadi di Sultra

Kamis, 28 Februari 2008 | 22:03 WIB

KENDARI, KAMIS - Meski sudah menurun, praktik perdagangan satwa langka penyu masih terjadi di Sulawesi Tenggara terutama di Wanci, Moramo, Ereke, dan Tikep, demikian hasil investigasi ProFauna Indonesia.

"Perdagangan penyu di wilayah Sultra sebagian besar terjadi di pesisir timur, terutama yang menghadap ke laut banda, "kata Koordinator ProFauna Indonesia I Wayan Wiradnyana di Kendari, Kamis (28/2). Menurut dia, penyu-penyu yang di perdagangkan di Sultra selain untuk konsumsi lokal sebahagian juga di kirim keluar pulau, terutama ke Bali.

Dari perbagai informasi yang diperoleh di lapangan, penyu yang dikirim ke Bali selain berasal dari Sultra juga berasal dari Sulteng, yaitu Pulau Padei dan Pulau Masudihang. Daerah yang paling banyak mengirim penyu ke Bali yaitu Wanci, Kabupaten Wakatobi dengan pengiriman pertahun rata-rata 600 ekor penyu dan sebahagian besar ditangkap di perairan Taman Nasional Wakatobi.

Sedangkan daerah lain di Sultra Yaitu Ereke, Kabupaten Buton Utara rata-rata sebanyak 250 ekor per tahun, Moramo, Kabupaten Konawe Selatan rata-rata 240 ekor dan Tikep Kabupaten Muna 25 ekor per tahun.

"Penampungan penyu di Wanci sangat terbuka, penyu-penyu tersebut diletakan di kolam-kolam penampungan yang ada di depan rumah penduduk dan apabila ada kapal dari Bali yang datang maka penyu tersebut baru akan dinaikan ke kapal," katanya.

Jika petugas mau melakukan penyitaan maka sebenarnya sangatlah mudah untuk dilakukannya karena kolam penampungan penyu tersebut lokasinya didepan rumah. Perdagangan penyu di Wanci diduga masih terjadi dan pengiriman penyu dari Wanci ke Bali biasanya dua sampai tiga kali dalam setahun dengan waktu yang tidak bisa ditentukan secara pasti.

Menurunnya, perdagang penyu di Sultra di sebabkan petugas BKSDA dan Departemen Kehutanan, Polisi dan TNI AL aktif melakukan operasi penyitaan dan dalam dua tahun terakhir ini petugas telah menyita lebih 300 ekor penyu.

Meski Perdagangan penyu di Sultra telah menurun, tapi ini bukan berarti perdagangan penyu berhenti total. Hasil investigasi ProFauna Indonesia tahun 2007 membuktikan bahwa perdagangan penyu di daerah ini masih terjadi meski dengan cara sembunyi-sembunyi dan diperkirakan dalam satu tahun ada sekitar 1.115 ekor penyu yang diperdagangkan.

Jenis penyu yang diperdagangankan di Sultra yaitu penyu hijau (Chelonia mydas) dan faktor harga jual yang tinggi menjadi penyebab terjadinya penangkapan penyu. Harga penyu hijau yang dijual ke kapal-kapal yang berasal dari Bali, Rp450.000/ekor, sedangkan harga untuk pasaran di Bali mencapai Rp1 juta per ekor ukuran dewasa.(ANT/WAH)

WAKATOBI

JIKA hendak berkunjung ke Wakatobi bulan Juli-September harus siap menghadapi ombak setinggi gunung. Namun, bagi yang berjiwa petualang, ombak besar tidak menjadi halangan untuk mengunjungi gugusan kepulauan di antara Laut Banda dan Laut Flores itu. Bagi yang tidak sanggup menghadapinya, bulan Oktober sampai awal Desember merupakan pilihan terbaik menikmati keindahan di Wakatobi. Begitulah beberapa pesan penduduk Wakatobi yang ditemui di Kota Bau-Bau.

SETELAH menempuh perjalanan 5-6 jam dengan kapal cepat dari Kendari, Bau-Bau menjadi tempat transit masyarakat dan wisatawan yang akan pergi ke Wakatobi. Perjalanan tidak dapat langsung karena jadwal penyeberangan Bau-Bau-Wanci, pintu gerbang Wakatobi terbatas. Lagi pula penyeberangan dengan kapal kayu sekitar satu hari akan sangat melelahkan. Jalur yang biasa dipakai dari Bau-Bau adalah perjalanan darat ke Lasalimu, kecamatan di sebelah tenggara Bau-Bau, sekitar 3 jam. Selanjutnya menyeberang ke Wakatobi. Itu pun jadwal penyeberangan sekali sehari, pukul 06.00. Dapat dibayangkan perjalanan yang sangat tidak praktis, menyita waktu, dan melelahkan.

Sebenarnya Wakatobi tidak hanya mengandalkan transportasi laut dari Bau-Bau atau Lasalimu. Sejak tahun 2001, transportasi udara bisa menjangkau wilayah kepulauan di timur Pulau Buton ini. Sayang, tidak semua bisa memanfaatkannya karena ongkos perjalanan sangat mahal. Kebanyakan wisatawan asing yang berduit yang menggunakannya. Selain itu transportasi udara hanya melayani jalur Denpasar-Wakatobi dengan jadwal tiap 11 hari.
Berdasarkan paparan tersebut, salah besar jika ada yang menyimpulkan bahwa kabupaten pecahan Buton ini terisolasi. Terbukti, setiap hari, tidak tergantung cuaca, masyarakat aktif melakukan pelayaran Wanci-Lasalimu. Bahkan sejak zaman dahulu, mayoritas masyarakat yang termasuk suku Bajau sering berlayar mencari ikan atau merantau ke luar Wakatobi, malahan ke luar Indonesia. Mereka terbiasa hidup di laut dan sanggup beradaptasi dengan alam. Begitu juga dengan wisatawan asing. Tahun 2002 kunjungan wisatawan asing meningkat 22 persen dari tahun sebelumnya 540 orang. Setiap bulan selalu ada wisatawan asing berwisata ke Wakatobi. Bulan Juli-September saat angin timur, kunjungan wisatawan turun 50 persen.

Apa yang sebenarnya menjadi daya tarik Wakatobi? Kepulauan yang juga dikenal dengan sebutan Kepulauan Tukang Besi ini mempunyai 25 gugusan terumbu karang yang masih asli dengan spesies beraneka ragam bentuk. Terumbu karang menjadi habitat berbagai jenis ikan dan makhluk hidup laut lainnya seperti moluska, cacing laut, tumbuhan laut. Ikan hiu, lumba-lumba, dan paus juga menjadi penghuni kawasan ini. Kesemuanya menciptakan taman laut yang indah dan masih alami. Taman laut yang dinilai terbaik di dunia ini sering dijadikan ajang diving dan snorkling bagi para penyelam.

Sejak tahun 1996, kawasan Wakatobi ditetapkan sebagai taman nasional. Penetapan ini menarik minat para peneliti untuk meneliti terumbu karang. Salah satunya adalah Yayasan Pengembangan Wallacea lewat Operasi Wallacea.
Bersamaan dengan penetapan kawasan taman nasional, investor swasta asal Swiss, Lorentz Mader, juga membangun bungalo bertaraf internasional sebagai sarana untuk menikmati keindahan taman laut tersebut. Bungalo yang disebut Wakatobi Dive Resort ini berada pada pulau kecil yang disebut Onemobaa di depan Pulau Tomia. Keberadaan kawasan wisata tersebut sedikit banyak memberi dampak positif bagi penduduk. Selain menciptakan lapangan kerja, masyarakat juga dilibatkan pada pengembangan pariwisata, di antaranya sebagai pemasok kerajinan rakyat tenun Tomia dan pande besi, serta terlibat dalam pertunjukan kesenian budaya.

Kawasan pariwisata juga ada di Pulau Wangi-Wangi, Hoga, pulau di sebelah Kaledupa, dan Binongko. Tahun 2002 tercatat 7 sarana penginapan di Wakatobi yang menyediakan 48 kamar dan 73 tempat tidur. Selain snorkling dan diving, aktivitas pariwisata lain yang bisa dinikmati adalah pemandangan pantai, menyusuri gua, fotografi, berjemur, dan camping.
Pariwisata merupakan kegiatan ekonomi baru bagi Wakatobi dan berprospek baik. Pada tahun anggaran 2002, pariwisata menyumbang Rp 106 juta kepada pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Buton. Tahun anggaran 2003 ditargetkan Rp 130 juta. Diharapkan tahun-tahun anggaran berikutnya pariwisata memberikan sumbangan lebih besar bagi Kabupaten Wakatobi, mengingat PAD Wakatobi tergantung pariwisata.

Sektor lain yang sudah lama menjadi urat nadi kegiatan ekonomi Wakatobi adalah perikanan. Di perairan wilayah ini hidup berbagai jenis ikan karang seperti botana, bendera, beberapa ikan hias, dan napoleon. Selain itu terdapat beberapa ikan ekonomis seperti cakalang, kerapu, sunu, cucut, tuna, dan kakap. Produksi perikanan tahun 2002 mencapai 5.725 ton. Angka ini tidak lebih besar dari produksi perikanan kabupaten induk yang juga mengandalkan perikanan darat.

Maklum saja, sebagian besar nelayan Wakatobi masih mengandalkan perahu tanpa motor. Dari 3.218 armada penangkapan ikan hanya 459 unit motor tempel dan 225 unit kapal motor. Selain itu, armada penangkapan ikan dari negara lain sering menyusup masuk ke perairan Wakatobi. Armada-armada dari luar inilah yang sering menguasai produksi ikan.
Kendala lainnya adalah nelayan Wakatobi dan asing masih menggunakan bahan peledak dan pembiusan untuk menangkap ikan. Hal inilah yang merusak lingkungan terumbu karang. Pemerintah kabupaten sedang berupaya menyadarkan nelayan bahaya kerusakan terumbu karang yang mengurangi populasi ikan.

Hasil perikanan laut tersebut ditampung oleh perusahaan kapal ikan lokal maupun asing. Selanjutnya ikan-ikan tersebut diekspor dalam keadaan hidup atau beku ke Taiwan, Hongkong, dan Singapura. Ikan napoleon, kerapu, dan lobster dijual sebagai hidangan eksklusif berharga mahal. Sayang, proses ekspor tidak bisa langsung dari Wakatobi karena tidak tersedia pelabuhan laut yang memadai. Biasanya komoditas ini diekspor melalui Makassar.

Nama Wakatobi yang diambil dari nama 4 pulau besar, mempunyai karakteristik khusus, yakni setiap pulau merupakan satu wilayah kecamatan, kecuali Pulau Wangi-Wangi yang terdiri dari 2 kecamatan.

Wangi-Wangi pulau pertama yang dijumpai saat memasuki Kabupaten Wakatobi, menjadi pintu gerbang dan paling dekat dengan Pulau Buton. Di sini terdapat pelabuhan besar yang melayani kapal barang dan penumpang di Desa Wanci.

Penduduk Wangi-Wangi sebagian besar pedagang dan pelaut. Adapun mata pencaharian penduduk Kaledupa adalah hampir 35 persen petani tanaman pangan dan perkebunan.
Jika Pulau Wangi-Wangi menjadi pintu gerbang transportasi laut, Pulau Tomia pintu gerbang transportasi udara. Sementara Pulau Binongko sebagian penduduknya merantau sampai Singapura dan Malaysia. Penduduk yang tinggal hanya kaum perempuan. 

(M Puteri Rosalina/Litbang Kompas)

Sang Guru Mengajarkan Berutang

Persoalan pendidikan tampaknya bukan hanya terjadi kota-kota besar. Di daerah terpencil seperti perkampungan suku Bajo Desa Sama Bahari, pendidikan menjadi persoalan krusial. Selain fasilitas yang minim, sistem pengajaran di SD Sama Bahari juga sangat buruk.

"Jam belajar sekolah sekarang semau-maunya saja. Jam 7 pagi masuk, jam 8 sudah selesai. Dapat apa mereka dari jam belajar seperti itu? Padahal anak-anak kami mau sekolah," keluh Rustam, seorang orangtua murid.

Rustam, yang juga warga Bajo, mengatakan orangtua sempat memprotes jam belajar tersebut. Sebagai pendatang, guru-guru itu tidak disiplin. Sang guru malah berdalih gaji kecil, lokasi yang sulit ditempuh dan jauh. Lagi pula, tidak ada yang melihat cara mereka mengajar.

"Tapi tahun lalu, ada kepala sekolah orang darat. Dia tidak pernah disiplin selama mengajar di sini. Baru sebentar saja masuk, anak-anak diajarinya berbisnis. Dia menjual es di sekolah, dia kasih utang pada murid-murid," paparnya.

Kejadian itu, kata Rustam, sempat membuat orangtua murid kesal.

Tiba-tiba saja di akhir pelajaran, sejumlah orangtua murid mendapat tagihan utang. Anak-anak mereka berutang jajanan es hingga Rp 10.000. Peristiwa itu dilaporkan, alhasil sang guru dimutasi. Kini kepala sekolah di sana adalah orang Bajo asli. Namun, sistem pengajaran tetap saja buruk. [U-5]  SUARA PEMBARUAN

Kampung Bajo, "Negeri di Atas Karang"

Suku Bajo atau Bajau banyak berdiam di perairan Sulawesi dan kepulauan sekitarnya. Populasi Bajo sesungguhnya menyebar dari Kepulauan Filipina dan Laut Cina Selatan, Kalimantan, hingga pulau-pulau Sunda. Dulu nenek moyang Bajo juga dikenal sebagai manusia perahu. Kini suku Bajo mendiami "Negeri di Atas Karang".

Sebutan Bajo sebenarnya dipakai untuk orang-orang yang menggunakan perahu sebagai tempat tinggal. Konon mereka berasal dari Laut Cina Selatan. Itulah sebabnya mereka digolongkan suku laut nomaden. Namun, saat ini, suku Bajo yang masih tinggal di atas perahu sudah berkurang. Sebagian besar menetap, walaupun masih di atas laut.

Permukiman suku Bajo memang cukup banyak di sekitar Pulau Sulawesi. Antara lain perairan Manado, Kendari, Kepulauan Togian, Selat Tiworo, Teluk Bone, perairan Makassar, dan Kepulauan Wakatobi (Wangi-wangi, Kaledupa,Tomia, Binongko). Meskipun tersebar berjauhan, mereka masih menjalin hubungan kekerabatan.

Baru-baru ini, rombongan sejumlah wartawan mengunjungi suku Bajo di perkampungan Sama Bahari (dulu Sampela) di Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Aktivis lingkungan dari The Nature Conservancy (TNC) dan World Wide Fund for Nature (WWF) mendampingi perjalan-an itu.

Keberadaan suku Bajo di Sama Bahari sesungguhnya salah satu potensi wisata Wakatobi. Kepulauan seluas 1,39 juta ha tersebut menjadi Taman Nasional Laut sejak 1996. Banyak wisatawan mengagumi alam bawah laut, keindahan terumbu karang, pesona Karang Kaledupa, termasuk kehidupan suku Bajo. Tidak banyak orang dapat memastikan kapan pertama kali mereka tiba di Kaledupa.

Pejabat Bupati Wakatobi H Ahmad Mahufi Madra yang juga putra daerah, mengatakan suku Bajo pertama kali datang dengan menggunakan perahu-perahu. Selama beberapa tahun, mereka tinggal di atas perahu. Mata pencariannya menangkap ikan. Lama kelamaan, populasi bertambah.

"Pada 1957, perkampungan suku Bajo hanya mencapai puluhan rumah. Namun kini perkampungan Bajo di Sama Bahari meluas hingga 5 km persegi. Di samping itu, suku Bajo ada juga yang tinggal di darat," katanya.

Seiring berkembangnya suku Bajo, Pemda Wakatobi mulai menuai persoalan. Kebiasaan suku Bajo mulai bergeser. Setelah mendirikan rumah di atas tiang kayu, mereka mengambil batu-batu karang dari laut untuk pekarangan. Alhasil sebagian besar rumah suku Bajo berdiri di atas karang. Tanpa disadari, kebiasaan mengambil karang-karang besar itu berpotensi merusak ekosistem laut.

Suasana kampung Bajo di pagi hari.

Lapangan bermain di atas batu karang.

Kondisi Lingkungan

Kampung Sama Bahari memang paling sering dikunjungi wisatawan, terutama turis asing peneliti. Kabarnya, perkampungan itu jauh lebih teratur dibandingkan perkampungan Bajo lainnya. Merapat di dermaga kecil, pengunjung memasuki jalan umum yang sesungguhnya jembatan. Walau sebagian besar masih ditopang batang kayu gelondong, sebagian jembatan beralas kayu tersebut sudah menggunakan pancang beton.

"Mereka membangun rumahnya dulu, setelah itu cari batu karang untuk pekarangannya. Untuk membuat satu pekarangan di sekeliling rumah, pengumpulan batu dilakukan enam sampai satu tahun. Jadi istilahnya rumah tancap, kan tiangnya ditancapkan dulu," kata Ma'aruji, nelayan yang juga aktivis Forum Kahedupa Todani (Forkani).

Rumah-rumah suku Bajo asli umumnya beratap rumbia. Dindingnya terbuat dari papan kayu dan kombinasi gedek (anyaman bambu). Kini sebagian rumah warga banyak memakai atap seng. Dahulu, rumah orang Bajo lebih mirip gardu besar, tapi kini sudah memiliki beberapa kamar. Tak satu rumah pun berjendela besar.

Buat wisatawan, Sama Bahari memang memiliki daya tarik tersendiri. Jika menyusuri gang-gang berupa jembatan kayu yang membentang panjang, dapat melihat ikan-ikan kecil berenang di kanal-kanal. Alam se- olah sangat bersahabat dengan mereka. Seorang warga malah memelihara dua ekor elang laut yang jinak. Sesekal tampak ular laut belang berenang bebas di kolong rumah.

Sepintas, permukiman Sama Bahari tampak cukup padat. Penduduknya terus bertambah. Rupanya program keluarga berencana pernah gagal di sana. Ada satu rumah yang dihuni tiga keluarga. Rata-rata satu keluarga memiliki anak enam hingga delapan orang. Bisa dibayangkan, sumpeknya! Belum lagi, sistem sanitasi kurang baik. Sampah dan limbah menumpuk di sekitar rumah. Tak mengherankan kalau menemukan bangkai beberapa ekor tukik penyu sisik di sekitar rumah penduduk.

"Sekarang jumlah keluarga mencapai 250, sedangkan jumlah penduduknya sekitar 800 orang lebih. Sejak ada sosialisasi dari LSM Yayasan Bajo Matilla, keluarga berencana cukup berhasil," ujar Ma'aruji.

Kebiasaan

Suku Bajo di Sama Bahari mengandalkan mata pencarian dari mengelola hasil laut. Selain nelayan, mereka juga mulai mengenal tambak terapung. Beberapa di antara mereka juga bertani rumput laut. Ikan hasil tangkapan dan panenan rumput laut dijual ke Kota Wanci, Pulau Wangi-wangi. Tetapi umumnya, nelayan menjual ikan ke kapal pengumpul ikan yang datang.

Kebanyakan suku Bajo nelayan tradisional. Mereka menangkap ikan dengan menggunakan jaring, bagan apung, dan pancing. Konon dulu orang Bajo biasa menangkap ikan dengan tombak. Kini seiring peradaban modern, kebiasaan itu mulai hilang. Bahkan ada warga Sama Bahari yang sudah menjadi bandar ikan. Pendapatannya bisa mencapai ratusan ribu rupiah hingga jutaan sekali melaut.

"Sayang orang Bajo nyaris tidak ada perhitungan. Pengeluaran mereka tidak teratur. Tidak terpikirkan hari esok, mereka seolah bisa cari lagi di laut. Mereka tidak biasa menabung. Kalau ada roti hari ini, mereka habiskan juga hari ini," kata Ma'aruji.

Sejak beberapa bulan lalu, orang Bajo di Sama Bahari sudah mampu mengatasi kebutuhan air bersih. Dengan menggunakan pipa di dasar laut, air bersih disalurkan dari pulau terdekat. Sebelumnya, mereka harus bolak-balik mengangkut air bersih dengan perahu. "Sekarang mereka bisa beli satu jeriken Rp 500. Atau, mereka bisa ambil sendiri di daratan. Ada sumur gratis di sana," tambahnya.

Di tengah perkampungan, suku Bajo membangun sebidang lapangan, tempat anak-anak sering bermain bola. Tak jauh dari lapangan, ada semacam balai-balai tempat berkumpul, atau menonton siaran televisi. Berkat antena parabola, mereka dapat menyaksikan siaran televisi luar negeri. Untuk sumber listrik, mereka menggunakan generator.

Menurut Outreach & Community Development Coordinator WWF Indonesia Veda Santiadji, perkampungan Bajo di Sama Bahari relatif cukup modern. Mereka sudah memiliki sejumlah fasilitas umum seperti sekolah, madrasah, musala, tempat pelelangan dan penyimpanan ikan.

"Wisata kampung Bajo memang menarik. Tetapi sayang, belum dikelola dengan baik. Perkampungan yang unik itu akan lebih menarik jika ada wisata budaya dan hasil kerajinan," ujarnya. [Pembaruan/Unggul Wirawan]


Pulau Runduma, Surganya Penyu

KOMPAS, Rabu, 30 Januari 2008 | 16:15 WIB

KENDARI, RABU - Runduma adalah surga bagi penyu. Disebut demikian karena di pulau berpasir putih ini, penyu bebas beranak-pinak membentuk koloni, tanpa gangguan manusia.

Pulau di tengah Laut Banda dan termasuk wilayah Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara ini, sesungguhnya bukan pulau tak berpenghuni. Ada 140 kepala keluarga yang bermukim di pulau itu yang sangat mencintai alam dan pulau mereka, sehingga penyu merasa aman hidup berdampingan.

Terumbu karang di perairan Laut Banda juga masih lestari. Warga Desa Runduma, Kecamatan Tomia menghargai kehidupan biota laut dan sangat menjaga terumbu karang di kawasan itu. Mereka tak pernah merusaknya, karena terumbu karang bagi mereka seperti "ibu", yang memberi kehidupan. Mereka menangkap ikan hanya dengan menggunakan alat konvensional, seperti pukat dan jala saja.

Mereka pantang menggunakan alat modern apalagi sampai melakukan pemboman ikan yang dapat merusak terumbu karang. Mereka paham terumbu karang adalah tempat berkembang biaknya biota laut, khususnya ikan dan penyu. Jika terumbu karang hancur maka ikan dan penyu tak akan ada lagi.

Khusus penyu, di sebelah Pulau Runduma terdapat pulau kecil yang sama sekali tidak berpenghuni. Di pulau tanpa nama, rakyat Runduma membiarkan penyu-penyu bertelur.

Untuk mengawasi perkembangbiakan penyu, pengawas dari Taman Nasional Wakatobi setiap bulan melakukan kunjungan. Tujuannya untuk melihat, sekaligus menghitung pertambahan populasi penyu di sekitar pulau tersebut.

Sebelum pegawas Konservasi Taman Nasional Wakatobi meningkatkan pengawasan di sekitar terumbu karang Wakatobi, kerap kali pengganggu dari luar Wakatobi datang melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak. Bahkan ada yang berani melakukan pembiusan dengan kompresor.

Mereka menyelam hingga ke dasar karang menebar bius dan membunuh ikan dan biota laut lain. Akibat perbuatan tersebut, terumbu karang rusak. Ikan-ikan yang belum saatnya dipanen mati terkena bius ikan.

Menurut Siwa, warga Desa Runduma, yang melakukan pengembomam, pembiusan dan perburuan telur penyu dan sekaligus penyunya adalah warga di luar Pulau Runduma.

"Namun, kami warga Runduma yang kerap dituding melakukan itu semua. Padahal bukan kami, melainkan orang luar yang datang merusak terumbu karang," kata Siwa.

Agar populasi penyu tetap terpelihara dengan baik di Pulau Runduma, Bupati Wakatobi, Hugua, terus meningkatkan pengawasan, baik pengawasan pihak Taman Nasional Wakatobi, instansi teknis terkait maupun kelompok masyarakat yang sudah mendapat pembinaan.

Ternyata pengawasan bukan satu-satunya cara yang efektif agar kelestarian terumbu karang tetap terpelihara hingga biota laut tetap berkembangbiak dengan baik, pendekatan budaya lokal lebih efektif, kata Hugua yang juga aktivis lingkungan itu.

Sang Bupati yang pernah menyaksikan cara penyu bertelur di hamparan pasir Pulau Runduma, mengatakan bahwa penyu memiliki cara unik untuk mengelabui perbuatan tangan-tangan jahil. Misalnya saja, penyu bertelur dengan cara menggali pasir, penyu berjalan beberapa meter lalu kemudian menghilangkan jejak kakinya.

500 Jenis

Wakatobi memiliki lebih dari 500 jenis terumbu karang yang tersebar pada "atol" terpanjang di dunia yang mencapai 47 kilometer. Secara umum jenis karang yang mendominasi ekosistem terumbu karang di daerah ini adalah Acropora spp dan Porites spp. Kehidupan biota laut sangat indah. Ikan-ikan yang hampir tidak dijumpai di perairan lain di Indonesia, bahkan di negara mana pun dapat ditemui di Wakatobi.

"Sea hourse", ikan kodok, ikan Napoleon, ikan termahal di dunia masih dapat ditemukan di sela-sela terumbu karang Wakatobi.

Perhatian terhadap terumbu karang Wakatobi bukan hanya pemerintah daerah tetapi telah menarik perhatian dunia. Oleh Bank Dunia anggaran yang dikucurkan melalui program Coral Reef Rehabilitation and Management Program (Coremap) telah mencapai puluhan miliar rupiah.

Kadis Perikanan dan Kelautan Sultra, Askabul Kijo mengatakan, kelestarian terumbu karang membutuhkan perhatian semua pihak. Kehadiran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk melestarikan terumbu karang dan biota laut membantu pemerintah daerah, kata Askabul.

Pengunjung yang berminat menikmati wisata di gugusan empat pulau besar di Wakatobi (Wanci, Kaledupa, Tomia dan Binongko) dapat menggunakan beberapa alternatif. Wisatawan bisa menggunakan transporasi udara milik investor wisata Mr. Lorens di Pulau Onemobaa. Transportasi udara ini merupakan satu-satunya yang bisa menjangkau Wakatobi. Itupun harus melalui bandara udara Ngurah Rai, Denpasar. Biaya mencapai belasan juta rupiah.

Dapat pula melalui jalur laut, yakni dari Kendari menumpang kapal cepat ke Kota Baubau kemudian menggunakan kapal kayu menuju Pelabuhan Wangi-Wangi. Biaya sekitar Rp800 ribu pulang pergi (PP). Memang relatif mahal, tapi itu akan terbayar tunua dengan keindahan panorama yang ditawarkan Rundama.(ANT)

Friday, January 18, 2008

Pelatihan Perikanan


Di Tomia tepatnya di Balai Desa Kulati, tidak kurang dari 20 orang nelayan berkumpul untuk melaksanakan pelatihan perikanan pelagis.  Ke 20 orang tersebut berbagi pengetahuan dan pengalaman dipandu oleh Abbas, nelayan jaring lingkar dari Tomia.  Selain itu ada dua narasumber juga hadir yaitu Bpk. Bambang Sadhotomo dari BRPL dan Imam dari WWF Indonesia.

Lumayan tangkapan hari ini...