Tuesday, September 20, 2005

Chris Majoers: Bajo lovely

Si bule yang jatuh cinta pada Bajo

Jauh sebelum James Cook mendarat di pesisir New South Wales, Australia tahun 1770, para pelaut suku Bajo atau Bajau, Sulawesi Tenggara, tanpa banyak ribut sudah menjelajahi kawasan utara benua tersebut.

Hal itu terbukti pada lukisan berusia puluhan ribu tahun di dinding bebatuan karya suku Aborigin di Kakadu National Park di Australia Utara. Sayang, baik Bajo maupun Aborigin bernasib sama. Terlupakan dan terpinggirkan.

Aborigin tak hanya tercerabut dari pola hidupnya yang sub sistem dan dipaksa berbudaya ala pendatang dari benua Eropa dan Amerika. Gamang dan tak nyaman.

Hasilnya, kini mudah ditemui Aborigin yang berkeliaran di jalanan Australia dalam kondisi mabuk menghabiskan jatah sosial secure mereka sembari meminta-minta.

Hal yang sama dialami suku Bajo yang sejatinya adalah penghuni laut karena kondisi politik dipaksa menjadi penghuni daratan. Bayangkan jika manusia yang terbiasa menebar jala harus mencangkul tanah.

Beruntung, Bajo masih memiliki harga diri. Seiring melemahnya pemerintahan Orde Baru yang renta, mereka kembali menjelajahi lautan yang menjadi tempat umbo made laut (ibunda lautan) bersemayam.

Menyelundup ke seputaran Asia sudah biasa. Ditangkap patroli AL Australia pun tak membuat nyali surut. Pendek kata, selama laut masih belum berpagar suku Bajo akan terus berlayar.

“Mereka adalah orang yang mengagumkan dan unik. Itu alasan utama saya terus tinggal di tempat ini sejak 10 tahun lalu,” ujar Chris Majoers pendiri Yayasan Bajau Matilla di Sampela, Kaledupa, Kabupaten Wakatobi, Sultra.

Menurut dia, orang Bajo memiliki pandangan hidup yang serupa dengan Suku Laut di perairan Riau atau Suku Moke di Thailand.

Bagi ketiga suku itu, laut adalah segalanya. Mereka memandang laut sebagai satu-satunya sumber penghidupan. Laut tak sebagai lahan mencari nafkah namun juga sebagai tempat tinggal, bahkan beranak-pinak.

Namun kehidupan Suku Bajo paling unik. Tidak hanya sejarahnya yang unik, tetapi persebarannya juga paling luas.

Sayang kehidupan yang tenang selama ribuan tahun itu harus terusik seiring penetapan Taman Nasional Wakatobi menjadi salah satu daerah konservasi alam.

Tambah lagi kearifan tradisional mulai ditinggalkan. Jika sebelumnya mereka menjala ikan untuk konsumsi sendiri maka seiring perjalanan waktu bom dan bius mulai dipergunakan.

“Mereka sulit untuk diberi pengertian. Mereka selalu beranggapan umbo made laut akan terus memberikan ikan. Tak hanya itu, untuk membangun rumah mereka juga menggali karang. Padahal karang adalah tempat ekosistem laut berbiak,” tutur Chris.

Hasilnya kini keindahan ekosistem batuan karang yang cantik menjadi rusak. berbagai jenis spesies ikan koral yang tinggal di daerah pantai bersama dengan koloni batuan koral makin sulit ditemukan.

Awalnya nyasar

Tidak hanya tinggal, Chris juga menikah dengan Ida, wanita asli suku Bajo dan dikaruniai seorang penerus darah Bajo bernama Era Majoers. “Dia cikal bakal suku Bajo bule. Nanti saya kepala sukunya,” katanya disusul tawa berderai.

Menurut pria kelahiran Saint. Louis, Missouri, AS yang tinggal di Perth, Australia sejak umur satu tahun itu perkenalannya dengan suku Bajo di Sampela itu berawal tak sengaja bahkan cenderung nyasar.

Pasalnya, pada 1993 seharusnya dia, yang saat itu masih merupakan mahasiswa Fakultas biologi di University of Western Australia, melakukan penelitian di hutan Kasi Guncu, Poso, Sulteng dengan pembimbing dari UI, Yatna Supriatna.

“Rupanya hutan di tempat itu sudah habis dibabat. Alhasil penelitian batal dilakukan dan saya kemudian pergi mengunjungi Sampela dan langsung jatuh cinta dengan tempat ini,” ujarnya.

Berbaur dan hidup selama berbulan di tempat itu menjadikan dia mengerti dan jatuh cinta dengan ketangguhan suku yang diharamkan pemerintah Australia. Digalangnya beberapa kawan Bajo untuk membentuk sebuah wadah yang bisa meningkatkan harkat suku itu.

“Tanpa memperkuat suku ini maka mereka akan senasib dengan Aborigin yang juga terbiasa hanya mengambil hasil alam tanpa memikirkan hari esok,”

Awal 1995 berdiri Yayasan Bajau Matilla. Matilla berasal dari bahasa Bajo yang berarti membagi ikan. Makin serius dengan urusan ini Chris pun pulang ke Perth dan pindah jurusan ke Social Science di Murdoch University.

Tak hanya menjadikan kehidupan suku penjelajah laut itu menjadi sumber tesis master dan doktoralnya. Dia juga menggalang dana bagi masyarakat.

Alasannya ikan Napoleon dan Kepe-kepe, Cakalang, Kerapu, Sunu, Cucut dan Kakap yang bernilai ekonomis tinggi makin sulit ditemukan karena perilaku over fishing. Tangkapan pun lebih banyak yang busuk kalau dijual ke pasar di Pulau Bau-Bau.

Itu alasan mengapa Yayasan Bajau Matilla lalu membuat fasilitas pengolahan awal yang dilengkapi sarana kotak es agar hasil tangkapan masyarakat Bajo tetap bernilai ekonomi.

“Mereka [Suku Bajo] memang hanya 10% dari komunitas di seluruh Wakatobi tetapi 90% pemanfaatan laut dilakukan oleh mereka, begitu pula kerusakan yang terjadi,” ujarnya.

Dengan adanya fasilitas ini, lanjutnya, masyarakat Bajo akan belajar bahwa kesejahteraan dapat diperoleh jika melakukan pengolahan dan tidak hanya melakukan penangkapan.

Beruntung sejak organisasi nirlaba lingkungan WWF mendirikan pos penelitian di tempat ini pola pemikiran masyarakat ikut berubah. Pasalnya sepanjang musim turis, Juni-Oktober sekitar Rp150 juta uang berputar.

Untuk setiap wawancara setiap orang suku Bajo dihargai Rp10.000. Jika setiap mahasiswa-yang umumnya berasal dari Inggris-rata-rata melakukan penelitian selama enam minggu dan butuh setidaknya 100 responden, maka jumlahnya lumayan.

“Jumlahnya kecil tapi itu besar bagi mereka. Dan lebih baik daripada nonton acara televisi Indonesia yang menjadikan mereka masyarakat konsumtif.”

Di satu sisi pola konsumtif itu cukup mengkhawatirkan, namun di sisi lain menggelikan.

Bayangkan saja setiap Jumat, saat adzan mengumandang masyarakat justru bergembira karena itu sat mereka dapat menonton VCD film Bollywood koleksi mereka.

Yang memalukan, pemerintah Indonesia mempersulit Chris untuk menjadi WNI. Akibatnya, setiap tahun dia harus bolak-balik memperpanjang visa dan bekerja utuk beberapa waktu di Australia untuk mempertahankan status kewarganegaraannya.

“Saya tidak mengerti mengapa, tapi tak apalah asal saya masih boleh tinggal dan dekat dengan keluarga saya di sini. Dan mungkin justru status ini baik bagi saya dan keluarga jika harus kembali Australia,” ujarnya santai.

*Bisnis Indonesia Edisi: 13/09/2005