Friday, March 21, 2008

Berupaya Demi Penghidupan Masa Depan

Text by Sari Widiati, GARUDA Magazine Maret 2008

Sebagian besar wilayah Indonesia merupakan pusat segitiga terumbu karang (The Coral Triangle Center) dunia bersama dengan Malaysia, Filipina, Papua Nugini, Timor Leste dan Kepulauan Solomon, mencakupi 5,7 juta km2 wilayah laut.

Taman Nasional (TN) Wakatobi di Sulawesi Tenggara, yang berada di pusatnya, terus mengupayakan penyelamatan dan pelestarian kekayaan alamnya demi keseimbangan dan penghidupan masa depan yang lebih baik.

Pulau Hoga dijadikan tempat penelitian Operation Wallacoa di TN Wakatobi.

Andalan bagi Berbagai Sektor
Ditetapkan sebagai taman nasional pada 1996 oleh Departemen Kehutanan ketika masih menjadi bagian Kabupaten Buton, nasib Wakatobi, yang merupakan gugusan dari empat pulau besar—Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko—sama seperti taman nasional-taman nasional lainnya di Indonesia. Di samping sebagai tumpuan hidup masyarakat di sekitarnya, ia juga diandalkan oleh berbagai sektor penting. Dilihat dari wilayahnya yang merupakan 97% laut, sektor perikanan dan kelautan adalah yang paling utama setelah pariwisata.

Dengan luas 1.390 juta hektar yang memiliki 39 pulau (hanya tujuh pulau berpenghuni), tiga gosong (beting) dan lima atol (pulau karang), TN Wakatobi menyimpan kekayaan yang melimpah. Tercatat ada 942 jenis ikan dan 750 spesies karang di dalamnya. Bandingkan ini dengan kawasan Karibia yang hanya memiliki 50 spesies karang dan Laut Merah 300 spesies karang serta di dunia yang berjumlah 850 spesies karang saja.

Berdasarkan penelitian Operation Wallacea—pusat penelitian berbasis di Inggris yang membuka pusat penelitiannya di Pulau Hoga, Wakatobi—diasumsikan bahwa 90% kekayaan alam dunia itu terdapat pada taman nasional ini. Belum lagi dalam area seluas 90 ribu hektar terumbu karang itu terdapat atol 48km di Kaledupa, terpanjang di dunia.

Dengan posisinya yang dikelilingi oleh Laut Banda, Laut Flores dan Pulau Buton, ia memiliki keistimewaan tersendiri dibanding daerah-daerah lain karena kemampuannya memberikan jaminan ketahanan dan kemampuan pulih yang tinggi bagi spesies terumbu karang jika mengalami kerusakan. Itu dikarenakan pola arus air yang mempertahankan area ini yang juga berperan sehingga tidak mudah terkena dampak bleaching akibat pemanasan global.

Kegiatan monitoring adalah penting untuk pengelolaan konservasi di TN Wakatobi.Tidak berlebihan jika taman nasional ini dinobatkan sebagai surga bawah laut bagi para penyelam dunia yang disediakan 29 titik penyelaman yang tersebar di kawasannya. Kekayaan hayati yang tinggi tersebut tidaklah serta merta membuai untuk terus digunakan tanpa batas. Praktik penangkapan ikan yang merugikan, seperti pengeboman, penggunaan racun sianida dan kegiatan destruktif lainnya, menjadi ancaman yang terus menghantui. Namun, kondisi yang memprihatinkan itu membentuk pola pikir konservasi akan pentingnya potensi hayati agar di masa depan ia tetap dapat menghidupi masyarakat Waktobi dan pada saat yang sama tetap bagian terpenting dari The Coral Triangle Center.

Berperan untuk Pelestarian
Keindahan TN Wakatobi juga mendorong para pemerhati dan pelestari lingkungan baik dari pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan masyarakat untuk bersama-sama melakukan konservasi guna memperpanjang kehidupan hingga generasi selanjutnya.

Dari peninjauan pada kegiatan Visit Wakatobi bersama WWF-Indonesia beberapa waktu lalu telah terbentuk kesepahaman dalam mengelola pelestarian TN Wakatobi yang dilakukan pemerintah serta LSM atau organisasi terkait, yang kemudian membentuk inisiatif masyarakat untuk berbuat arif.

Setelah membentuk kabupaten baru, yaitu Kabupaten Wakatobi pada 2004, pemerintah setempat semakin serius dalam pengelolaan konservasi aset penting itu. Salah satunya dengan menerapkan sistem zonasi yang dalam perumusannya telah disepakati bersama antara pemerintah pusat, pemerintah kabupaten dan masyarakat setempat. Disusun melalui proses konsultasi publik yang melibatkan banyak pihak, termasuk kelompok-kelompok masyarakat, khususnya kelompok pemanfaat sumber daya alam kelautan di Wakatobi.

Kegiatan monitoring adalah penting untuk pengelolaan konservasi di TN Wakatobi.Sistem zonasi yang ditanda tangani bersama dengan Direktur Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan (PHKA-Dephut) pada 23 Juli 2007 tersebut adalah salah satu cara strategis yang diyakini dapat menjamin pelestarian sumber daya alam hayati serta untuk keberlangsungan perekonomian berbasis masyarakat dan untuk kabupaten.
Aturan zonasi terdiri dari zona inti: daerah larang ambil dan larang lintas, dan zona perlindungan bahari. Daerah larang ambil, boleh lintas dan zona wisata mencakup 36% dari total target konservasi.

Aturan zonasi ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Rencana Tata Ruang Wilayah Wakatobi; pemerintah kabupaten kemudian menyusun visi pembangunan yang mengedepankan dua sektor unggulan, pariwisata dan perikanan.

Sebagai pendukung dalam bidang infrastruktur dibangun lapangan terbang di Wangi-Wangi yang direncanakan beroperasi pada awal 2008. Menurut Bupati Wakatobi Huguan "Dengan adanya lapangan terbang ini Wakatobi tidak lagi terisolasi sehingga lebih mudah dicapai oleh siapa pun yang mau berkunjung, khususnya wisatawan. Untuk sektor perikanan, pemerintah kabupaten mengarahkan peralihan dari perikanan karang ke perikanan laut dalam dan budidaya komiditi laut."

Dalam hal penyelenggaraan pelestarian, Balai TN Wakatobi sebagai badan pengelola kawasan konservasi memiliki 3 pilar utama. Seperti yang disampaikan Kepala Balai TN Wakatobi Wahju Rudianto, "3 pilar utama yang diemban atau diamanatkan itu terdiri dari perlindungan kawasan, pengawetan sumber daya alam dan pemanfaatan sumber daya alam itu sendiri secara lestari."

Kemudian, Wahju Rudianto menjelaskan bahwa dari hasil penyusunan zonasi ada 11 sumber daya penting yang menjadi prioritas konservasi, mereka adalah terumbu karang yang terdiri dari tiga macam; terumbu karang tepi, terumbu karang penghalang dan terumbu karang atol. Kemudian SPAGs (Spawning Aggregation sites) yaitu lokasi pemijahan ikan, penyu, mangrove, burung migran, upwelling (naiknya massa air dari kedalaman ke permukaan yang membawa zat hara), lintasan mamalia laut, padang lamun (seagrass) dan rumput laut (seaweed).

Kejernihan air laut di Pulau Binongko.Perumusan konsep konservasi pun tidak terlepas dari peran aktif organisasi atau LSM pecinta lingkungan. Dari keterangan Project Leader Program Bersama WWF-TNC (The Nature Conservancy) Wakatobi Veda Santiaji, survey lapangan dimulai pada 2003 dengan berkerja sama dengan Balai TN Wakatobi untuk eksplorasi awal dan kelayakan program untuk diterapkan. Dari situ, difokuskan tiga hal untuk lebih dioptimalkan. Pertama, meng-komprehensifkan desain perencanaan kawasan yang juga ditinjau dari pertimbangan ekologis, kepentingan sosial dan ekonomi serta target yang ingin dikejar dalam pengembangannya. Kedua, kegiatan monitoring secara kontinyu sebagai dasar pertimbangan pengelolaan, termasuk penyediaan alat pengamanan dan operasionalnya serta sumber daya manusia. Ketiga, penyuluhan dan pengorganisasian kelompok-kelompok masyarakat sampai pada titik kesadaran bahwa potensi TN Wakatobi yang menjadi bagian hidup mereka harus dijaga kelestariannya.

Upaya-upaya yang dilakukan di atas pada akhirnya membentuk kesetaraan pemahaman di antara masyarakat dalam pengelolaan potensi TN Wakatobi. Mereka yang berpikir lebih jauh mengenai keberlangsungan masa depan segera melahirkan organisasi kecil yang menunjang seperti Forkani (Forum Komunitas Tani) dan Komunto (Kelompok-Kelompok Nelayan Tomia).

Berkat buah pikiran dan tenaga yang mereka lakukan di atas, bukan hal yang mustahil jika TN Wakatobi terus hidup. Namun yang terpenting adalah bagaimana terus menyalakan semangat melestarikannya meskipun masih banyak yang enggan atau bahkan tidak peduli akan nasibnya di masa depan.

Friday, March 07, 2008

Ekspedisi NGI ke Wakatobi

Rombongan relawan NGI ke Wakatobi menghasilkan satu catatan perjalanan dari salah seorang relawan itu.  Tulisannya yang dimuat di blog Indonesia Reef adalah sebagai berikut :

Trip to Wakatobi

by Tono Suhartono

Towards the end of the year 2007, I still got no plan to spend the end of the year while there are still a lot of leaves that I have not been able to spend. Suddenly, there was an announcement in Alfa Dolfin mailing list, inviting divers to participate in Reef and Spawning Aggregations monitoring at Wakatobi. I registered and soon found out that Bonar Sitohang (my friend at Alfa Dolfin as we used to dive together) also participated in the event.

The trip was organized by Indonesia Reef – NGI (National Geographic Indonesia) together with TNC (The Nature Conservancy) and WWF (World Wildlife Federation). A lot of sponsors are supporting the event including Ody Dive. Ody Dive was involved in planning the trip together with NGI.

Initially there were 12 divers, but soon after it was increased to 18 divers. At the technical meeting, Sari - the dive coordinator - reminded us to limit our baggage to maximum 15 kg. She said it was caused by relatively small airplane that flying from Makassar to Baubau at Buton Island where by only 65% of the gross weight will be carried by the airplane the rest will be sent on the next day. After nearly removing all fancy items, I managed to get 20 kg. Sari was in no objection when I sent an SMS to her indicating my baggage weight. It turned up later the baggage limitation inflicted some problems in some of the divers. Some found the meals were not suitable but they did not bring enough food of their own choice. Many of participated divers did not bring their Under Water casing for underwater photography.


On 25 December 2007 early in the morning, we embark on the journey to Makassar by plane. Soon after we landing at the Makassar, there was another mishaps as a result of miss management where by our luggage were not transferred directly to next flight to Baubau but was sent down to conveyor belt instead. So we recheck in again at Makassar. The flight to Baubau was delayed also for about 2 hours. I met with my co-worker at the airport lounge but I forgot who he was. After talking with him around 15 minutes, I finally gave up and asked Department he working for and he said Field Human Resource. I then remembered he was Arnham Pattamwari. I used to meet him at Musholla in Badak while performing Ashar prayer. I left Badak already for more than a year, so it a bit hard to remember everyone.

I was a bit sick when leaving Jakarta, but since Debbie – Sari’s assistance- requested me to submit a health certificate I went to a doctor couple days before trip. The doctor then directed me to an internist specialist. Then I got a lot of medicine including Aridin that should be used before diving.

Finally at 15:00 WITA, there was an announcement to board the plane to Baubau. Makassar - Baubau took around 45 minutes using twin turboprop engine. Soon after we landed at Baubau, we embark on land cruise to Pasarwajo which took around 2 hours driving using a bus. The facility at Baubau airport was very poor. The toilet has no water. I cannot imagine if I have to wait for a flight in that airport. The airstrip also very short, I think that was the reason for limiting baggage weight.

At Pasarwajo port, the ship FRS (Floating Ranger Station) Menami already waiting for us. Some divers took liberty to shower and clean themselves as Menami was loaded with fresh water. The spirit was a bit high at that time. I can feel it. From a driver at Wanci, I later learned that Menami is the common local name for Napoleon fish. Menami have 12 beds at the bottom deck and 4 beds at the lower deck. She has two toilets. The upper deck was an open but sheltered deck giving a room for a meeting and comfortable sleeping room at night. The pre-dive briefing and training were given in the upper deck.

On the day two, at the Hoga Channel near Kaledupa Island, we were attending training and met with media team consisting reporters and presenters. I managed to get signature and photo of the famous presenter Rianni Djangkaru as requested by my nephew who is very much fond of her. The training was about how to perform monitoring. It was very much scientific, but to perform it requires an advanced diving skill. The data will be used as a feed back to TNKW (Taman National Kepulauan Wakatobi – Wakatobi islands National park). The data includes Reef health status, herbivore fish population, and carnivore fish population. There is a correlation between those three that indicates ecosystem healthiness. The other training was on Spawning Aggregations (SPAGs) monitoring; whereby we monitor fishes especially of a rather large commercial fishes were mating in a large aggregation. There were 5 known locations for the SPAGs usually takes place, that are now reserved and agreed with locals not be fished. The locations are kept secret to preserve the fish populations. To monitor SPAGs requires a lot of effort as it took place in heavy current area. The current ensures eggs are spread around avoiding being eaten by the predators.

I realized, I have entered a scientific community where people talking about fish by their scientific names instead of common names such as Baronang, Kerapu etc. The TNC personnel were talking about fuscogattus, aerolatus, etc. Upon mixing with these researchers, Bendri –our speed boat captain- has developed his own scientific name for his Batak friends such as ucoklatus etc.

The diving was quite good. We saw several Spawning Aggregations. We saw Wakatobi pigmy sea horse, turtle, large fish and also nudi branch. I was once attacked by a trigger fish called Titan. Luckily, I can move back quickly avoiding it. Pak Putu, TNC personnel, was laughing when I met him shortly afterwards, it was the first time he was laughing under water and I was a bit shock at that time. Later at the ship, Sessy informed me that there was an event she read in a magazine where by a diver lost his ear eaten by Titan. Titan can be very aggressive especially when approached by human while it nesting. Titan has very strong jaws.

To avoid problems due to unfit body, I always dive closer to the surface than anybody else in the group and immediately went on to the surface once one of the researchers surfacing. Kiki once asked me why I surfaced so quickly. The next dive, however, she was diving close to the surface also. Upon asking her on air status, she showed me the gauge that went 50bar then reduce to 30 bar and increase again to 50bar. I then open her tank exhaust and immediately the indicator showing 100bar. So she surfaced with 100bar tank.

On the day three we were hit by a storm. The ship was move around by gusty winds on top and heavy current in opposite direction at the bottom resulting both anchors were moved several meters. The ship ended up sink to the sea sand below. Upon starting the engine, the rear side of the ship sink deeper as the front side was stuck at the sea bottom. The ship can leave the site after water level increased due to high tide at mid night. The next morning, the snorkeling crew found the ship propeller was damaged. The ship was then docking at Kaledupa port and we stayed there for about 2 days while waiting for propeller being fixed at Wanci. The good thing was that we can perform Jum’ah prayer at Kaledupa in congregation instead of individually at the ship as it was originally planned.

After hit by a storm, the team spirit was down, nearly all team members were sick. The only one who was not sick was Darwin, the body builder. Sari tried to boost team spirit by performing a visit to Kaledupa salt water lake and wait for sun set at Sombanu beach at the other side of the Kaledupa Island. It was quite enjoying actually. Just before the storm, we visited a village in Hoga to release tension after a training that finished late at night and a full day monitoring exercises. However, being a true divers, the team spirit always boosted when we were about to dive especially a fun dive. Nearly all team members went diving regardless of their sickness. At the bottom, the sickness is healed, they said.

From Tomia, we were informed that BMG (National Weather Bureau) had released information saying that in 1-2 days ahead a huge tropical storm will be approaching. After diving in the morning under light rain, we headed up to Wanci which took around 5 hours under heavy storm using Menami. We spent New Year eve at the boat at Wanci and visited TNC-WWF office at Wanci. I took Yayan’s picture in front of TNC-WWF office as depicted above. From Wanci we went to Kendari using regular ship that took around 10 hours.

At the end of trip, we were greeted with Ir. Hugua, Wakatobi district head (Bupati) in Kendari. He asked us how our feel on the overall trip. Before meeting him, Sari already appointed Yayan, the eldest among us to talk on our behalf. So when Bupati asked how our observation was, we all looked at Yayan. Being late at night (around 23:00 hours at that time) and lack of sleep, Yayan nervously mentioned that we have visited Tomiang (should be Tomia) and Kelapa dua (a district in Jakarta instead of Kaledupa). The team was then burst in laughing. Anyway, I saw a leader with very optimistic view in pak Bupati. Being an entrepreneur himself, he has a vision to make Wakatobi a major tourist destination in the near future.

Overall trip was quite adventurous and yet scientific. Look forward for another trip with NGI.

Seru... khan!!!  Ditunggu loh kalau ada yang mo ke Wakatobi di trip berikutnya 2008

Sunday, March 02, 2008

Perdagangan Penyu Masih Terjadi di Sultra

Kamis, 28 Februari 2008 | 22:03 WIB

KENDARI, KAMIS - Meski sudah menurun, praktik perdagangan satwa langka penyu masih terjadi di Sulawesi Tenggara terutama di Wanci, Moramo, Ereke, dan Tikep, demikian hasil investigasi ProFauna Indonesia.

"Perdagangan penyu di wilayah Sultra sebagian besar terjadi di pesisir timur, terutama yang menghadap ke laut banda, "kata Koordinator ProFauna Indonesia I Wayan Wiradnyana di Kendari, Kamis (28/2). Menurut dia, penyu-penyu yang di perdagangkan di Sultra selain untuk konsumsi lokal sebahagian juga di kirim keluar pulau, terutama ke Bali.

Dari perbagai informasi yang diperoleh di lapangan, penyu yang dikirim ke Bali selain berasal dari Sultra juga berasal dari Sulteng, yaitu Pulau Padei dan Pulau Masudihang. Daerah yang paling banyak mengirim penyu ke Bali yaitu Wanci, Kabupaten Wakatobi dengan pengiriman pertahun rata-rata 600 ekor penyu dan sebahagian besar ditangkap di perairan Taman Nasional Wakatobi.

Sedangkan daerah lain di Sultra Yaitu Ereke, Kabupaten Buton Utara rata-rata sebanyak 250 ekor per tahun, Moramo, Kabupaten Konawe Selatan rata-rata 240 ekor dan Tikep Kabupaten Muna 25 ekor per tahun.

"Penampungan penyu di Wanci sangat terbuka, penyu-penyu tersebut diletakan di kolam-kolam penampungan yang ada di depan rumah penduduk dan apabila ada kapal dari Bali yang datang maka penyu tersebut baru akan dinaikan ke kapal," katanya.

Jika petugas mau melakukan penyitaan maka sebenarnya sangatlah mudah untuk dilakukannya karena kolam penampungan penyu tersebut lokasinya didepan rumah. Perdagangan penyu di Wanci diduga masih terjadi dan pengiriman penyu dari Wanci ke Bali biasanya dua sampai tiga kali dalam setahun dengan waktu yang tidak bisa ditentukan secara pasti.

Menurunnya, perdagang penyu di Sultra di sebabkan petugas BKSDA dan Departemen Kehutanan, Polisi dan TNI AL aktif melakukan operasi penyitaan dan dalam dua tahun terakhir ini petugas telah menyita lebih 300 ekor penyu.

Meski Perdagangan penyu di Sultra telah menurun, tapi ini bukan berarti perdagangan penyu berhenti total. Hasil investigasi ProFauna Indonesia tahun 2007 membuktikan bahwa perdagangan penyu di daerah ini masih terjadi meski dengan cara sembunyi-sembunyi dan diperkirakan dalam satu tahun ada sekitar 1.115 ekor penyu yang diperdagangkan.

Jenis penyu yang diperdagangankan di Sultra yaitu penyu hijau (Chelonia mydas) dan faktor harga jual yang tinggi menjadi penyebab terjadinya penangkapan penyu. Harga penyu hijau yang dijual ke kapal-kapal yang berasal dari Bali, Rp450.000/ekor, sedangkan harga untuk pasaran di Bali mencapai Rp1 juta per ekor ukuran dewasa.(ANT/WAH)

WAKATOBI

JIKA hendak berkunjung ke Wakatobi bulan Juli-September harus siap menghadapi ombak setinggi gunung. Namun, bagi yang berjiwa petualang, ombak besar tidak menjadi halangan untuk mengunjungi gugusan kepulauan di antara Laut Banda dan Laut Flores itu. Bagi yang tidak sanggup menghadapinya, bulan Oktober sampai awal Desember merupakan pilihan terbaik menikmati keindahan di Wakatobi. Begitulah beberapa pesan penduduk Wakatobi yang ditemui di Kota Bau-Bau.

SETELAH menempuh perjalanan 5-6 jam dengan kapal cepat dari Kendari, Bau-Bau menjadi tempat transit masyarakat dan wisatawan yang akan pergi ke Wakatobi. Perjalanan tidak dapat langsung karena jadwal penyeberangan Bau-Bau-Wanci, pintu gerbang Wakatobi terbatas. Lagi pula penyeberangan dengan kapal kayu sekitar satu hari akan sangat melelahkan. Jalur yang biasa dipakai dari Bau-Bau adalah perjalanan darat ke Lasalimu, kecamatan di sebelah tenggara Bau-Bau, sekitar 3 jam. Selanjutnya menyeberang ke Wakatobi. Itu pun jadwal penyeberangan sekali sehari, pukul 06.00. Dapat dibayangkan perjalanan yang sangat tidak praktis, menyita waktu, dan melelahkan.

Sebenarnya Wakatobi tidak hanya mengandalkan transportasi laut dari Bau-Bau atau Lasalimu. Sejak tahun 2001, transportasi udara bisa menjangkau wilayah kepulauan di timur Pulau Buton ini. Sayang, tidak semua bisa memanfaatkannya karena ongkos perjalanan sangat mahal. Kebanyakan wisatawan asing yang berduit yang menggunakannya. Selain itu transportasi udara hanya melayani jalur Denpasar-Wakatobi dengan jadwal tiap 11 hari.
Berdasarkan paparan tersebut, salah besar jika ada yang menyimpulkan bahwa kabupaten pecahan Buton ini terisolasi. Terbukti, setiap hari, tidak tergantung cuaca, masyarakat aktif melakukan pelayaran Wanci-Lasalimu. Bahkan sejak zaman dahulu, mayoritas masyarakat yang termasuk suku Bajau sering berlayar mencari ikan atau merantau ke luar Wakatobi, malahan ke luar Indonesia. Mereka terbiasa hidup di laut dan sanggup beradaptasi dengan alam. Begitu juga dengan wisatawan asing. Tahun 2002 kunjungan wisatawan asing meningkat 22 persen dari tahun sebelumnya 540 orang. Setiap bulan selalu ada wisatawan asing berwisata ke Wakatobi. Bulan Juli-September saat angin timur, kunjungan wisatawan turun 50 persen.

Apa yang sebenarnya menjadi daya tarik Wakatobi? Kepulauan yang juga dikenal dengan sebutan Kepulauan Tukang Besi ini mempunyai 25 gugusan terumbu karang yang masih asli dengan spesies beraneka ragam bentuk. Terumbu karang menjadi habitat berbagai jenis ikan dan makhluk hidup laut lainnya seperti moluska, cacing laut, tumbuhan laut. Ikan hiu, lumba-lumba, dan paus juga menjadi penghuni kawasan ini. Kesemuanya menciptakan taman laut yang indah dan masih alami. Taman laut yang dinilai terbaik di dunia ini sering dijadikan ajang diving dan snorkling bagi para penyelam.

Sejak tahun 1996, kawasan Wakatobi ditetapkan sebagai taman nasional. Penetapan ini menarik minat para peneliti untuk meneliti terumbu karang. Salah satunya adalah Yayasan Pengembangan Wallacea lewat Operasi Wallacea.
Bersamaan dengan penetapan kawasan taman nasional, investor swasta asal Swiss, Lorentz Mader, juga membangun bungalo bertaraf internasional sebagai sarana untuk menikmati keindahan taman laut tersebut. Bungalo yang disebut Wakatobi Dive Resort ini berada pada pulau kecil yang disebut Onemobaa di depan Pulau Tomia. Keberadaan kawasan wisata tersebut sedikit banyak memberi dampak positif bagi penduduk. Selain menciptakan lapangan kerja, masyarakat juga dilibatkan pada pengembangan pariwisata, di antaranya sebagai pemasok kerajinan rakyat tenun Tomia dan pande besi, serta terlibat dalam pertunjukan kesenian budaya.

Kawasan pariwisata juga ada di Pulau Wangi-Wangi, Hoga, pulau di sebelah Kaledupa, dan Binongko. Tahun 2002 tercatat 7 sarana penginapan di Wakatobi yang menyediakan 48 kamar dan 73 tempat tidur. Selain snorkling dan diving, aktivitas pariwisata lain yang bisa dinikmati adalah pemandangan pantai, menyusuri gua, fotografi, berjemur, dan camping.
Pariwisata merupakan kegiatan ekonomi baru bagi Wakatobi dan berprospek baik. Pada tahun anggaran 2002, pariwisata menyumbang Rp 106 juta kepada pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Buton. Tahun anggaran 2003 ditargetkan Rp 130 juta. Diharapkan tahun-tahun anggaran berikutnya pariwisata memberikan sumbangan lebih besar bagi Kabupaten Wakatobi, mengingat PAD Wakatobi tergantung pariwisata.

Sektor lain yang sudah lama menjadi urat nadi kegiatan ekonomi Wakatobi adalah perikanan. Di perairan wilayah ini hidup berbagai jenis ikan karang seperti botana, bendera, beberapa ikan hias, dan napoleon. Selain itu terdapat beberapa ikan ekonomis seperti cakalang, kerapu, sunu, cucut, tuna, dan kakap. Produksi perikanan tahun 2002 mencapai 5.725 ton. Angka ini tidak lebih besar dari produksi perikanan kabupaten induk yang juga mengandalkan perikanan darat.

Maklum saja, sebagian besar nelayan Wakatobi masih mengandalkan perahu tanpa motor. Dari 3.218 armada penangkapan ikan hanya 459 unit motor tempel dan 225 unit kapal motor. Selain itu, armada penangkapan ikan dari negara lain sering menyusup masuk ke perairan Wakatobi. Armada-armada dari luar inilah yang sering menguasai produksi ikan.
Kendala lainnya adalah nelayan Wakatobi dan asing masih menggunakan bahan peledak dan pembiusan untuk menangkap ikan. Hal inilah yang merusak lingkungan terumbu karang. Pemerintah kabupaten sedang berupaya menyadarkan nelayan bahaya kerusakan terumbu karang yang mengurangi populasi ikan.

Hasil perikanan laut tersebut ditampung oleh perusahaan kapal ikan lokal maupun asing. Selanjutnya ikan-ikan tersebut diekspor dalam keadaan hidup atau beku ke Taiwan, Hongkong, dan Singapura. Ikan napoleon, kerapu, dan lobster dijual sebagai hidangan eksklusif berharga mahal. Sayang, proses ekspor tidak bisa langsung dari Wakatobi karena tidak tersedia pelabuhan laut yang memadai. Biasanya komoditas ini diekspor melalui Makassar.

Nama Wakatobi yang diambil dari nama 4 pulau besar, mempunyai karakteristik khusus, yakni setiap pulau merupakan satu wilayah kecamatan, kecuali Pulau Wangi-Wangi yang terdiri dari 2 kecamatan.

Wangi-Wangi pulau pertama yang dijumpai saat memasuki Kabupaten Wakatobi, menjadi pintu gerbang dan paling dekat dengan Pulau Buton. Di sini terdapat pelabuhan besar yang melayani kapal barang dan penumpang di Desa Wanci.

Penduduk Wangi-Wangi sebagian besar pedagang dan pelaut. Adapun mata pencaharian penduduk Kaledupa adalah hampir 35 persen petani tanaman pangan dan perkebunan.
Jika Pulau Wangi-Wangi menjadi pintu gerbang transportasi laut, Pulau Tomia pintu gerbang transportasi udara. Sementara Pulau Binongko sebagian penduduknya merantau sampai Singapura dan Malaysia. Penduduk yang tinggal hanya kaum perempuan. 

(M Puteri Rosalina/Litbang Kompas)

Sang Guru Mengajarkan Berutang

Persoalan pendidikan tampaknya bukan hanya terjadi kota-kota besar. Di daerah terpencil seperti perkampungan suku Bajo Desa Sama Bahari, pendidikan menjadi persoalan krusial. Selain fasilitas yang minim, sistem pengajaran di SD Sama Bahari juga sangat buruk.

"Jam belajar sekolah sekarang semau-maunya saja. Jam 7 pagi masuk, jam 8 sudah selesai. Dapat apa mereka dari jam belajar seperti itu? Padahal anak-anak kami mau sekolah," keluh Rustam, seorang orangtua murid.

Rustam, yang juga warga Bajo, mengatakan orangtua sempat memprotes jam belajar tersebut. Sebagai pendatang, guru-guru itu tidak disiplin. Sang guru malah berdalih gaji kecil, lokasi yang sulit ditempuh dan jauh. Lagi pula, tidak ada yang melihat cara mereka mengajar.

"Tapi tahun lalu, ada kepala sekolah orang darat. Dia tidak pernah disiplin selama mengajar di sini. Baru sebentar saja masuk, anak-anak diajarinya berbisnis. Dia menjual es di sekolah, dia kasih utang pada murid-murid," paparnya.

Kejadian itu, kata Rustam, sempat membuat orangtua murid kesal.

Tiba-tiba saja di akhir pelajaran, sejumlah orangtua murid mendapat tagihan utang. Anak-anak mereka berutang jajanan es hingga Rp 10.000. Peristiwa itu dilaporkan, alhasil sang guru dimutasi. Kini kepala sekolah di sana adalah orang Bajo asli. Namun, sistem pengajaran tetap saja buruk. [U-5]  SUARA PEMBARUAN

Kampung Bajo, "Negeri di Atas Karang"

Suku Bajo atau Bajau banyak berdiam di perairan Sulawesi dan kepulauan sekitarnya. Populasi Bajo sesungguhnya menyebar dari Kepulauan Filipina dan Laut Cina Selatan, Kalimantan, hingga pulau-pulau Sunda. Dulu nenek moyang Bajo juga dikenal sebagai manusia perahu. Kini suku Bajo mendiami "Negeri di Atas Karang".

Sebutan Bajo sebenarnya dipakai untuk orang-orang yang menggunakan perahu sebagai tempat tinggal. Konon mereka berasal dari Laut Cina Selatan. Itulah sebabnya mereka digolongkan suku laut nomaden. Namun, saat ini, suku Bajo yang masih tinggal di atas perahu sudah berkurang. Sebagian besar menetap, walaupun masih di atas laut.

Permukiman suku Bajo memang cukup banyak di sekitar Pulau Sulawesi. Antara lain perairan Manado, Kendari, Kepulauan Togian, Selat Tiworo, Teluk Bone, perairan Makassar, dan Kepulauan Wakatobi (Wangi-wangi, Kaledupa,Tomia, Binongko). Meskipun tersebar berjauhan, mereka masih menjalin hubungan kekerabatan.

Baru-baru ini, rombongan sejumlah wartawan mengunjungi suku Bajo di perkampungan Sama Bahari (dulu Sampela) di Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Aktivis lingkungan dari The Nature Conservancy (TNC) dan World Wide Fund for Nature (WWF) mendampingi perjalan-an itu.

Keberadaan suku Bajo di Sama Bahari sesungguhnya salah satu potensi wisata Wakatobi. Kepulauan seluas 1,39 juta ha tersebut menjadi Taman Nasional Laut sejak 1996. Banyak wisatawan mengagumi alam bawah laut, keindahan terumbu karang, pesona Karang Kaledupa, termasuk kehidupan suku Bajo. Tidak banyak orang dapat memastikan kapan pertama kali mereka tiba di Kaledupa.

Pejabat Bupati Wakatobi H Ahmad Mahufi Madra yang juga putra daerah, mengatakan suku Bajo pertama kali datang dengan menggunakan perahu-perahu. Selama beberapa tahun, mereka tinggal di atas perahu. Mata pencariannya menangkap ikan. Lama kelamaan, populasi bertambah.

"Pada 1957, perkampungan suku Bajo hanya mencapai puluhan rumah. Namun kini perkampungan Bajo di Sama Bahari meluas hingga 5 km persegi. Di samping itu, suku Bajo ada juga yang tinggal di darat," katanya.

Seiring berkembangnya suku Bajo, Pemda Wakatobi mulai menuai persoalan. Kebiasaan suku Bajo mulai bergeser. Setelah mendirikan rumah di atas tiang kayu, mereka mengambil batu-batu karang dari laut untuk pekarangan. Alhasil sebagian besar rumah suku Bajo berdiri di atas karang. Tanpa disadari, kebiasaan mengambil karang-karang besar itu berpotensi merusak ekosistem laut.

Suasana kampung Bajo di pagi hari.

Lapangan bermain di atas batu karang.

Kondisi Lingkungan

Kampung Sama Bahari memang paling sering dikunjungi wisatawan, terutama turis asing peneliti. Kabarnya, perkampungan itu jauh lebih teratur dibandingkan perkampungan Bajo lainnya. Merapat di dermaga kecil, pengunjung memasuki jalan umum yang sesungguhnya jembatan. Walau sebagian besar masih ditopang batang kayu gelondong, sebagian jembatan beralas kayu tersebut sudah menggunakan pancang beton.

"Mereka membangun rumahnya dulu, setelah itu cari batu karang untuk pekarangannya. Untuk membuat satu pekarangan di sekeliling rumah, pengumpulan batu dilakukan enam sampai satu tahun. Jadi istilahnya rumah tancap, kan tiangnya ditancapkan dulu," kata Ma'aruji, nelayan yang juga aktivis Forum Kahedupa Todani (Forkani).

Rumah-rumah suku Bajo asli umumnya beratap rumbia. Dindingnya terbuat dari papan kayu dan kombinasi gedek (anyaman bambu). Kini sebagian rumah warga banyak memakai atap seng. Dahulu, rumah orang Bajo lebih mirip gardu besar, tapi kini sudah memiliki beberapa kamar. Tak satu rumah pun berjendela besar.

Buat wisatawan, Sama Bahari memang memiliki daya tarik tersendiri. Jika menyusuri gang-gang berupa jembatan kayu yang membentang panjang, dapat melihat ikan-ikan kecil berenang di kanal-kanal. Alam se- olah sangat bersahabat dengan mereka. Seorang warga malah memelihara dua ekor elang laut yang jinak. Sesekal tampak ular laut belang berenang bebas di kolong rumah.

Sepintas, permukiman Sama Bahari tampak cukup padat. Penduduknya terus bertambah. Rupanya program keluarga berencana pernah gagal di sana. Ada satu rumah yang dihuni tiga keluarga. Rata-rata satu keluarga memiliki anak enam hingga delapan orang. Bisa dibayangkan, sumpeknya! Belum lagi, sistem sanitasi kurang baik. Sampah dan limbah menumpuk di sekitar rumah. Tak mengherankan kalau menemukan bangkai beberapa ekor tukik penyu sisik di sekitar rumah penduduk.

"Sekarang jumlah keluarga mencapai 250, sedangkan jumlah penduduknya sekitar 800 orang lebih. Sejak ada sosialisasi dari LSM Yayasan Bajo Matilla, keluarga berencana cukup berhasil," ujar Ma'aruji.

Kebiasaan

Suku Bajo di Sama Bahari mengandalkan mata pencarian dari mengelola hasil laut. Selain nelayan, mereka juga mulai mengenal tambak terapung. Beberapa di antara mereka juga bertani rumput laut. Ikan hasil tangkapan dan panenan rumput laut dijual ke Kota Wanci, Pulau Wangi-wangi. Tetapi umumnya, nelayan menjual ikan ke kapal pengumpul ikan yang datang.

Kebanyakan suku Bajo nelayan tradisional. Mereka menangkap ikan dengan menggunakan jaring, bagan apung, dan pancing. Konon dulu orang Bajo biasa menangkap ikan dengan tombak. Kini seiring peradaban modern, kebiasaan itu mulai hilang. Bahkan ada warga Sama Bahari yang sudah menjadi bandar ikan. Pendapatannya bisa mencapai ratusan ribu rupiah hingga jutaan sekali melaut.

"Sayang orang Bajo nyaris tidak ada perhitungan. Pengeluaran mereka tidak teratur. Tidak terpikirkan hari esok, mereka seolah bisa cari lagi di laut. Mereka tidak biasa menabung. Kalau ada roti hari ini, mereka habiskan juga hari ini," kata Ma'aruji.

Sejak beberapa bulan lalu, orang Bajo di Sama Bahari sudah mampu mengatasi kebutuhan air bersih. Dengan menggunakan pipa di dasar laut, air bersih disalurkan dari pulau terdekat. Sebelumnya, mereka harus bolak-balik mengangkut air bersih dengan perahu. "Sekarang mereka bisa beli satu jeriken Rp 500. Atau, mereka bisa ambil sendiri di daratan. Ada sumur gratis di sana," tambahnya.

Di tengah perkampungan, suku Bajo membangun sebidang lapangan, tempat anak-anak sering bermain bola. Tak jauh dari lapangan, ada semacam balai-balai tempat berkumpul, atau menonton siaran televisi. Berkat antena parabola, mereka dapat menyaksikan siaran televisi luar negeri. Untuk sumber listrik, mereka menggunakan generator.

Menurut Outreach & Community Development Coordinator WWF Indonesia Veda Santiadji, perkampungan Bajo di Sama Bahari relatif cukup modern. Mereka sudah memiliki sejumlah fasilitas umum seperti sekolah, madrasah, musala, tempat pelelangan dan penyimpanan ikan.

"Wisata kampung Bajo memang menarik. Tetapi sayang, belum dikelola dengan baik. Perkampungan yang unik itu akan lebih menarik jika ada wisata budaya dan hasil kerajinan," ujarnya. [Pembaruan/Unggul Wirawan]


Pulau Runduma, Surganya Penyu

KOMPAS, Rabu, 30 Januari 2008 | 16:15 WIB

KENDARI, RABU - Runduma adalah surga bagi penyu. Disebut demikian karena di pulau berpasir putih ini, penyu bebas beranak-pinak membentuk koloni, tanpa gangguan manusia.

Pulau di tengah Laut Banda dan termasuk wilayah Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara ini, sesungguhnya bukan pulau tak berpenghuni. Ada 140 kepala keluarga yang bermukim di pulau itu yang sangat mencintai alam dan pulau mereka, sehingga penyu merasa aman hidup berdampingan.

Terumbu karang di perairan Laut Banda juga masih lestari. Warga Desa Runduma, Kecamatan Tomia menghargai kehidupan biota laut dan sangat menjaga terumbu karang di kawasan itu. Mereka tak pernah merusaknya, karena terumbu karang bagi mereka seperti "ibu", yang memberi kehidupan. Mereka menangkap ikan hanya dengan menggunakan alat konvensional, seperti pukat dan jala saja.

Mereka pantang menggunakan alat modern apalagi sampai melakukan pemboman ikan yang dapat merusak terumbu karang. Mereka paham terumbu karang adalah tempat berkembang biaknya biota laut, khususnya ikan dan penyu. Jika terumbu karang hancur maka ikan dan penyu tak akan ada lagi.

Khusus penyu, di sebelah Pulau Runduma terdapat pulau kecil yang sama sekali tidak berpenghuni. Di pulau tanpa nama, rakyat Runduma membiarkan penyu-penyu bertelur.

Untuk mengawasi perkembangbiakan penyu, pengawas dari Taman Nasional Wakatobi setiap bulan melakukan kunjungan. Tujuannya untuk melihat, sekaligus menghitung pertambahan populasi penyu di sekitar pulau tersebut.

Sebelum pegawas Konservasi Taman Nasional Wakatobi meningkatkan pengawasan di sekitar terumbu karang Wakatobi, kerap kali pengganggu dari luar Wakatobi datang melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak. Bahkan ada yang berani melakukan pembiusan dengan kompresor.

Mereka menyelam hingga ke dasar karang menebar bius dan membunuh ikan dan biota laut lain. Akibat perbuatan tersebut, terumbu karang rusak. Ikan-ikan yang belum saatnya dipanen mati terkena bius ikan.

Menurut Siwa, warga Desa Runduma, yang melakukan pengembomam, pembiusan dan perburuan telur penyu dan sekaligus penyunya adalah warga di luar Pulau Runduma.

"Namun, kami warga Runduma yang kerap dituding melakukan itu semua. Padahal bukan kami, melainkan orang luar yang datang merusak terumbu karang," kata Siwa.

Agar populasi penyu tetap terpelihara dengan baik di Pulau Runduma, Bupati Wakatobi, Hugua, terus meningkatkan pengawasan, baik pengawasan pihak Taman Nasional Wakatobi, instansi teknis terkait maupun kelompok masyarakat yang sudah mendapat pembinaan.

Ternyata pengawasan bukan satu-satunya cara yang efektif agar kelestarian terumbu karang tetap terpelihara hingga biota laut tetap berkembangbiak dengan baik, pendekatan budaya lokal lebih efektif, kata Hugua yang juga aktivis lingkungan itu.

Sang Bupati yang pernah menyaksikan cara penyu bertelur di hamparan pasir Pulau Runduma, mengatakan bahwa penyu memiliki cara unik untuk mengelabui perbuatan tangan-tangan jahil. Misalnya saja, penyu bertelur dengan cara menggali pasir, penyu berjalan beberapa meter lalu kemudian menghilangkan jejak kakinya.

500 Jenis

Wakatobi memiliki lebih dari 500 jenis terumbu karang yang tersebar pada "atol" terpanjang di dunia yang mencapai 47 kilometer. Secara umum jenis karang yang mendominasi ekosistem terumbu karang di daerah ini adalah Acropora spp dan Porites spp. Kehidupan biota laut sangat indah. Ikan-ikan yang hampir tidak dijumpai di perairan lain di Indonesia, bahkan di negara mana pun dapat ditemui di Wakatobi.

"Sea hourse", ikan kodok, ikan Napoleon, ikan termahal di dunia masih dapat ditemukan di sela-sela terumbu karang Wakatobi.

Perhatian terhadap terumbu karang Wakatobi bukan hanya pemerintah daerah tetapi telah menarik perhatian dunia. Oleh Bank Dunia anggaran yang dikucurkan melalui program Coral Reef Rehabilitation and Management Program (Coremap) telah mencapai puluhan miliar rupiah.

Kadis Perikanan dan Kelautan Sultra, Askabul Kijo mengatakan, kelestarian terumbu karang membutuhkan perhatian semua pihak. Kehadiran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk melestarikan terumbu karang dan biota laut membantu pemerintah daerah, kata Askabul.

Pengunjung yang berminat menikmati wisata di gugusan empat pulau besar di Wakatobi (Wanci, Kaledupa, Tomia dan Binongko) dapat menggunakan beberapa alternatif. Wisatawan bisa menggunakan transporasi udara milik investor wisata Mr. Lorens di Pulau Onemobaa. Transportasi udara ini merupakan satu-satunya yang bisa menjangkau Wakatobi. Itupun harus melalui bandara udara Ngurah Rai, Denpasar. Biaya mencapai belasan juta rupiah.

Dapat pula melalui jalur laut, yakni dari Kendari menumpang kapal cepat ke Kota Baubau kemudian menggunakan kapal kayu menuju Pelabuhan Wangi-Wangi. Biaya sekitar Rp800 ribu pulang pergi (PP). Memang relatif mahal, tapi itu akan terbayar tunua dengan keindahan panorama yang ditawarkan Rundama.(ANT)