Saturday, March 03, 2007

Melintas Kelaut Tetangga

MELINTASI laut tetangga mungkin ungkapan yang tepat. Setelah krisis perikanan di sejumlah wilayah pengelolaan perikanan, ramai-ramai industri perikanan melirik kawasan yang dianggap ‘aman’. Di Sulawesi Tenggara, kedatangan kapal-kapal penampung ini memicu ramainya perdagangan ikan yang tak terdata.

Tahun 2007, sekitar 15 kapal asal Pulau Bali masuk di perairan Sulawesi Tenggara. “Mereka membeli berbagai jenis ikan dari nelayan kita,” kata Muchtar Spi, kepala pengawas perikanan Sultra. Tak mudah memantau perairan di Sulawesi Tenggara, terlebih lagi mengetahui secara pasti jumlah dan jenis ikan yang keluar. Mekanisme pengelolaan tangkap belum bisa dilakukan secara maksimal.

Sampel dari Kabupaten Wakatobi selama dua tahun terakhir 2006-2007 menunjukkan, sebanyak 70% ikan hasil tangkapan nelayan Wakatobi dijual ke perusahaan perikanan, sedangkan 30% lainya dijual ke pasaran lokal.Data lainnya, sekitar 60% habitat ikan di perairan Wakatobi dinyatakan siap tangkap, namun 40% diantaranya belum dewasa. Sayangnya, karena penangkapan yang berlebihan seringkali ikan-ikan yang belum dewasa ikut terjaring.

Masalah ini tak hanya menimpa Sulawesi Tenggara, Data Departemen Kelautan dan Perikanan menunjukkan, tangkap lebih itu terjadi di semua wilayah pengelolaan perikanan di Indonesia. Diperkirakan jumlah tangkap nelayan Indonesia maupun oleh nelayan asing mencapai 6,4 juta ton per tahun yang diperoleh dari sembilan wilayah perairan utama Indonesia yakni ; (1) wilayah perairan Selat Malaka, (2) wilayah perairan Laut Jawa (3) wilayah perairan Selat Makasar (4) wilayah perairan Laut Banda (5) wilayah perairan laut Arafuru (6) wilayah perairan Teluk Tomini (7) wilayah perairan Hidia bagian Barat Sumatera (8) wilayah perairan Hindia bagian Selatan Pulau Jawa dan (9) wilayah perairan Laut Cina Selatan.

Peneliti Balai Riset Perikanan Laut, Duto Nugroho, Suherman Banon Atmadja, dan Subhat Nurhakim mengatakan sejumlah data statistik produksi perikanan tahun 2000-2004 yang digunakan untuk memperlihatkan gambaran kualitatif jenis sumberdaya ikan, alat tangkap serta struktur armada yang bekerja di satu zona menunjukkan posisi berbeda-beda. Namun, semua gambaran itu menunjukkan sinyal krisis wilayah pengelolaan perikanan (WPP) yang merujuk pada ketersediaan demersal (jenis ikan-ikan dasar, cetacean, udang, gurita atau kerang) berbeda-beda.

Untuk WPP Laut Cina Selatan telah tereksploitasi khusus untuk pelagis besar dan kecil, demersal serta beberapa jenis ikan karang. Perikanan di Laut Jawa dinyatakan mengalami eksploitasi berlebihan. WPP Laut Flores dan Selat Makassar mengalami tangkap lebih untuk jenis demersal dan eksploitasi berlebihan untuk pelagis kecil. WPP Laut Banda pengelolaan perikanan hanya direkomendasikan untuk pelagis kecil dan pelagis besar tidak untuk spesies lain. Untuk WPP Laut Seram dan Teluk Tomini illegal fishing melanda demersal dan pelagis besar maupun kecil. WPP Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik juga mengalami tangkap lebih. Laut Arafura juga mengalami tangkap lebih untuk jenis demersal dan udang. Sedang untuk WPP Samudera Hindia tak bisa lagi dilakukan pengelolaan karena tangkap lebih menimpa semua status stok baik demersal, udang, pelagis kecil maupun besar.

Kendari Pos, (WED, 30 - JAN - 2007)



Jejak - Krisis Perikanan Landa Indonesia, Sinyal Bahaya Dari Laut

DUNIA perikanan dan kelautan di seluruh belahan dunia sedang mengalami krisis sumberdaya. Peneliti perikanan menemukan bahwa stok ikan berbagai jenis turun akibat kegiatan tangkap lebih maupun tangkap penuh. Di Indonesia, krisis perikanan juga terjadi karena penangkapan yang menggunakan bom ikan maupun racun.

”Seperti buah simalakama, izin penangkapan mau dikurangi tapi di lain tempat pencurian ikan terus berjalan karena hukum tak berjalan,” kata Gede Raka Wiadnya dari The Nature Conservancy yang konsen dengan penelitian ikan-ikan dasar. Akibat dari dari pengelolaan yang tak lestari, Indonesia mengalami kerugian sebesar USD 2 juta setiap tahun. Untuk mengurangi kerugian tersebut, Pemerintah menerapkan pengelolaan perikanan tangkap Indonesia sebesar 80 persen dari nilai Maximum Sustainable Yield (MSY) yang nilainya ditaksir 5,0 juta ton per tahun. MSY yang kita kenal dan pakai ini merupakan alat ukur penentuan batas variabel perikanan untuk menentukan apakah suatu daerah masih memungkinkan pengelolaan perikanan atau tidak samasekali.
Tapi, alat ukur ini masih menimbulkan perdebatan. Eko Sri Wiyono, staf pengajar fakultas perikanan dan ilmu kelautan IPB, mengatakan MSY seringkali tak dapat diterapkan dengan baik. Bukan karena ketersediaan data yang terbatas tapi karena gagal mengadopsi perilaku ekosistem. Eko secara rinci memaparkan argumennya dalam artikel mengapa sebagian besar perikanan dunia overfishing? Suatu telaah manajemen perikanan konvensional, yang terbit di jurnal inovasi Maret 2006. Intinya, bila penentuan batas variabel keputusan atas stok perikanan tidak akurat, maka apa yang akan terjadi dalam pengelolaan perikanan Indonesia? ”Buruk bagi pengelolaan pengelolaan sumberdaya ikan,” tulis Eko. Namun,di luar dari berbagai perdebatan itu, apa yang sebenarnya menimpa sumberdaya di laut seluas 5,8 juta km2 ini? 

Para nelayan umumnya tak bisa memberikan penjelasan layaknya para peneliti perikanan atas penurunan sumberdaya ikan di sejumlah wilayah. Namun mereka dengan mudah menjawab bahwa jarak tangkap semakin jauh, ukuran ikan lebih dan kapal-kapal penampung maupun penangkap ikan hilir mudik di satu zona tangkap. “Dulu tak payah, bisa sekali jalan ke Teluk Kendari sudah dapat ikan, tapi sekarang? Susah,” kata Anto, 35 th, nelayan di perairan Kendari. 
”Kalau dulu dekat-dekat, sekarang kami sampai di Menui—perairan Sulawesi Tengah--,”kata Hasanuddin. 
”Banyak jenis ikan tak bisa lagi ditemui, ukurannya kecil-kecil dan nelayan masih tak sejahtera,” kata La Beloro, ketua Forum Kahedupa Toudani Sulawesi Tenggara. Jauh dari hembusan krisis perikanan, nelayan di pesisir Sulawesi Tenggara menemukan fakta semakin jauhnya wilayah tangkap. 
“ Dulu, kalau mau tangkap taripang, sangat gampang kita dapat di depan rumah. Tapi sekarang, minimal 4 mil jauhnya dari pantai baru kita bisa dapat taripang”,kata Beloro yang kini mendorong nelayan di Kaledupa Wakatobi mengubah alat tangkapnya untuk menjaga kelestarian laut. 
Lalu, apa yang akan terjadi bila ikan-ikan di taman nasional Wakatobi dieksploitasi besar-besaran? Dampaknya mungkin seperti ini ; dalam lima tahun kedepan tak ada lagi sunu, cumi-cumi maupun udang yang tersantap di meja. Semua hanya jadi kenangan. Tapi, apa kaitannya menjaga taman nasional Wakatobi dengan warga yang hidup di Kota kendari?

“Wakatobi itu seperti bank ikan untuk kita semua,” kata I Wayan Veda Santiadji, project Leader TNC-WWF di Wakatobi. Bila ekosistem Wakatobi terjaga, baik terumbu karang mapun stok ikan, imbas positifnya akan sampai di daerah-daerah migrasi ikan. Karena itu, sangat diperlukan pengelolaan kawasan secara kolaboratif. Tak hanya melibatkan pemerintah, stakeholders tapi juga warga sebagai konsumen.
Salah satu rekomendasi adalah menyarankan agar pemerintah menciptakan, membangun, dan meningkatkan kesadaran, dan merubah persepsi dan pemikiran masyarakat agar menghentikan pandangan yang romantis bahwa sumberdaya laut kita, terutama perikanan, tidak akan pernah habis. Selain itu, pemberlakuan wilayah tangkap kepada nelayan di daerah lain diperlukan untuk menghindari stok ikan terkuras sia-sia. 
La Beloro, Anto dan Hasanuddin hanyalah segelintir warga yang menggantungkan hidup dari laut. Totalnya terdapat 4,6 juta warga hidup yang hidup dari sumberdaya laut saat ini, mereka mengonsumsi ikan berbagai jenis. Angka tersebut belum termasuk tingginya angka ekspor ikan ke seluruh belahan dunia baik yang bisa terdata maupun tidak. Kenyataanya, meski semakin tinggi tingkat konsumer ikan di Indonesia, tapi ternyata tak berkorelasi positif terhadap peningkatan ekonomi nelayan.

Data COREMAP atau Coral Reef Rehabilitation and Management Program, proyek nasional yang didanai pinjaman Bank Dunia, memperlihatkan catatan nelayan dari 10 provinsi yang ternyata hanya berpendapatan Rp 82.500 hingga Rp 225.000 per bulan. Nelayan sangat tergantung pada musim. Semakin buruk musim, semakin jauh wilayah tangkap mereka. Artinya, biaya operasional bertambah. 
Tentu saja, tak melulu hidup tergantung dari sumberdaya yang sewaktu-waktu bisa habis ini. Di Sulawesi Tenggara, program budidaya perikanan terhadap jenis ikan tertentu mulai digencarkan.” Ini strategi kami,”kata Askabul Kijo, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sultra. Upaya ini diharapkan mampu meminimalisir tingkat penangkapan ikan berlebihan. Pihak DKP Sultra juga melakukan penguatan data-data perikanan untuk menghindari konflik pemanfaatan ruang, kemiskinan masyarakat nelayan dan degradasi lingkungan yang sewaktu-waktu bisa terjadi. 

Sertifikasi Eco-Labeling. 
Lalu bagaimana meningkatkan income nelayan tanpa merusak ekosistem? Sertifikasi eco label bisa jadi pilihan. Pemberian label ini diyakini mampu menjamin keberlangsungan perdagangan ikan di pasar-pasar nasional maupun international. Cara ini selain jitu meningkatkan nilai ekonomi juga mendorong nelayan maupun industri perikanan untuk ramah dalam pengelolaan lingkungan hidup. “Produk ikan yang bisa memperoleh sertifikasi biasanya telah melewati beberapa tahapan,” jelas Imam Musthofa Zainuddin, koordinator nasional program kelautan WWF-Indonesia. “Yah diantaranya diperoleh dengan cara ramah lingkungan dan tak merusak ekosistem,” tambahnya.

Lembaga yang melakukan sertifikasi adalah lembaga independen yang tidak mendapatkan tekanan ekonomi maupun politik dari negara manapun. Saat ini lembaga sertifikasi tersebut bernama MSC, dan proyek sertifikasi ini sudah dijalankan beberapa negara di wilayah Benua Amerika dan Benua Eropa. Sertifikasi ini dinilai sangat ideal untuk pembangunan kelautan dan perikanan yang berkelanjutan, karena seorang pengolah atau pengumpul ikan akan mendapatkan sertifikat produk tersebut apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (1) semua jenis hasil tangkap harus sesuai dengan permintaan pasar dan alat yang dipakai (2) ekosistem impact (dampaknya terhadap ekosistem); proses penangkapan yang dilakukan dengan tidak membahayakan ekosistem laut, (3) Pengolahannya harus mempunyai efektif management; maksudnya,mulai dari tahap penangkapan yang berorientasi pada keseimbangan ekosistem dan jumlah stok komoditi yang ada dalam wilayah perairan sampai pada tahap pemakaian alat untuk menangkap ikan yang berasaskan keseimbangan ekosistem tadi, semuanya dibuat dalam draft management.

Menurut Imam sertifikasi eco label adalah win-win solution dalam strategi pengembangan perikanan dan kelautan di indonesia. Dengan program sertifikasi ini pula, Benua Amerika dan Benua Eropa secara bertahap mampu melapaskan diri dari krisis sumber daya perikanan dan kelautan yang mendera negara mereka. Sertifikasi dinilai tak hanya menjamin pasar, tapi juga keseimbangan ekologi. “Tak perlu lagi menangkap ikan dalam jumlah berlebih, cukup beberapa saja dan harganya sudah bisa menopang perekonomian nelayan,” kata Imam.

”Program ini menarik minat nelayan, semoga pemerintah memberikan dukungan positif,” kata Beloro.

Kendari Pos, (WED, 30 - JAN - 2007)

Sunday, February 18, 2007

Met jalan n met datang...

Selamat jalan pak Syihab, Syihabuddin. Selamat datang mas eh pak Wahyu, Wahju Rudianto. Semoga ini memberikan kebaikan yang lebih untuk Taman Nasional Wakatobi, the heart of world's coral triangle center.