Saturday, September 09, 2006

Wakatobi, Geliat Wisata Taman Nasional

Pasir putih terhampar sepanjang pesisir. Nyiur melambai disapu angin pantai. Saat laut surut, keindahan alam bawah laut kian menggoda. Ikan-ikan bercumbu di sela-sela terumbu karang. Keindahan itu bisa disaksikan cukup dengan mata telanjang. Wakatobi, di sanalah, pesona alam nan surgawi.
Wakatobi adalah nama yang diambil dari kependekan pulau terbesar yakni Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko yang terletak di sebelah tenggara Sulawesi. Dahulu, orang menyebutnya di Kepulauan Tukang Besi. Kawasan seluas 1,39 juta hektare itulah yang kemudian dijadikan taman nasional laut pada tahun 1996. Luas kawasan itu pula yang menjadi disahkan sebagai Kabupaten Wakatobi pada tahun 2004.
"Taman Laut Nasional Kepulauan Wakatobi menjadi harapan kami. Kewajiban saya adalah menjaga agar ekosistem taman nasional tidak rusak. Selain itu, pengembangan sumber daya Wakatobi hendaknya dapat dilakukan oleh masyarakat setempat," kata Penjabat Bupati Wakatobi HAM, Madra ketika menyambut rombongan wartawan baru-baru ini. Sektor pariwisata Wakatobi memang sedang menggeliat. Pemda setempat terus membenahi infrastruktur untuk menunjang pengembangan pariwisata. Hingga kini, arus kunjungan wisata telah mencapai 3.000-5.000 orang per tahun. Namun, kunjungan wisata masih didominasi turis asing asal Eropa dan Amerika.
Taman Nasional Kepulauan Wakatobi (TNKW) memang merupakan taman laut terbesar kedua setelah Taman Nasional laut Teluk Cendrawasih di Papua. Di kepulauan ini, banyak orang mengagumi pesona Karang Kaledupa yang merupakan karang terluas dan terpanjang di Indonesia. TNKW memang terletak di kawasan Segitiga Terumbu Karang Dunia.
Kepulauan Wakatobi memiliki 25 gugusan terumbu karang. Terumbu karang tersebar di antara 37 pulau yang ada. Di kepulauan ini, baru enam pulau saja yang dihuni. Sementara hanya 11 pulau yang memiliki nama. Sisanya, 31 pulau masih tak bernama dan belum dikelola. Para wisatawan yang datang , umumnya melakukan kegiatan selam, snorkeling, berenang, berkemah dan wisata budaya.
Keindahan alam Wakatobi memang berasal dari kekayaan sumber daya alamnya. Kajian ekologi yang dilakukan The Nature Conservancy (TNC) dan World Wide Fund for Nature (WWF) pada tahun 2003 menemukan 396 jenis karang batu penyusun terumbu karang. Di kawasan itu, sebanyak 590 jenis ikan ditemukan berkembang biak. Untuk melihat upaya konservasi di Wakatobi, WWF dan TNC mengundang para wartawan dari Jakarta dan Kendari. Dari Kendari, rombongan menuju Bau-Bau dan melanjutkan perjalanan dengan kapal Phinisi bernama Menami. Dengan kapal bermesin itu, kami mengunjungi pulau-pulau di Wakatobi.
Musim Kunjungan Jika menggemari olahraga selam, situs penyelaman di Wakatobi sampai ratusan jumlahnya. Seorang pengusaha asal Swiss bernama Lorenz Mader bahkan telah membuka Wakatobi Dive Resort, yang menawarkan wisata selam. Resor tersebut malah sudah dilengkapi dengan bandara perintis, yang melayani turis langsung dari Bali. "Musim kunjungan terbaik adalah bulan April sampai Juni dan Oktober sampai Desember. Di luar bulan itu, ombak terlalu besar sehingga terlalu berisiko untuk melakukan perjalanan," kata Maaruji, warga se- tempat.
Selain Wakatobi Resort, ada beberapa perusahaan yang mengurus kunjungan wisatawan ke Wakatobi dan kawasan wisata lainnya di Kabupaten Buton, antara lain Badan Pengembangan Wallacea (Jakarta) dan Wolio Travel (Baubau). Biasanya, wisata-wan juga dapat menggunakan kapal besar dari Kendari. Jarak Kendari-Wakatobi dapat ditempuh dalam waktu 16 jam.
Wisatawan yang berkunjung ke TNKW dapat menginap di 63 bungalow, milik pemda di Pulau Hoga. Sementara PT Wakatobi Dive Resort mengelola Pulau Onemobaa, pulau kecil berpasir putih secara eksklusif. Namun paket wisata di sana relatif mahal. Sementara di Pulau Hoga, sebelah utara Pulau Kaledupa, tarif menginap di satu bungalow masih Rp 50.000, per malam.
Masing-masing pulau tersebut berstatus pemerintahan kecamatan. Kepulauan yang terletak di Laut Banda itu berjarak 150-200 mil dari Baubau, ibu kota Kabupaten Buton. Dahulu Wakatobi memang menjadi bagian dengan Kabupaten Buton. Itu sebabnya, sebagian wisatawan kadang juga memilih rute Kendari - Bau-Bau - Wanci. "Setiap hari, ada dua kali kapal cepat, dengan lama 5 jam perjalanan. Ada juga kapal kayu, tetapi memakan waktu 12 jam perjalanan. Kota Wanci di Pulau Wangi-wangi adalah pintu gerbang Wakatobi," papar Outreach & Community Development Coordinator WWF Indonesia, Veda Santiadji.
Daya Tarik Menurut Monitoring & Surveilance Coordinator TNC, Anton Wijonarno, sejak berstatus taman nasional, Wakatobi terus mengembangkan program konservasi sumber daya alam. Tujuannya adalah melestarikan kekayaan sumber daya alam flora dan fauna baik di luar maupun di darat. "Berkat keanekaragaman terumbu karang, Wakatobi memiliki keistimewaan biota laut. Selain berlimpah sumber daya laut, kepulauan ini juga mempunyai kekayaan fauna and flora spesies langka," ujarnya.
Di perairan Wakatobi, para nelayan tradisional cukup mudah mendapatkan ikan. Populasi ikan tersebut memang sangat bergantung dengan keberadaan terumbu karang. Oleh karena itu, praktik penangkapan ikan dengan bom atau obat bius cukup meresahkan. Hal itu mulai disadari setelah WWF dan TNC melakukan edukasi terhadap masyarakat setempat.
"Kami juga mencoba mengupayakan peran petani rumput laut. Kalau banyak petani rumput laut, otomatis nelayan pembom akan takut. Mereka saling bertentangan karena rumput laut akan rusak," ujar Kepala Balai TNKW, Syihabuddin. Perairan Wakatobi sangat kaya dengan sumber daya laut. Setelah mengenal rumpon, para nelayan makin mudah mendapatkan ikan. Seekor ikan tuna dengan berat 4 kg dijual dengan harga Rp 20.000.
Berbagai spesies ikan memang dapat ditemukan dengan mudah. Mulai dari kakap, kerapu, ekor kuning, tuna, napoleon, sampai hiu. Jika beruntung, wisatawan juga dapat menyaksikan iringan lumba-lumba berenang dari atas kapal.
Tiga bulan sekali, beberapa kapal pengumpul ikan berlabuh di perairan Tomia. Kapal-kapal itu membeli ikan dari para nelayan setempat. Hampir sebulan penuh, mereka mengisi muatan. Salah satu kapal pengumpul malah berasal dari Muara Baru, Jakarta. Menurut mereka, ikan-ikan itu akan dipasok untuk pasar-pasar Jakarta. Jika waktu perjalanan mencapai dua minggu, bisa dibayangkan, berapa lama ikan-ikan dalam pengawetan?
Wakatobi tidak hanya punya daya tarik alam. Di kepulauan itu, ada beberapa perkampungan Suku Bajo yang didirikan di atas laut. Mereka dikenal sebagai pelaut tangguh. Para nelayan Bajo juga dikenal mampu menangkap ikan hanya dengan tombak. Di pulau Kaledupa dan Binongko, wisatawan dapat membeli kain tenun hasil kerajinan penduduk setempat. Sehelai kain tenun ikat dijual dengan harga Rp 100.000- Rp 200.000.
Di Kaledupa, kerajinan yang dikenal adalah kain sarung Wuray dan tikar lipat. Jika mampir ke Pulau Binongko, jangan ragu mengunjungi lokasi para pengrajin besi. Dari para pengrajin inilah, Wakatobi dikenal sebagai kepulauan Tukang Besi. Menikmati keindahan alam Wakatobi rasanya tak cukup hitungan hari. Keanekaragaman flora dan faunanya begitu memanjakan mata. Tak kunjung puas orang mengagumi pesonanya.
Setelah sauh diangkat, Menami membawa kami pulang. Jauh di sanubari, kami pun berjanji. Wakatobi, suatu hari nanti, kami kan kembali. [Pembaruan/Unggul Wirawan]
Last modified: 15/6/06 SUARA PEMBARUAN DAILY

Wednesday, August 02, 2006

Lebih Baik Terlambat Daripada...

25 Juli 2006 
Oleh: GESIT ARIYANTO

Kompas, 25 Juli 2005
Salah satu kenalan berkewarganegaraan asing yang lama bekerja di Indonesia langsung antusias ketika mendengar nama Wakatobi disebut. "Wow, asyik sekali pasti. Sudah lama saya ingin ke sana," katanya. 

Pembicaraan pun berlanjut seputar pariwisata, khususnya menyelam. Tak terbantahkan, para wisatawan telanjur mengidentikkan gugusan kepulauan di wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara itu sebagai salah satu "surga" bawah air. 
Anggapan itu tak sepenuhnya salah, tapi juga tak sepenuhnya benar. Pasalnya, Wakatobi tak melulu urusan selam menyelam. Pada banyak lokasi lain, jejak bom ikan maupun potasium meluluhlantakan "surga" terumbu karang. 

Pemandangan yang diperlihatkan tim surveilans WWF-TNC menunjukkan, sampah botol bir dan bahan tak terurai lainnya menumpuk di dasar laut. Di bagian lain, lantai laut terlihat rata dengan pecahan-pecahan karang akibat bom. Atau, terumbu karang yang menghitam karena potasium. 

Dari sektor pariwisata, memang hanya segelintir penduduk Wakatobi yang menikmati. Satu-satunya resor di Kepulauan Wakatobi dikelola warga Swiss sepuluh tahun lalu. Lokasinya di Pulau Tolandona yang lebih dikenal dengan Onemobaa; sepenggal daratan yang berdekatan dengan Pulau Tomia. 

Pulau Tomia merupakan salah satu nama pulau dari gugusan Kepulauan Wakatobi. Wakatobi merupakan singkatan dari empat pulau besar, masing-masing Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. 
Berdirinya resor merupakan hasil kerja sama investor asing dengan Pemerintah Kabupaten Buton, sebelum akhirnya dimekarkan dan kini berdiri Pemkab Wakatobi. Kerja sama pengelolaan disepakati selama 25 tahun dengan salah satu keistimewaan menguasai garis pantai. 

Di kawasan pantai yang menjadi "milik" resor, nelayan dilarang menangkap ikan. Penjaga keamanan akan dengan sigap mengusir mereka. 
Dalam situs web mereka, pengelola resor menjanjikan layanan sempurna. Pengunjung diiming-imingi pemandangan pantai yang spektakuler dan terumbu karang yang termasuk dalam kelompok terbaik di dunia. 

Adapun tarif menginap tujuh hari dipatok 1,940 dollar AS sedangkan paket 11 hari 2,840 dollar AS. Tarif belum termasuk sewa alat selam atau snorkling. Istimewanya, peminat yang telah deal di situs web akan dijemput pesawat khusus di Bandara Ngurah Rai dan langsung dibawa menuju Pulau Tomia yang memiliki lapangan terbang eksklusif. 
Selama liburan, pengunjung dapat memilih waktu menyelam kapan pun di pantai berjarak 20 mil dari resor. Dijamin tanpa gangguan lalu lalang kapal nelayan. 
Itulah salah satu "surga" layanan yang dijanjikan satu-satunya resor di Wakatobi. Resor itu pula yang selama bertahun-tahun menjual eksotisme bawah air Wakatobi. Sayangnya, tak semua cerita indah datang dari keberadaan resor tersebut. 

Sifat eksklusivitasnya cenderung kaku dan berjarak dengan masyarakat lokal. Bahkan, bupati dan kepala polda setempat pernah dibuat berang lantaran dilarang masuk ke area resor. 
Belakangan, kehadiran resor dipersoalkan. "Di satu sisi kami harus berterimakasih karena resor turut membuka mata dunia akan Wakatobi, tetapi kelayakan administrasi, usaha, dan operasinya juga harus sesuai ketentuan," kata Bupati Kepulauan Wakatobi caretaker AM Madra ketika menerima rombongan wartawan dan staf WWF-TNC Joint Programme di kantornya di Pulau Wangi-Wangi, akhir Mei 2006 lalu. 

Salah satu penataan menyangkut pajak Rp 130 juta per tahun yang dapat dicicil. Jumlah itu dinilai di luar kesepakatan karena luas resor sudah bertambah seiring penyewaan dari masyarakat. 

Penataan lainnya menyangkut nasib nelayan. Kelestarian terumbu karang juga diharapkan turut menyejahterakan nelayan tradisional. 
Taman nasional 

Perlu diketahui, seluruh luas wilayah Kepulauan Wakatobi merupakan kawasan Taman Nasional Kepulauan Wakatobi (TNKW) yakni 1.390.000 hektar. Saat ini, sedang dikerjakan revisi zonasi karena sebelumnya tumpang tindih dengan kepentingan penduduk. 
Hal itu disebabkan pembuatan zona kawasan disusun di Kendari, ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara, tanpa melihat kondisi lapangan yang terdiri dari 37 pulau. "Akibatnya tidak koneksi dengan kondisi lapangan," kata Kepala Balai TNKW Syihabuddin. 

Bayangkan, kawasan mencari ikan nelayan yang mentradisi, tiba-tiba masuk menjadi zona inti yang berarti dilarang ada aktivitas penangkapan ikan di sana. Demikian pula kawasan budidaya rumput laut. 

Revisi yang sedang dikerjakan saat ini melibatkan pihak pemerintah daerah, taman nasional, WWF, The Nature Conservancy/TNC, dan perwakilan masyarakat. Salah satu kendala yang dihadapi adalah belum adanya peraturan daerah mengenai tata ruang wilayah. 
Bupati Kepulauan Wakatobi AM Madra menyatakan, mendukung penzonaan yang sedang dilakukan selama melibatkan masyarakat. Ia memahami pentingnya menjaga kelestarian kawasan yang berujung pada keberlanjutan mata pencaharian warga. 

Pendekatan langsung kepada masyarakat, termasuk pelatihan-pelatihan pemberdayaan selain penyuluhan pentingnya menjaga kelestarian terumbu karang mulai membuahkan hasil. Hal ini ditunjang patroli rutin kapal cepat dan surveilans kapal motor Menami (milik WWF-TNC). 

Kini, sepuluh hari dalam setiap bulannya KM Menami kapasitas 63 GT mengitari kawasan Kepulauan Wakatobi. Selain para penyelam, surveilans diikuti polisi hutan yang berpatroli. Terakhir, mereka menangkap basah pengebom ikan yang tengah sandar di Pulau Runduma, salah satu pulau terjauh dari gugusan pulau-pulau besar Wakatobi. 

Penangkapan tidak lepas dari kesadaran warga Runduma yang mengontak kru kapal KM Menami yang menginformasikan keberadaan kapal pengebom ikan. "Kami tangkap mereka ketika sedang joget-joget hingga subuh," kata Syukur, polisi hutan BTNKW. 
Sebanyak 15 orang ditangkap dengan barang bukti 60 botol bom ikan. Kawasan Pulau Runduma relatif jauh dari jangkauan patroli karena faktor transportasi dan jarak. 
Menurut penuturan beberapa warga di beberapa pulau, aktivitas pengeboman ikan sudah menurun drastis dalam lima tahun terakhir. Sebelumnya, dentuman bom selalu terdengar sejak subuh di beberapa pulau. "Dulu hampir tiap hari dapat lihat pengebom ikan," kata Udin (37), warga asli Wakatobi yang juga penyelam WWF. 

Berbenah 
Perubahan mulai terasa di Wakatobi. Masyarakat diberi pelatihan budidaya rumput laut, ikan komersial, dan berorganisasi, yang selama puluhan tahun tidak mereka tekuni. 
Pemerintah pun menyatakan niat mereka untuk berubah, yang dimulai dari penataan internal dan pertanggungjawaban. Pemerintahan sebelumnya, hingga kini tidak menyampaikan laporan pertanggungjawaban (LPj). 

Soal Lpj bukan satu-satunya keanehan. Lainnya adalah penerimaan daerah tahun lalu dari sektor perikanan sebesar Rp 140 juta. Padahal, Wakatobi telah lama dikenal sebagai salah satu pusat penghasil ikan komersial seperti kerapu, sunu, hingga napoleon yang menjadi primadona di dunia. 

Menurut Koordinator Surveilans dan Monitor Program Bersama TNC-WWF Anton Wijonarno, kawasan Kepulauan Wakatobi memiliki keistimewaan dengan keberadan upwailling (pertemuan massa air hangat di permukaan dan air dingin dari laut dalam) di sana. Upwailling merupakan salah satu faktor utama banyaknya ikan. "Itu ada di sepanjang kepulauan," kata dia. 

Di Wakatobi tercatat sebanyak 396 spesies karang dan setidaknya 600 spesies ikan. Termasuk di antaranya ikan komersial seperti sunu, kerapu, dan napoleon. Soal kekayaan jenis ikan inilah yang selama ini kalah pamor dengan keindahan alam bawah air. 
Kekayaan itu ditambah dengan keberadaan Pulau Anano yang menjadi lokasi bertelur penyu sisik dan penyu hijau; dua jenis penyu yang hampir langka di dunia. Kepulauan Wakatobi juga memiliki gugusan karang Kaledupa yang membentang sepanjang 48 kilometer, yang menjadikannya salah satu gugusan karang terpanjang di Asia Tenggara. 

Di atas karang berair jernih itulah berdiri pondok-pondok singgah nelayan ketika melaut. Rombongan wartawan sempat mengunjungi keramba apung di gugusan karang Kaledupa. Pengelolanya bertutur, secara rutin kapal Hongkong datang mengambil kerapu, sunu, dan napoleon. 

Di sekitar Pulau Hoga, setidaknya dua kapal besar bersandar menunggu datangnya nelayan-nelayan untuk menjual ikan tangkapan mereka, sebelum akhirnya diekspor. Bertahun-tahun mereka telah beroperasi di sana. 

Dengan fakta-fakta itu, meskipun belum memiliki data potensi, tidak heran bila Bupati Kepulauan Wakatobi AM Madra menyatakan bahwa kebocoran penerimaan di sektor perikanan saja mencapai Rp 9 miliar per tahunnya. Seiring niat pemerintah daerah, taman nasional, dan aksi nyata organisasi non pemerintah di lapangan, wajar muncul harapan. 
Tidak ada kata terlambat untuk berubah.

Munculnya Gerakan Kemandirian

Hal-hal besar sering kali berawal dari sepotong kesadaran awal yang mulanya tampak kecil. Itulah yang kini muncul bagai gelombang dan menggulung kelompok petani rumput laut dan nelayan di gugusan Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara. 
Dalam sebuah kalimat, inilah kesadaran yang menggerakkan itu, "jangan pernah berharap pada orang-orang Kaledupa yang ada di luar sana. Nasib warga ditentukan oleh kita yang ada di sini." Adalah Ketua Forum Kahedupa Toudani (Forkani), La Beloro, yang mengungkapkan kalimat itu. 
Forum yang berdiri tahun 2002 itu berawal dari sebuah kegelisahan. Gantungan hidup mereka yang mulai mapan terancam musnah karena zonasi Balai Taman Nasional Kepulauan Wakatobi (TNKW). Perlu diketahui, seluruh wilayah Kabupaten Wakatobi seluas 1,3 juta hektar juga merupakan kawasan taman nasional. 
Zonasi yang diakui Kepala Balai TNKW disusun di atas meja nun jauh di Kendari sana-memasukkan kawasan pertanian rumput laut warga ke dalam zona inti. Artinya, di lahan mereka itu dilarang ada aktivitas pemanfaatan. "Bagaimana hidup kami nantinya?" kata La Beloro, mewakili seruan para petani rumput laut yang di Pulau Kaledupa berjumlah sekitar sepuluh persennya. 
Maka, tak ada pilihan selain memulai perlawanan. Namun, semua dilakukan dengan dialog. Warga mengusulkan agar zona inti diterapkan di bagian tubir, bukan di kawasan pantai. 
"Kalau pemerintah maunya memaksa, kenapa tidak kami bom saja semua terumbu karang yang bagus supaya rusak dan tidak ada taman nasional," demikian dikatakan Beloro, ketika mengisahkan perjalanan berdirinya Forkani kepada rombongan wartawan dari Jakarta dan Kendari di Pulau Hoga, pada akhir Mei 2006 lalu. 
Perlawanan mereka berhasil, karena pihak Balai TNKW menyadari kekeliruannya yang merumuskan penzonaan tanpa mempelajari kawasan terlebih dahulu. Kini, Forkani selalu dilibatkan dalam revisi zonasi yang sedang dibahas. 
Dalam kurun waktu empat tahun, Forkani telah memiliki 22 kelompok binaan di 11 desa di Pulau Kaledupa. Secara rutin setiap kelompok mengadakan pertemuan membahas persoalan-persoalan aktual dan mencari solusinya. 
Menurut Beloro, sebagaimana diiyakan beberapa pengurus yang hadir dalam pertemuan, tak ada upah bagi mereka untuk menggerakkan organisasi. Justru mereka mengeluarkan iuran rutin. 
Semangat dan kejelasan visi dan misi Forkani terlihat dalam antusiasme dan susunan program kerjanya. Salah satu rencana yang tertunda adalah membentuk koperasi simpan pinjam yang terkendala pagu keuangan Rp 12 juta. 
Mereka juga berencana mendirikan radio komunitas sebagai ajang komunikasi antaranggota. Radio juga akan dijadikan sarana pembentukan kelompok di setiap desa di Kaledupa. 
Membela hak 
Adapun program utama Forkani-yang ditegaskan menjadi prinsip utama-adalah pembelaan hak-hak atas sumber daya alam setempat. Sungguh sebuah kesadaran yang tidak umum dimiliki komunitas masyarakat di daerah lain di Indonesia. 
Kalaupun muncul kesadaran, umumnya tidak sampai pada pembentukan sebuah organisasi seperti halnya Forkani. Apalagi bergerak dengan visi dan misi yang rinci. "Adalah penting memberi pendidikan dan menekankan pentingnya konservasi, tetapi penting juga memberi akses ekonomi bagi masyarakat. Pemerintah juga harus bisa membuat masyarakat tidak bergantung kepada SDA. Harus punya alternatif," kata Beloro. 
Selama masih terus bergantung kepada SDA, kearifan sebesar apa pun lambat laun akan luntur oleh keterdesakan kebutuhan hidup. Demikian pula pengambilan dari alam seramah apa pun akan menyebabkan lingkungan menjadi kolaps. 
Salah satu contoh konkret yang ditawarkan Forkani, khususnya bagi masyarakat Kaledupa adalah melatih memanfaatkan lahan untuk kebun sayur mayur. Seluruh kebutuhan sayur di Kaledupa dan pulau-pulau lain di Wakatobi selama ini disuplai dari Bau-Bau, Pulau Buton. 
Gugusan karang yang menjadi Pulau Kaledupa sebagian besar ditumbuhi pohon kelapa, jambu mente, perdu, dan semak belukar. Tak ada perladangan sayur mayur di sana. 
Forkani juga menyerukan perlunya pelatihan intensif untuk memberi nilai tambah produk rumput laut. Kamaluddin (43), petani rumput laut yang mengenal budidaya rumput laut sepuluh tahun lalu berkisah, hingga kini ia dan semua petani lainnya hanya dapat menjual rumput laut kering kepada tengkulak. "Harganya terserah mereka," kata dia. 
Saat ini, hampir merata di seluruh Wakatobi, harga rumput laut kering Rp 3.600 per kilogramnya. Harga ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Adanya keahlian baru mengolah rumput laut diharapkan turut mendongkrak pendapatan mereka. 
Para petani mengaku sulit mengubah situasi yang ada sekarang ini, karena ketika rumput laut mereka jual langsung ke pengepul di Bau-Bau, harganya justru anjlok. "Seperti ada kesepakatan mereka dengan tengkulak," lanjut Kamaluddin. 
Kamaluddin mengaku masih beruntung karena berhasil keluar dari rantai tengkulak yang pernah membelitnya. Para tengkulak umumnya memberi bantuan modal bibit dan tali dengan perjanjian seluruh hasil panenan harus dijual kepada mereka. Tentu dengan harga tertekan. 
Kesadaran mengubah roda nasib juga muncul di Pulau Tomia, salah satu pulau besar tetangga Kaledupa. Di pulau dengan rumah-rumah yang tertata rapi di kawasan pesisir tersebut, berdiri tiga kelompok nelayan jaring. "Kami melihat perlunya kebersamaan untuk maju," kata Armin, Ketua Kelompok Lapara-para. 
Dua kelompok lainnya adalah Lapotau-tau dan Lakomay. Ketiga kelompok beranggotakan 163 nelayan yang menyadari daya rusak bom ikan. Berbeda dengan Forkani, berdirinya ketiga kelompok itu tidak lepas dari dorongan WWF dan TNC, dua LSM yang bekerja sama dengan Balai TNKW. 
Salah satu impian sederhana Lapara-para yang berdiri enam bulan lalu adalah keberadaan zona pemijahan ikan. Nantinya, di zona tersebut para nelayan tidak akan melempar jaring atau memancing ikan. Sebaliknya, titik tersebut dijaga demi perkembangbiakan ikan. 
Harapannya, dalam tiga tahun di sekitar kawasan pemijahan itu, ikan-ikan akan mudah ditangkap. Nelayan tradisional bermodal kecil pun tak perlu jauh-jauh ke tengah laut untuk mendapat ikan. 
Yang diharapkan tertangkap, di antaranya ikan sunu hitam seharga Rp 20.000 per kilogram (kg) dan kerapu macan seharga Rp 40.000 per kg. "Hasil rata-rata per hari kami antara 3-4 kilogram. Cukup untuk hidup anak istri selama dua hari. Tidak perlu terlalu luar biasa," kata Armin. 
Hasil rata-rata yang dimaksud Armin khusus untuk bulan-bulan tertentu, yakni antara Oktober-April yang merupakan musim ikan. Di luar bulan itu, hasil ikan tak bisa dijadikan gantungan hidup keluarga nelayan tradisional. 
Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, selain sebagai nelayan, tidak sedikit penduduk pulau yang berdagang antarpulau atau menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia atau Singapura. 
Terus eksploitasi 
Menurut Armin, secara teori sebenarnya mereka bisa membudidayakan ikan laut, tetapi keterbatasan pengetahuan belum memungkinkan hal itu. Satu-satunya jalan yang sudah mentradisi, ya terus mengambil dari alam. 
Menurut Veda Santiaji, staf Outreach WWF untuk Wakatobi, pendekatan yang dilakukan kepada para nelayan sejak tahun 2003, di antaranya mengarahkan pada pengorganisasian diri dengan mengajak sejumlah tokoh masyarakat ikut dalam pelatihan. Selain untuk memudahkan penjagaan kawasan taman nasional, para nelayan pun dapat bersama-sama memecahkan persoalan mereka sendiri. Tentu dengan bantuan fasilitas. "Selama ini mereka berjalan sendiri." 
Sebenarnya, seperti diungkapkan Armin, mereka telah memiliki nilai budaya seperti poasa-asa (bersama-sama) dan pohamba-hamba (bantu membantu) dalam berkehidupan. Namun, selama ini nilai itu menghilang. 
Kini, nilai kebersamaan itu muncul kembali bersama kesadaran untuk maju dan hidup lebih baik. Jika kesadaran itu baru saja bertunas di Tomia, di Kaledupa sudah tumbuh. Kelompok-kelompok itu terus berkembang dengan berbagai persoalan masing-masing. Campur tangan pemerintah sungguh dibutuhkan. Namun, dengan atau tanpa campur tangan itu, mereka sesungguhnya telah menemukan kekuatan yang hebat.

Oleh GESIT ARIYANTO Kompas, Kamis, 27 Juli 2006

Sunday, July 16, 2006

Siapa seh yang nenek moyangnya pelaut?


Kami di Wanci kedatangan tamu tak diundang. Berbekal pesan dari seorang Yunani penggila bola yang ditemui di Banda Neira, Piere sekeluarga berlayar ke Wakatobi menuju Wanci mencari kantor WWF. Katanya sih ada orang yg baik yang bisa diajak ngobrol. Dan tibalah mereka sekeluarga dengan yacht-nya "Archibald" di Wanci 15 July 2006 kemarin. Nah mereka sekeluarga ini dah 9 bulan ninggalin negaranya, New Caledonia, hanya tuk memastikan bisa berkumpul sekeluarga setelah sekian tahun sibuk bekerja. Pak Pierre dan bu Veronique ninggalin pekerjaannya di rumah sakit dan satu klinik swasta, sebagai dokter, tuk mengarungi lautan bersama anak2nya. Pas ditanya kapan mo pulang, enteng aja mereka menjawab " Ya ntar deh kalau emang udah waktunya nyampe di New Caledonia, gak perlu ditarget deh..." Wow... Jadi sebenarnya siapa seh yang nenek moyangnya pelaut itu...?
Ntar dibawah ada sepenggal data yang dikumpulkan Rustam (journalist Media Sultra) , yang terpaksa kucatat juga berhubung kendala bahasa do'i pas mo wawancara.

Aku bareng Akas, Saleh, Rustam and Menami captain, menghabiskan sore yang asik itu ngobrol bersama Piere dan Veronique. Sementara anak2 mereka, asyik berlarian bermain di anjungan dan sekali dua keluar masuk cabin yang mungil tapi keliatan sangat nyaman itu. Gak tahan rasa ingin tahuku, kuminta ijin untuk melongok cabinnya. Ada 5 tempat tidur yang nyaman seukuran badan lebih dikit. Ada toilet kecil, kalau mandi gak muat kali ye.. dan dapur yang jg gak kalah mungilnya. Ada kulkas buat simpan ikan hasil pancingan atau memanah, tapi hanya berfungsi kalau langit cerah atau berangin kuat. Maklum pembangkit listrik di kapal itu melulu dihasilkan dengan solar panel dan kincir angin yang terletak di atas buritan kapal. Jadi untuk menghemat listrik, yang juga digunakan untuk mengakses email via laptop dengan satelit phone mereka dan penerangan serta perangkat pemandu pelayaran maka kulkas prioritas terakhir. Lagian selama perjalanan mereka gak kekurangan ikan hasil tangkapan. Praktis duit cuma tuk beli beras dan sayur dan buah kata Veronique. Lumayan irit..!
Gak terasa senja kian gelap, terpaksa deh kami harus balik ke darat. Gak enak lagi, siapa tahu mereka mo dinner, kita kan jadi ngrepotin. Terpaksa dengan masih memendam rasa penasaran dan ingin tahu yang masih menggumpal kami mohon pamit dari kapal mereka.
Yang bikin takjub lagi pas kami mo pulang dari berkunjung di yacht yang mungil tapi canggih itu mereka sempat nanya
"Ada gak sih tempat sampah di Wanci?"
Pikirku "Maksudnya apa neh...?"
Veronique bilang bahwa pagi tadi pas turun ke darat n sampai ke pasar, tuk belanja, doi tuh bawa dua plastik isi sampah mereka. Nah nglongok kiri kanan gak dapetin yang namanya tempat sampah. Karenanya mereka bawa balik lagi deh tas plastik isi sampah itu ke kapalnya. Hebat gak seh...?
Yah karena gak mo malu, masak segede ini pulau Wangi-Wangi gak ada tempat sampah, maka kami putuskan untuk bawa saja tuh plastik dua buah tuk kami buang ke tempat sampah di kantor. Itu baru bangsa pelaut ! Gak tega ngotorin laut biar gak ada yang ngawasin mereka, ya gak...


My note :
Pierre and Veronique with Archibald yacht.
They left New Caledonian on Sept 2005
They both are doctors who used to work at hospital and private clinic.
Their children study by themselves under their own control and they sent 6 weekly test/exam to France through Veronique sister.
The kids study Math, Geography, French, English, Science, Drawing, Art.
They bring modul for Sept-June, when pass the exam they will get the new modul for next class level.
They had been lived on the Archibald for 6 years since they move from France to New Caledonian

They journey passed Vanuatu, Papua New Guinea, Manokwari, Sorong, Banda Neira n Wangi2.
Then Hoga, Tomia, Takabonerate, Maumere, Flores, Bali, Kalimantan, Malaysia, Singapore, Thailand, Madagascar, South Africa, Panama n back to New Caledonian
They stayed at Banda for a week on June and watch World Cup game especially on France match facing Spain, Brazil, n then the final with Italia.
The boat has 500 liter freshwater and solar panel and wind generator for electricity.
They usually get freshwater from rain.The boat is 19 gt, 15 m length and 4 m wide, with 5 bed in the cabin.

Saturday, July 15, 2006

Monday, July 10, 2006

jurnal 8 juli 2006


Sejak tanggal 5 Juli kemarin, 25 orang petani rumput laut di Wakatobi kedatangan dua tamu. Pak Hariadi dan Pak Marcel diundang Balai Taman Nasional Kepulauan Wakatobi untuk berbagi ilmu dan pengalaman dalam mengelola usaha budidaya rumput laut. Pak Hariadi memulai usahanya sejak 1967. Bisa jadi beliaulah yang memulai usaha budidaya rumput laut di Indonesia ini. Kalau Pak Marcel sih pengusaha rumput laut yang masih aktif pengekspor sampai sekarang melalui perusahaannya CV Sumber Rejeki di Menado.



Tips untuk Pembudidaya Rumput Laut

Lokasi
- Dasar pasir sedikit kasar atau karang atau karang berpasir
- Arus air berkisar antara 20 – 40 cm/detik
- Salinitas : 28 – 33 ppt
- Di dasar terdapat hamparan sargassum atau lamun
- Untuk lepas dasar minimum bisa dipasang 30 cm dari dasar (saat surut)

Tanam
1. Pilih bibit yang banyak cabangnya dan tidak cacat atau terluka agar hasilnya pun akan bagus.
2. Ikatkan bibit pada tali ris dengan cara ikat seperti mengikat kolor celana. Ini agar dapat dilepas dengan mudah tanpa harus memotong rumput laut itu. Agar tidak mudah terlepas karena arus, jangan lupa kunci dua kali ikatan tersebut.
3. Lebih baik gunakan tali rafia atau plastik untuk es dibanding tali nilon. Ini agar rumput laut yang tumbuh besar nantinya tidak mudah terpotong karena tajamnya tali nilon.
4. Apabila pertumbuhan rumput laut di lokasi tanam sangat cepat, pasang saja bibit yang kecil dan cukup dua tangkai per ikatan.
5. Ketika membawa bibit baik saat mengambil maupun akan menanam, upayakan selalu terlindungi dari panas matahari. Untuk itu di perahu perlu dipasangkan tudungan dari bambu atau karton. Jangan langsung ditutup dengan plastik karena perlu udara di bawah tudungan tersebut.
6. Bibit yang belum sempat dipasang, bisa direndam dulu di air laut agar tetap segar dan sehat.
7. Untuk tanam apung upayakan tali ris 20 cm dari permukaan air laut. Ini untuk mencegah rumput laut terekspos langsung oleh sinar matahari, yang akan menyebabkan kerusakan.


Pelihara
1. Salah satu musuh rumput laut adalah lumut. Selalu bersihkan rumput laut dari lumut. Ini agar rumput laut anda tidak dimakan ikan. Ikan memakan lumut, karena lumut menempel di rumput laut maka termakan pula rumput laut itu.
2. Arus yang kurang kuat akan menyebabkan tumbuhnya lumut lebih cepat, untuk itu perlu lebih rajin lagi pemeliharaan agar tidak menurun pertumbuhan rumput laut karena terselebungi lumut.
3. Belum ada pupuk yang tepat bagi rumput laut. ”Pupuk” terbaik adalah bayang-bayang manusia, dimana artinya pemeliharaan setiap hari.
4. Rumput laut harus dibiarkan di perairan selama minimal 45 hari. Kurang dari itu akan menyebabkan kualitas karagenan rendah.
5. Apabila pertumbuhan terlalu cepat besar, kurangi bibitnya, jangan mengurangi hari tanam kurang dari 45 hari.



Panen
1. Setelah umur 45 hari segeralah dipanen, agar tidak rugi waktu.
2. Masih dalam keadaan terikat di tali ris, rumput laut tidak perlu dilepas dulu. Tiriskan saja di gantungan yang dapat dibuat dari bambu seperti jemuran baju.
3. Tiriskan rumput laut selama 1 sampai 1,5 hari bersama tali risnya. Ini bisa sekalian menjemur tali ris hingga kering.
4. Setelah ditiriskan baru lepaskan rumput laut dari tali risnya. Ingat jangan melepas rumput laut dengan cara menariknya karena akan melukai tangkai rumput laut dang membuang kandungan karagenan dalam rumput laut.
5. Apabila ikatan seperti tali kolor celana yang digunakan maka akan lebih mudah melepasnya. 6. Bila tidak bisa dilepas dengan memotong tangkai tepat di jeratan tali sehingga luka dapat diminimalkan.


Pasca Panen
1. Penjemuran harus dilakukan di atas para-para, dan jangan di atas tanah atau lantai. Ini untuk mempercepat proses pengeringan dan tidak kotor.
2. Hamparkan rumput laut di para-para selapis saja. Jangan menumpuk terlalu tebal agar proses pengeringan merata.
3. Setiap dua sampai tiga jam sekali hamparan tersebut harus dibolak-balik agar lebih merata keringnya.
4. Standar kualitas rumput laut yang baik adalah : kandungan air maksimum 35% dengan kekotoran maksimum 2%.
5. Penyimpanan di gudang atau di rumah tetap harus ditutupi plastik atau di dalam karung agar tidak terserap lagi uap air di udara. Apabila rumput laut kering berwarna putih bisa jadi pernah tersiram air tawar atau kena hujan.
6. Satu karung plastik 100 kg umumnya memuat 80 kg rumput laut.

jurnal 10 juli 2006













Hari ini berakhir pelatihan operator radio untuk beberapa rekan yang telah memiliki maupun baru mau bikin radio komunitas. Tiga rekan dari Kendari : Bayu, Fadly dan Berpin, memandu pelatihan ini. Bayu dan Fadly melatih pembuatan materi siaran radio baik berupa berita, iklan ataupun feature. Sedangkan Berpin melatih pemeliharaan perangkat siar radio dan merakit pemancar.