Wednesday, December 16, 2009

Kunjungan Duta Besar Amerika Serikat ke Wakatobi

Kepala Bappeda Ir. Abdul Manan MSc. mengkonfirmasikan ke saya bahwa Duta Besar AS akan hadir dalam Simposium yang akan diselenggarakan pada 14 - 16 Desember 2009 nanti. Bahkan beliau akan hadir dua hari lebih awal untuk menikmati kehidupan bawah laut Wakatobi. Untuk itu kami diminta membantu mendampingi kegiatan bawah air ini. Tentunya dengan senang hati kami menyiapkan diri.
Tak lama dari info tersebut Hugo Yon, staf Kedubes AS, mengirim email yang menyatakan rencana kedatangannya kedua kali ke Wakatobi.
Sudah tentu dalam rangka mendampingi bosnya, sang Dubes. Dan akan ada satu lagi dalam rombongan mereka, body guard katanya.
Singkat cerita pada tanggal 12 pagi kami mendapat konfirmasi bahwa rombongan kecil ini sudah terbang dari Jakarta dan diperkirakan tiba di Wakatobi pukul 14.00 WITA. Namun ternyata mereka tiba lebih awal. Pukul 13.00 mereka sudah tiba di Rumah Makan Wisata untuk makan siang bersama Bupati, MUSPIDA dan para pimpinan SKPD.
Karena hari masih cukup terang maka kami menawarkan satu kali penyelaman hari ini. dan memutuskan untuk menyelam. Penyelaman pertama ini memilih terumbu di pesisir desa Sombu, Pulau Wangi-Wangi. Beberapa waktu lalu kebetulan saya sempat snorkling di lokasi tersebut untuk memastikan amatan beberapa rekan penyelam lain yang menyatkan bahwa Sombu memiliki terumbu karang yang bagus. Penyelaman pertama ini diikuti oleh Dubes AS, Cameron Hume; Hugo Yon dan Bupati Wakatobi. Sebagai pendamping penyelam ikut serta LD Amaludin, Putu Suastawa dan saya sendiri. Tambahan satu penyelam lagi yaitu Dullah dari Kendari Ekspress sebagai dokumentasi penyelaman.
Penyelaman kedua dan ketiga akan dilakukan esok hari dengan target lokasi penyelaman di Karang Kaledupa dan di Pesisir Tomia atau Hoga. Penyelaman kedua yang dilakukan di Atol Kaledupa merupakan penyelaman yang akan memberikan kesan mendalam selanjutnya bagi Duta Besar Amerika tersebut. Titik penyelaman dimana kami menyelam tersebut beberapa hari setelah penyelaman kami ditawarkan oleh Bupati Wakatobi untuk diberi nama beliau. Ya! titik penyelaman tersebut kemudian secara resmi diberi nama Cameron's Pinnacle. Keren khan..
Semoga hal ini bisa mendorong partisipasi lebih aktif lagi masyarakat dunia seperti Mr Cameron untuk ikut serta menjaga kelestarian ekosistem terumbu karang di Wakatobi. Semoga!

International Simposium "Coastal and Marine Management for Better Life"



Gelaran akhir tahun ini merupakan hasil kerjasama Pemerintah Kabupaten Wakatobi, Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) dan Coral Triangle Community Foundation (CTCF). Kegiatan ini diselenggarakan di Gedung Wanita, Wangi-Wangi pada tanggal 14-16 Desember 2009. Rangkaian kegiatan yang panjang ini cukup melelahkan namun memberikan pengalaman baru bagi para kepala2 daerah yang hadir. Tercatat setidaknya 21 kabupaten dan kota di Indonesia hadir dari total 40-an yang mengkonfirmasikan hadir.

Monday, October 19, 2009

Menjadikan Wakatobi Center of Excellence

Dengan segala keindahan dan keanekaragaman hayatinya, rasanya tidak cukup bagi Wakatobi. Kunjungan para ilmuwan muda mancanegara dan foto2 indah bawah laut yang diabadikan oleh para penyelam asing harusnya menjadi perangsang untuk para pencinta bahari nusantara ini berbuat. Bagi para penyelam ayo dong ikutan lomba foto bawah lautnya Wakatobi, biar jangan cuma nama2 asing saja yang muncul sebagai pemenangnya. Begitu pula para ilmuwan muda jangan cuma mentok di Pulau Pari aja. Mulailah untuk mengembangkan pusat-pusat kelautan di seluruh kepulauan di Nusantara ini.

Salah satu inisiatif rintisan yang sedang diperjuangkan adalah membangun satu pusat riset dan ilmu kelautan di kepulauan Wakatobi. Bermula dari bincang-bincang antar personal yang peduli dan punya minat pada ilmu pengetahuan dan kelautan, pada tanggal 2 Oktober 2009 lalu, dengan penuh semangat satu langkah telah ditempuh. Kami bertemu dan berbincang yang dilanjutkan dengan menyelami bersama keindahan ekosistem terumbu karang di Inner Pinnacle-Hoga. Para peneliti muda dan Kepala Pusat dari Badan Riset Kelautan dan Perikanan-DKP, staf Kedubes US dan USAID, staf Balai TN Wakatobi, penggiat lingkungan dari TNC dan WWF dipandu langsung oleh Bupati Wakatobi berdiskusi mengenai upaya membangun stasiun lapang untuk Pusat Riset dan Ilmu Kelautan ini. Kami berharap semoga niat yang baik ini dapat menjadi nyata. Sehingga bangsa bahari ini menjadi benar-benar besar akan kebahariannya baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusianya. Semoga Wakatobi dapat menjadi salah satu pusat kemutakhiran tersebut.

Monday, March 02, 2009

Seni Tenun Ikat dan Anyam Wakatobi

Melaju di Deru Perubahan Zaman
 
WAKATOBI – Percuma kalau pergi ke Wakatobi, bila hanya untuk menikmati rumpunan soft coral dan kehidupan orang laut Bajo. Karena di dalam gugusan pulau-pulau indah di kawasan Sulawesi Tenggara ini, masih tersimpan banyak daya tarik lainnya. Seperti menelusuri keindahan seni tenun ikat dan melihat pengrajin anyaman tikar lipat. 
Taman nasional laut yang terletak di tenggara Buton ini sepertinya memang sengaja terus menawarkan kemungkinan-kemungkinan baru untuk menambah arus pemasukannya. Setelah sukses dengan keindahan bawah laut dan kehidupan orang Bajo, mereka mencoba menggagas kemungkinan wisata kerajinan yang bisa menjadi salah satu simbol kemudian hari di Wakatobi.

Mungkin nama sarung Wuray kurang terdengar akrab di telinga, apalagi anyam tikar dari Feruke. Tapi dengan keunikannya masing-masing, kedua jenis kerajinan tradisional ini mencoba menyeruak dan meminta perhatian agar diposisikan sebagai buah tangan yang layak untuk dibawa.
Seperti juga seni kerajinan daerah lain. Hingga sekarang mungkin masih saja terdengar kendala yang merapatinya. Namun, kalau mau melihat ke depan, sebenarnya jenis wisata seperti ini memiliki pasar tersendiri yang bisa terus digeluti.

Sarung Wuray 
Sambil menanti kedatangan pick-up yang akan membawa kami ke masjid. La Mahode, pemandu kami, menawarkan mengunjungi beberapa pengrajin tenun di sana. Di Pulau Kaledupa yang teduh di serambi-serambi rumahnya, ditemui banyak perempuan yang melakukan kegiatan menenun. Salah satu rumah di utara desa kelihatan juga menyimpan satu perempuan yang kelihatan sibuk di teras rumahnya yang bertingkat dua. 
”Sarung wuray ini biasanya hanya dipakai saat ada kegiatan khusus saja. Semacam perkawinan dan acara resmi keluarga di sini,” kata La Mahode. Kain dengan motif kebanyakan garis-garis ini juga terkenal karena daya tahannya. ”Kain yang saya pakai sekarang, merupakan warisan dari nenek saya,” kata La Mahode lagi menjelaskan secara implisit kekuatan sarung tersebut. Padahal, bila melihat bahan dasar yang berupa benang kapas biasa, sarung ini cukup menakjubkan karena mampu bertahan hingga 20 tahun lamanya. 
Dengan harga Rp150 – 200 ribu kita bisa memiliki kain sarung tersebut. Namun, sayang hingga kini keberadaan sarung tersebut hanya untuk konsumsi orang Buton. Penjualan paling jauh hanya ke kota Bau-bau. Padahal kalau mau diseriuskan, bisa saja menjadi tambahan bagi perekonomian sekitar. 

Tikar Lipat 
Satu lagi kerajinan asli Kepulauan Wakatobi yang rasanya pantas untuk dibicarakan adalah seni anyaman tikar lipat. Dengan bahan dasar daun pandan yang dikeringkan, dan kemudian dianyam menjadi tikar. Banyak penduduk desa Feruke mencoba menjualnya ke turis yang biasa datang ke sana. 
”Biasanya baru setelah dijemur selama tiga hari. Daun pandan siap untuk dianyam menjadi tikar liap,” ungkap seorang ibu. Harganya juga tidak terlalu mahal,berkisar antara 25 – 50 ribu saja, kita telah memiliki sebuah tikar lipat seukuran badan orang dewasa. Rasa sejuk yang keluar saat kita tidur di atasnya, menjadi daya tarik tersendiri di tengah teriknya udara lautan di sana. (slg)

Copyright © Sinar Harapan 2003

Ritual makan karang di Wakatobi

Oleh YOSHASRUL

Makan karang dan kulit kerang bagi bagi masyarakat umum tentu sesuatu yang mustahil. Tapi tidak sebagian warga di pesisir Kecamatan Kaledupa, Kabuten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Bahkan makan karang ini seolah sudah menjadi tradisi bagi warga disana.


Laode Biru mungkin tinggal satusatunya orang yang masih menjalankan ritual makan karang di desanya di wangi-wangi, Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Wakatobi hingga kini.

Tak heran jika laode biru yang sudah berumur lebih dari seratus tahun menjadi tontonan ratusan pasang mata saat pembukaan festival pesisir di kabupaten wakatobi provinsi sulawesi tenggara.

Dalam usianya yang telah mencapai 106 tahun orang tidak akan menyangka jika pria yang telah mencapai usia 1 abad lebih ini mampu memakan karang dan kulit kerang tanpa alat bantu apapun.

Laode Biru mampu memukau para tamu undangan dan masyarakat dalam satu acara ritual di kepulauan wakatobi sulawesi tenggara tanpa mengalami hambatan apapun.

Ritual yang telah diwarisi secara turun temurun ini semula sempat diragukan oleh banyak pihak karena melihat kondisinya yang sangat tidak mungkin dilakukan pria normal manapun. Apalagi dengan kondisi gigi la ode biru yang hampir tanggal semua.

Bagi Laode Biru, ritual makan karang bukanlah hal yang Baru. Sebab kebiasaan makan karang dan kulit kerang ini telah dilakoninya sejak berumur 2 tahun. ”Tradisi ini sebagai ucap syukur kepada sang kuasa atas limpahan rejeki bagi warga di pesisir,”kata Laode Biru.

Dalam aksinya pria yang juga merupakan tokoh adat masyarakat kaledupa dengan enteng memakan karang dan kulit kerang yang sebelumnya diperlihatkan kepada orang banyak.

Tak hanya Laode Biru, seorang pengunjung yang hadir dalam acara tersebut juga ikut menyantap karang dan kulit kerang yang berada dalam genggaman La Ode Biru. ”Saya mau mencoba,”Dasman, pengunjung yang nekat itu.

Sebelumnya Ia terlebih dahulu wajib mengikuti arahan Laode Biru. Namun Ia tak sanggup. ”Keras sekali kulit kerang itu, saya tidak sanggup,”katanya lagi.

Sayangnya tradisi makan karang dan kulit kerang yang diwariskan secar turun temurun oleh pendahulunya kini tidak lagi diwariskan ke generasi berikutnya dan la Laode biru adalah pewaris terakhir yang hingga saat ini masih bertahan hidup.

Saturday, February 07, 2009

Penyelaman pertama di 2009



Setelah liburan dan serial pertemuan-pertemuan di Bali dan Jakarta akhirnya tiba saat yang paling mengasyikkan. Back to the nature. Wakatobi.

Kegiatan pertama adalah menyelam. Wajib itu...

Penyelaman pertama di 2009 ini dilakukan di Coral Garden Reef dekat pulau Hoga. Bersama dalam penyelaman ini adalah Bupati Wakatobi, Hugua, dan Kapolres Wakatobi, AKBP R Pitra Andreas Ratulangi SS SIK, serta para penyelam Wakatobi, Noval, Safrin, Didi dan Udin. Pukul 16.00 WITA, setelah rangkaian kunjungan kerja Bupati di Lintea dan Derawa, kami mulai turun menyelam. Tak kurang dari 45 menit, kami harus mulai naik ke permukaan. Langit sudah mulai agak gelap. Selain matahari sudah mulai ke Barat, awan mendung juga sedikit menutupi. Yah.. lumayan.

Sebuah awal yang menyegarkan untuk memulai kerja lapangan tahun ini.

Saturday, January 10, 2009

Wakatobi Unggulkan Pesona Alam Bawah Laut

WAKATOBI - Salah satu pulau wisata di Wakatobi yang sering dikunjungi wisman asal Eropa dan Amerika untuk menyaksikan keindahan bawah laut Wakatobi. (SK/Ami Herman)

SUARA KARYA Jumat, 2 Januari 2009

Kalau Kota Bukittinggi (Sumatera Barat) bisa populer karena panorama alamnya yang indah dan berudara sejuk, Bali dikenal karena beragamnya keunikan adat istiadat dan seni budayanya, maka Wakatobi (di Sulawesi Tenggara) juga tak mau kalah.

"Kami ingin dikenal sebagai daerah wisata alam bawah laut. Jujur kami katakan, daerah kami jauh lebih menarik dibanding Karibia. Daerah kami bahkan sering disebut-sebut banyak wisatawan mancanegara sebagai daerah wisata alam bawah laut paling menarik di dunia," ujar Bupati Wakatobi Ir Hugua dalam presentasinya mengenai objek wisata Wakatobi, di ruang rapat Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata Depbudpar, Jakarta, Selasa lalu.

Ikut mendengarkan penuturan Bupati Wakatobi itu selain Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata Depbudpar Firmansyah Rahim dan Dirjen Pemasaran Pariwisata Sapta Nirwandar, juga Sekjen Depbudpar Wardiyatmo dan sejumlah wartawan.

Menurut Hugua, perkembangan Wakatobi sebagai daerah wisata alam bawah laut saat ini makin menggembirakan. Dukungan masyarakat untuk menjaga potensi kelautan juga terus membaik. Buktinya ialah makin berkurangnya masyarakat menggunakan bom laut untuk mengambil ikan. Masyarakat menyadari bom laut tidak hanya merusak biota laut yang selama ini menjadi rahasia daya tarik alam bawah laut Wakatobi, tetapi juga berpotensi mematikan nelayan pengguna bom itu.

"Dukungan masyarakat Kepulauan Wakatobi saat ini juga diperlihatkan dengan makin bermunculannya home industry yang tidak saja menjual makanan dan minuman segar, tetapi juga menyediakan cendera mata serta penginapan-penginapan dengan harga murah," ujar Bupati lagi.

Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Wakatobi sendiri di samping terus meningkatkan anggaran promosi kepariwisataan Wakatobi, juga secara terpadu menggerakkan semua potensi pembiayaan agar Wakatobi pada saatnya nanti bisa menjadi ikon kepariwisataan bahari Indonesia. "Bahkan, dalam waktu dekat ini, kami akan memiliki dua bandar udara yang bisa dimanfaatkan wisatawan mancanegara datang ke Wakatobi," kata Hugua.

Bandar udara yang pertama dibangun investor asal Swiss beberapa tahun lalu. Kemudian bandar udara yang akan diresmikan penggunaannya dalam waktu dekat dibangun Pemkab Wakatobi, terletak di Kepulauan Wanci.

Dengan adanya dua bandara itu, dipastikan Wakatobi akan makin sering dikunjungi wisman dan wisnus dari berbagai tempat. Para wisatawan berdatangan ke daerah ini utamanya ingin menyaksikan daya tarik alam bawah laut yang ada di pulau-pulau di kawasan wisata bahari Wakatobi.

Pesona alam bawah laut Wakatobi disebut-sebut banyak wisman asal Eropa dan Amerika Serikat paling menarik di dunia antara lain karena bentuk karang laut dan spesies ikan hias yang dimilikinya jauh lebih beragam dan unik. Agar keindahan bawah laut Wakatobi itu senantiasa diberitakan berbagai wartawan Indonesia dan mancanegara, setiap tahun Wakatobi menggelar lomba foto bawah laut tingkat dunia dengan hadiah ribuan dolar Amerika Serikat (AS).

Untuk lomba foto tingkat internasional tahun 2008, yang diikuti 65 peserta dari 9 negara, menurut ketua dewan juri Michael AW dari Singapura dan Makarios Soekojo dari Indonesia, pemenangnya mencapai 13 orang. Pemenang utamanya untuk kategori Best of Show adalah Hermawan Wong, yang meraih hadiah 4 ribu dolar AS. Pemenang kedua, Michael Sukri, meraih 3.000 dolar AS dan pemenang ketiga, Sofi Sugiarto, meraih hadiah 2.000 dolar AS. (Ami Herman)