Thursday, April 03, 2008

Seru, diskusi soal bisnis selam tanah air

Guna memeriahkan pameran Deep Indonesia 2008 pada 28-30 Maret 2008, National Geographic Indonesia ikut berpartisipasi menggelar diskusi bertajuk "Dive Resort and Sustainable Tourism". Titik berat diskusi adalah "menggugat" fakta bahwa jumlah operator selam asing jauh lebih banyak daripada milik negeri sendiri. Selain itu juga dibahas bagaimana mengelola turisme yang berwawasan lingkungan.

Hadir sebagai narasumber adalah Bupati Wakatobi Hugua, Achyarudin dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata yang mewakili pemerintah, Sandra Terok dari Edo Divers Bunaken, Paul Batuna dari Murex Dive Bunaken, Komeng dari Elang Ekowisata Pulau Pramuka, Cipto Aji Gunawan, Marine Eco Tourism Development Consultant, dan Hugua, Bupati Wakatobi. 

Hugua bersuara agak kritis dalam melihat fenomena tidak imbangnya jumlah pengusaha resort selam asing dibandingkan dalam negeri. "Orang Indonesia tidak mau melihat hal-hal kecil yang sudah mereka lihat sehari-hari, sehingga orang asing lebih menghargainya," kata Hugua. Selain itu, dia melanjutkan, "orang kita sering kali melihat orang asing lebih hebat sehingga kita kurang berani. Kalaupun berani, dalam berusaha orang kita cenderung langsung menyaingi bukan mencoba mencipta yang lebih baik.

Sementara itu, dalam presentasinya Achyarudin mengemukakan alasan mengapa wisata selam domestik justru dikuasai oleh pihak asing. "Karena usaha ini lebih dulu dikenal di luar negeri dan mereka lebih memiliki pengetahuan terhadap industri ini," ujarnya. Karenanya, belum banyak pengusaha Indonesia yang memahami industri ini.

Hal berbeda disampaikan Sandra Terok. Dominasi asing, jelas Sandra, disebabkan oleh keberanian mereka berinvestasi. "Penguasaan bahasa asing sesuai negara asal konsumen ikut memengaruhi lakunya dive operator mereka," tegas Sandra. Di sisi lain, konsumen dalam negeri sendiri masih belum banyak karena sarana transportasi dirasakan masih mahal. "Pendidikan lingkungan juga penting karena akan meningkatkan minat terhadap kegiatan selam," tambahnya.




Pendapat senada disampaikan Komeng dari Elang Ekowisata. Di Kep Seribu saat ini banyak resor yang mati suri. "Selain dianggap mahal, ekosistem di Kep Seribu juga banyak yang sudah rusak. Karenanya Elang berupaya mengembalikan ekosistem dengan melakukan transplantasi dan pendidikan lingkungan bagi anak-anak sekolah di P Pramuka untuk mengenal kehidupan bawah laut.

Upaya yang dilakukan Elang selain melakukan transplantasi adalah melakukan pendidikan lingkungan bagi anak2 sekolah di Pulau Pramuka untuk mengenal kehidupan bawah laut. Mereka secara bergiliran diajak dan diajari untuk mampu snorkling. Diharapkan pengetahuan dan minat mereka terhadap laut akan meningkat.

Lalu bagaimana cara agar pengusaha kita bisa bersaing? Cipto Aji Gunawan menawarkan empat hal: pengetahuan, ketegaran, kapital, dan penjangkauan pasar. "SDM kita yang berkualitas masih sedikit. Dan dari yang sedikit tersebut tidak banyak yang berminat membuka usaha diving," tukas Cipto.

 

Diskusi yang dimoderatori oleh Veda Santiadji dari WWF-Indonesia ini diwarnai dengan tanggapan dan pertanyaan dari puluhan peserta diskusi. Salah seorang penanggap menyatakan kelemahan kita adalah kurangnya communication marketing ke generasi muda. Nada kritis terhadap departemen terkait (Budpar) juga terlontar dari Kirtya (Grand Komodo). Budpar, jelasnya, tidak banyak mendukung pengembangan wisata bahari. "Sebabnya, jabatan dalam direktorat terkait tidak diduduki oleh orang yang tepat."*** (Foto-foto: Debbie Hanna)

No comments: