Thursday, May 08, 2008

Wakatobi Belum Terpengaruh Perubahan Iklim

JAKARTA - Meskipun suhu laut diakui memanas, Kepulauan Wakatobi (Wangiwangi, Kaledupa, Tomea, dan Binongko) tetap diasumsikan belum terpengaruh perubahan iklim. Kenaikan air laut juga tak ditemui.
“Kami tak menemukan adanya tanda kenaikan air laut yang berpengaruh pada tenggelamnya pulau-pulau di kawasan konservasi Wakatobi saat ini,” urai Wahju Rudianto, Kepala Balai Taman Nasional Wakatobi, Minggu (1/4), di Jakarta.
Justru yang ada saat ini, menurutnya, merupakan kecenderungan naiknya permukaan gosong-gosong (pulau karang) di sana. “Seperti gosong Kabota, yang menurut pengamatan kami malah tumbuh terus permukaan tanahnya,” papar beliau.
Kondisi tersebut menurutnya lazim terjadi karena wilayah ini merupakan daerah tumbukan lempengan. Karena pertumbukan itu, ada beberapa pulau karang terus naik wilayah permukaannya. Data tersebut kemudian disebut Wahju, baru dari pengamatan melalui pasang surut air laut.
Wilayah Wakatobi sendiri dikenal sebagai area dengan topografi bergelombang. Kebanyakan sisi yang menjorok lautan, tidak datar langsung menemui laut. Keberadaan tersebut membuat kondisi fluktuasi kenaikan air laut karena perubahan iklim menjadi isu yang tidak terlalu mencemaskan.
Karena pandangan itu pula, kemudian belum ada program adaptasi masyarakat terhadap perubahan iklim di sana. “Bukan menyepelekan, namun bila melihat kondisi yang ada, kondisi tenggelamnya pulau-pulau di Wakatobi karena kenaikan air laut tampaknya belum akan terjadi dalam waktu dekat ini,” ucapnya.

Tak Ada Pemutihan
Kondisi perubahan lingkungan karena perubahan iklim yang terjadi, saat ini di Wakatobi yang paling signifikan malah terlihat pada naiknya suhu lautan. “Namun kondisi tersebut belum membuat terjadinya pemutihan karang,” kata Wahju.
Meskipun data kenaikan suhu belum dapat dirata-ratakan. Namun kecenderungan kenaikan tidak mencapai titik dua derajat celcius. Sementara itu, tingkat mencemaskan untuk pemutihan karang (bleaching) karena pemanasan bumi diperkirakan bila mencapai titik tiga derajat celcius.
Faktor kerusakan karang yang dicemaskan saat ini kebanyakan datang dari intervensi manusia. Karena hingga saat ini masih banyak nelayan menggunakan bom, bahan kimia, dan jaring sebagai sarana untuk menangkap ikan.
Meskipun Bupati Wakatobi saat ini, Ir Hugua, sudah menyatakan perang terhadap para perusak karang laut. Namun disinyalir cakupan penangkapan ikan secara tak ramah lingkungan di wilayah yang dahulu dikenal dengan nama Kepulauan Tukang Besi tersebut masih luas.
Hal lain yang mencemaskan lestarinya terumbu karang di sana adalah masih digunakannya terumbu karang laut sebagai fondasi rumah. Kebiasaan ini sendiri merupakan adat turun-temurun yang hingga kini masih banyak dilakukan masyarakat sekitar Wakatobi.
Tindakan tersebut terutama terlihat pada masyarakat Sampela yang dikenal beretnis Bajo. Dalam penelitian yang dilakukan Caitlyn Louise Stanley, “Sikap-sikap dan Kesadaran Orang Bajo terhadap Lingkungan Hidup dan Konservasi”, tahun 2005 lalu, terungkap kalau masalah utama dari kebiasaan ini merupakan mahalnya bahan subtitusi pengganti karang laut sebagai fondasi rumah. Konsep keberlanjutan terhadap lingkungan juga belum melekat pada adat budaya mereka.
 
Oleh
Sulung Prasetyo (Sinar Harapan)

No comments: