Sunday, October 02, 2005

Wakatobi dalam Transisi

Jaman Beralih, Musim Bertukar 


Oleh
Adi Seno

WANCI – Perubahan! Itulah satu-satunya yang pasti dalam hidup ini. Dan orang Bajo menyiasati perubahan dengan kehidupan nomadik. Inilah mengapa mereka disebut juga “gypsy laut”. Bagi Chris Major yang sudah sepuluh tahun bersama orang Bajo bahkan beristrikan “orang laut” itu. Ini tantangan! Pasalnya, jika alam rusak, mereka pun minggat.
Ilmu perikanan itu bukan ilmu pasti, demikian Duncan May mengingatkan. Peneliti bergelar doktor ini sudah lima tahunan meneliti di Wakatobi. Ia menjelaskan indikator yang menentukan kurang tidaknya ikan di Wakatobi. “Persepsi masyarakat (melalui penelitian sosiologi) bahwa jumlah tangkapan ikan berkurang,” jelas Duncan yang merupakan wakil dari Wallacea Trust. Data hasil tangkapan pun menunjukkan yang didapat ikan-ikan usia muda. 
Rantai makan yang menjadi landasan siklus hidup untuk di Wakatobi membutuhkan terumbu karang. Sayangnya, terumbu sudah dirusak lewat racun ikan dan bom. 
Racun memabukkan ikan, juga sekaligus merusak terumbu karang. Terumbu itu tempat tinggal dan tempat mereka mencari pangan. Sedangkan, bom selain mengambangkan ikan, juga menghasilkan bongkah karang yang berguna untuk fondasi rumah.
Bagi Chris Major, saudaranya orang-orang Bajo inilah yang harus disadarkan mengenai pentingnya melestarikan sumberdaya laut. Walau mereka hanya sepuluh persen dari jumlah penduduk, menurut Chris Major, peran orang Bajo dalam perikanan sangat besar. Ia bahkan berani menyebutkan 90 persen kegiatan perikanan dilakukan orang Bajo. Ini dengan sendirinya peran mereka dalam overfishing serta praktik perikanan yang merusak juga besar.
“Jadi upaya konservasi harus melibatkan orang Bajo, tanpa mereka mungkin tidak akan berhasil,” ujar Major di Sampela (3/9), desa terapung di lepas pantai Pulau Kaledupa.
Sulitnya mengubah pandangan orang Bajo diungkap Joanna Swiecicka, peneliti antropologi di Sampela yang berasal dari Polandia. Ia menjelaskan, 

mengenai kepercayaan akan umbu mari laut yang selalu akan memberikan ikan lagi pada orang Bajo. Konsep konservasi susah diterima sehingga upaya membatasi perikanan dengan membuat daerah larang tangkap ditanggapi orang Bajo hanya sebagai kepentingan turis asing, bukan untuk mereka.
Major lebih lanjut menjelaskan bahwa orang Bajo, walau sudah memiliki kampung di Sampela, masih punya kecenderungan pindah. Sekarang ini banyak yang berangkat ke Timor. “Jika mereka sudah siap maka keluarga pun dibawa,” katanya.
Bukti omongan Chris Major didapat ketika melakukan kunjungan ke Mola Selatan. Ini juga desa yang mayoritas orang Bajo. Letaknya di bagian kota Wanci, Ibu Kota Kabupaten Wakatobi di Pulau Wangi-wangi. Di sana rombongan wartawan dari Jakarta dan Kendari berjumpa dengan Jufri, pria berputra tiga yang semuanya sudah di sekolah menengah atau lebih tua lagi. Ia sedang menyiapkan kompor untuk dipasang di perahunya. Rencananya dalam tiga hari sejak 5 September lalu, ia akan memulai perjalanan kesekiannya ke Timor.
Pelayaran sendiri akan makan seminggu. Di sana ia akan melanjutkan lagi ke perairan Australia. Rencananya akan menangkap hiu untuk mendapatkan “ekor”-nya. Menurut Jufri, “ekor” (sirip) ini bisa dijual sekilo mencapai Rp 1 juta lebih ke juragan di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Dalam perjalanannya ke sana ia bisa menangguk Rp 33 juta.
Jufri juga mengakui sudah tiga kapal ditangkap di Australia. Kerugiannya diperkirakan satu kapal Rp 10 juta. Jadi Jufri yakin jika ia bisa lolos sekali saja sudah impas, apalagi jika dua kali lolos, pasti untung. 
Dia sendiri mengaku tidak ada niat menjual rumah batunya yang berdiri kokoh di atas fondasi batu karang. Anak-anaknya yang menempati rumah itu untuk melanjutkan sekolahnya. Namun, ia juga mengaku bahwa tetangganya sudah banyak yang berlayar “lama” atau “merantau” ke Timor. Bahkan, dia menyatakan 30 persen lebih orang di Mola Selatan sudah meninggalkan kota itu.

Seperti kata pepatah Melayu “zaman beralih, musim bertukar,” maka bagi orang Bajo jawabannya gampang saja. Mereka merantau mencari tempat-tempat di mana “umbi mari laut” masih menyediakan ikan bagi mereka. Jika itu di perairan Australia, jadilah! (*)

Copyright © Sinar Harapan 2003

No comments: