Sunday, October 02, 2005

Taman Nasional Wakatobi, Bertahan pada Dua Arus

Oleh  Adiseno

 

Wanci – Kata orang di Pulau Hoga, kalau mau ke Binongko akan menyeberang selat dengan arus deras. Begitu juga dari Pasar Wajo di Pulau Buton menuju ke Pulau Hoga, ada gelombang yang menandakan arus ke Laut Banda. Buat orang yang tak biasa melaut, goncangan ini memabukan. Sekarang pulau-pulau di Sulawesi Tenggara itu pun terguncang dua arus, konservasi dan eksploitasi.

Pulau – pulau Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko adalah pulau terbesar di Kepalauan Tukang Besi. Sekarang orang lebih mengenalnya dengan Wakatobi, singkatan keempat nama pulau itu. Ini juga karena nama Wakatobi yang dipakai ketika kawasan seluas 1,39 juta hektare ini dijadikan taman nasional laut pada 1996.

Perkara taman nasional, seperti biasa dimulai dari ketakutan sumberdaya yang kaya didalamnya dijarah manusia. Hutan yang takut habis di darat sudah dari zaman kolonial dipagar-pagar dengan ketentuan hutan lindung. Sayangnya, baru zaman kemerdekaan pada kawasan yang jauh lebih luas lautannya seperti Kepulauan Nusantara kita ini, pelestarian kawasan laut dilakukan.

Salah satunya yang terbesar adalah Karang Kaledupa. Berada 10 mil laut ke barat dari Wakatobi. Ini yang bisa dilihat mata telanjang oleh orang darat dari atas kapal. Jika mau menyelam, situs penyelaman di Wakatobi sampai ratusan jumlahnya. Bahkan ada orang Swiss Lorenz Mader yang membuka resor penyelemanan lengkap dengan bandar udara perintis, yang melayani turis kaya langsung dari Bali.

Juga ada Operation Wallacea (Opswal) yang menyediakan kesempatan bagi ilmuwan dan mahasiswa yang mampu bayar 2000 poundsterling (Rp 37.808.000, - dengan kurs Rp 19.805,- /poundsterling) untuk belajar dari alam kita yang kaya. Ini di Pulau Hoga. Setiap musim pembelajaran yang lamanya tiga bulan bisa seratusan mahasiswa dan peneliti yang datang. Ini sudah berjalan lima tahun, begitu yang dijelaskan John Coop, direktur operasi Opswal.

Bagi awam seperti saya, ini indikasi bahwa memang ada sesuatu yang indah dan perlu dilestarikan. Perlu lestari sendiri diperkuat oleh Duncan May, seorang peneliti yang sudah tahunan di Wakatobi. “Keadaan tangkapan menurun, bisa dilihat jika predator pada rantai makan berkurang,” jelas dia dengan sabar. Maksudnya sekarang ini kalau berenang selepas pantai Hoga tidak bakal lagi ketemu ikan hiu. Padahal hal ini ketika May pertama meneliti bukan hal yang heboh. Jika hiu sudah jarang maka artinya populasi bawah laut juga langka, begitu kira-kira maksudnya.

Ini lah arus pertama yang sudah hampir sepuluh tahun melanda Wakatobi. Arus ini bagi para peneliti konservasi di Wakatobi dinilai lemah. Coba saja tanya pada para petugas taman nasional, pada anggota World Wide Fund for nature (WWF) dan The Nature Conservancy (TNC) yang bergerak dibidang itu disana. Veda Santiaji (WWF), Purwanto (TNC), La Fasa (Polhut), Murgianto (juga Polhut) semua khawatir akan kelestarian bawah laut di Wakatobi. Mereka rata-rata disana sudah selama Duncan May.

 Arus Baru

Kira-kira dua tahun lalu datang arus baru. Entah apa arus ini masih jadi tanda-tanya. Ada undang-undang no 29 tahun 2003 tentang pembentukan Kabupaten Wakatobi. Yah, luasnya seluas 1,39 juta hektare, sama persis dengan luasnya taman nasional. Dan pemilihan kepala daerahnya yang direncanakan Juni ditunda jadi 20 September mendatang. Biasanya, pemerintah daerah dan pimpinannya akan mengarah pada peningkatan kesejahteraan yang kerap identik dengan eksploitasi.

“Saya yakin bisa sejalan,” begitu ujar Sarifudin Safaa pejabar bupati yang bertugas mempersiapkan kabupaten baru ini. Ia optimis pemerintah daerah bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat jika bupatinya mengutamakan konservasi. Demikian diutarakannya di Kaledupa ketika ditemui wartawan. “Saya optimis jika pimpinan mendahulukan konservasi. Hanya itu dan pariwisata.” Demikian Safaa (3/9).

Duncan May pun sepakat. Bisa jadi seperti “dua arus” bertemu seperti dalam ilmu kelautan dimana jika arus panas dan dingin bertemu (Kuroshiwo, contohnya) maka hasilnya jadi lokasi ikan. Richard Unsworth peneliti dari Essex University di Inggris yang jadi pendamping mahasiswa pun sepakat. “Ada kelompok Forkani yang merupakan kumpulan petani rumput laut. Mereka mulai merasa terganggu dengan adanya pengebom dan racun ikan. Jadi mereka mulai bertindak.” Maksud Unsworth masyarakat sendiri mulai menerima perubahan akan kebutuhan konservasi bukan hanya eksploitasi. Jadi ia dan Duncan juga berharap pemerintah daerah pun menerima yang sama. 

Copyright © Sinar Harapan 2003

No comments: