Wednesday, August 02, 2006

Munculnya Gerakan Kemandirian

Hal-hal besar sering kali berawal dari sepotong kesadaran awal yang mulanya tampak kecil. Itulah yang kini muncul bagai gelombang dan menggulung kelompok petani rumput laut dan nelayan di gugusan Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara. 
Dalam sebuah kalimat, inilah kesadaran yang menggerakkan itu, "jangan pernah berharap pada orang-orang Kaledupa yang ada di luar sana. Nasib warga ditentukan oleh kita yang ada di sini." Adalah Ketua Forum Kahedupa Toudani (Forkani), La Beloro, yang mengungkapkan kalimat itu. 
Forum yang berdiri tahun 2002 itu berawal dari sebuah kegelisahan. Gantungan hidup mereka yang mulai mapan terancam musnah karena zonasi Balai Taman Nasional Kepulauan Wakatobi (TNKW). Perlu diketahui, seluruh wilayah Kabupaten Wakatobi seluas 1,3 juta hektar juga merupakan kawasan taman nasional. 
Zonasi yang diakui Kepala Balai TNKW disusun di atas meja nun jauh di Kendari sana-memasukkan kawasan pertanian rumput laut warga ke dalam zona inti. Artinya, di lahan mereka itu dilarang ada aktivitas pemanfaatan. "Bagaimana hidup kami nantinya?" kata La Beloro, mewakili seruan para petani rumput laut yang di Pulau Kaledupa berjumlah sekitar sepuluh persennya. 
Maka, tak ada pilihan selain memulai perlawanan. Namun, semua dilakukan dengan dialog. Warga mengusulkan agar zona inti diterapkan di bagian tubir, bukan di kawasan pantai. 
"Kalau pemerintah maunya memaksa, kenapa tidak kami bom saja semua terumbu karang yang bagus supaya rusak dan tidak ada taman nasional," demikian dikatakan Beloro, ketika mengisahkan perjalanan berdirinya Forkani kepada rombongan wartawan dari Jakarta dan Kendari di Pulau Hoga, pada akhir Mei 2006 lalu. 
Perlawanan mereka berhasil, karena pihak Balai TNKW menyadari kekeliruannya yang merumuskan penzonaan tanpa mempelajari kawasan terlebih dahulu. Kini, Forkani selalu dilibatkan dalam revisi zonasi yang sedang dibahas. 
Dalam kurun waktu empat tahun, Forkani telah memiliki 22 kelompok binaan di 11 desa di Pulau Kaledupa. Secara rutin setiap kelompok mengadakan pertemuan membahas persoalan-persoalan aktual dan mencari solusinya. 
Menurut Beloro, sebagaimana diiyakan beberapa pengurus yang hadir dalam pertemuan, tak ada upah bagi mereka untuk menggerakkan organisasi. Justru mereka mengeluarkan iuran rutin. 
Semangat dan kejelasan visi dan misi Forkani terlihat dalam antusiasme dan susunan program kerjanya. Salah satu rencana yang tertunda adalah membentuk koperasi simpan pinjam yang terkendala pagu keuangan Rp 12 juta. 
Mereka juga berencana mendirikan radio komunitas sebagai ajang komunikasi antaranggota. Radio juga akan dijadikan sarana pembentukan kelompok di setiap desa di Kaledupa. 
Membela hak 
Adapun program utama Forkani-yang ditegaskan menjadi prinsip utama-adalah pembelaan hak-hak atas sumber daya alam setempat. Sungguh sebuah kesadaran yang tidak umum dimiliki komunitas masyarakat di daerah lain di Indonesia. 
Kalaupun muncul kesadaran, umumnya tidak sampai pada pembentukan sebuah organisasi seperti halnya Forkani. Apalagi bergerak dengan visi dan misi yang rinci. "Adalah penting memberi pendidikan dan menekankan pentingnya konservasi, tetapi penting juga memberi akses ekonomi bagi masyarakat. Pemerintah juga harus bisa membuat masyarakat tidak bergantung kepada SDA. Harus punya alternatif," kata Beloro. 
Selama masih terus bergantung kepada SDA, kearifan sebesar apa pun lambat laun akan luntur oleh keterdesakan kebutuhan hidup. Demikian pula pengambilan dari alam seramah apa pun akan menyebabkan lingkungan menjadi kolaps. 
Salah satu contoh konkret yang ditawarkan Forkani, khususnya bagi masyarakat Kaledupa adalah melatih memanfaatkan lahan untuk kebun sayur mayur. Seluruh kebutuhan sayur di Kaledupa dan pulau-pulau lain di Wakatobi selama ini disuplai dari Bau-Bau, Pulau Buton. 
Gugusan karang yang menjadi Pulau Kaledupa sebagian besar ditumbuhi pohon kelapa, jambu mente, perdu, dan semak belukar. Tak ada perladangan sayur mayur di sana. 
Forkani juga menyerukan perlunya pelatihan intensif untuk memberi nilai tambah produk rumput laut. Kamaluddin (43), petani rumput laut yang mengenal budidaya rumput laut sepuluh tahun lalu berkisah, hingga kini ia dan semua petani lainnya hanya dapat menjual rumput laut kering kepada tengkulak. "Harganya terserah mereka," kata dia. 
Saat ini, hampir merata di seluruh Wakatobi, harga rumput laut kering Rp 3.600 per kilogramnya. Harga ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Adanya keahlian baru mengolah rumput laut diharapkan turut mendongkrak pendapatan mereka. 
Para petani mengaku sulit mengubah situasi yang ada sekarang ini, karena ketika rumput laut mereka jual langsung ke pengepul di Bau-Bau, harganya justru anjlok. "Seperti ada kesepakatan mereka dengan tengkulak," lanjut Kamaluddin. 
Kamaluddin mengaku masih beruntung karena berhasil keluar dari rantai tengkulak yang pernah membelitnya. Para tengkulak umumnya memberi bantuan modal bibit dan tali dengan perjanjian seluruh hasil panenan harus dijual kepada mereka. Tentu dengan harga tertekan. 
Kesadaran mengubah roda nasib juga muncul di Pulau Tomia, salah satu pulau besar tetangga Kaledupa. Di pulau dengan rumah-rumah yang tertata rapi di kawasan pesisir tersebut, berdiri tiga kelompok nelayan jaring. "Kami melihat perlunya kebersamaan untuk maju," kata Armin, Ketua Kelompok Lapara-para. 
Dua kelompok lainnya adalah Lapotau-tau dan Lakomay. Ketiga kelompok beranggotakan 163 nelayan yang menyadari daya rusak bom ikan. Berbeda dengan Forkani, berdirinya ketiga kelompok itu tidak lepas dari dorongan WWF dan TNC, dua LSM yang bekerja sama dengan Balai TNKW. 
Salah satu impian sederhana Lapara-para yang berdiri enam bulan lalu adalah keberadaan zona pemijahan ikan. Nantinya, di zona tersebut para nelayan tidak akan melempar jaring atau memancing ikan. Sebaliknya, titik tersebut dijaga demi perkembangbiakan ikan. 
Harapannya, dalam tiga tahun di sekitar kawasan pemijahan itu, ikan-ikan akan mudah ditangkap. Nelayan tradisional bermodal kecil pun tak perlu jauh-jauh ke tengah laut untuk mendapat ikan. 
Yang diharapkan tertangkap, di antaranya ikan sunu hitam seharga Rp 20.000 per kilogram (kg) dan kerapu macan seharga Rp 40.000 per kg. "Hasil rata-rata per hari kami antara 3-4 kilogram. Cukup untuk hidup anak istri selama dua hari. Tidak perlu terlalu luar biasa," kata Armin. 
Hasil rata-rata yang dimaksud Armin khusus untuk bulan-bulan tertentu, yakni antara Oktober-April yang merupakan musim ikan. Di luar bulan itu, hasil ikan tak bisa dijadikan gantungan hidup keluarga nelayan tradisional. 
Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, selain sebagai nelayan, tidak sedikit penduduk pulau yang berdagang antarpulau atau menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia atau Singapura. 
Terus eksploitasi 
Menurut Armin, secara teori sebenarnya mereka bisa membudidayakan ikan laut, tetapi keterbatasan pengetahuan belum memungkinkan hal itu. Satu-satunya jalan yang sudah mentradisi, ya terus mengambil dari alam. 
Menurut Veda Santiaji, staf Outreach WWF untuk Wakatobi, pendekatan yang dilakukan kepada para nelayan sejak tahun 2003, di antaranya mengarahkan pada pengorganisasian diri dengan mengajak sejumlah tokoh masyarakat ikut dalam pelatihan. Selain untuk memudahkan penjagaan kawasan taman nasional, para nelayan pun dapat bersama-sama memecahkan persoalan mereka sendiri. Tentu dengan bantuan fasilitas. "Selama ini mereka berjalan sendiri." 
Sebenarnya, seperti diungkapkan Armin, mereka telah memiliki nilai budaya seperti poasa-asa (bersama-sama) dan pohamba-hamba (bantu membantu) dalam berkehidupan. Namun, selama ini nilai itu menghilang. 
Kini, nilai kebersamaan itu muncul kembali bersama kesadaran untuk maju dan hidup lebih baik. Jika kesadaran itu baru saja bertunas di Tomia, di Kaledupa sudah tumbuh. Kelompok-kelompok itu terus berkembang dengan berbagai persoalan masing-masing. Campur tangan pemerintah sungguh dibutuhkan. Namun, dengan atau tanpa campur tangan itu, mereka sesungguhnya telah menemukan kekuatan yang hebat.

Oleh GESIT ARIYANTO Kompas, Kamis, 27 Juli 2006

No comments: