Wednesday, August 02, 2006

Lebih Baik Terlambat Daripada...

25 Juli 2006 
Oleh: GESIT ARIYANTO

Kompas, 25 Juli 2005
Salah satu kenalan berkewarganegaraan asing yang lama bekerja di Indonesia langsung antusias ketika mendengar nama Wakatobi disebut. "Wow, asyik sekali pasti. Sudah lama saya ingin ke sana," katanya. 

Pembicaraan pun berlanjut seputar pariwisata, khususnya menyelam. Tak terbantahkan, para wisatawan telanjur mengidentikkan gugusan kepulauan di wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara itu sebagai salah satu "surga" bawah air. 
Anggapan itu tak sepenuhnya salah, tapi juga tak sepenuhnya benar. Pasalnya, Wakatobi tak melulu urusan selam menyelam. Pada banyak lokasi lain, jejak bom ikan maupun potasium meluluhlantakan "surga" terumbu karang. 

Pemandangan yang diperlihatkan tim surveilans WWF-TNC menunjukkan, sampah botol bir dan bahan tak terurai lainnya menumpuk di dasar laut. Di bagian lain, lantai laut terlihat rata dengan pecahan-pecahan karang akibat bom. Atau, terumbu karang yang menghitam karena potasium. 

Dari sektor pariwisata, memang hanya segelintir penduduk Wakatobi yang menikmati. Satu-satunya resor di Kepulauan Wakatobi dikelola warga Swiss sepuluh tahun lalu. Lokasinya di Pulau Tolandona yang lebih dikenal dengan Onemobaa; sepenggal daratan yang berdekatan dengan Pulau Tomia. 

Pulau Tomia merupakan salah satu nama pulau dari gugusan Kepulauan Wakatobi. Wakatobi merupakan singkatan dari empat pulau besar, masing-masing Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. 
Berdirinya resor merupakan hasil kerja sama investor asing dengan Pemerintah Kabupaten Buton, sebelum akhirnya dimekarkan dan kini berdiri Pemkab Wakatobi. Kerja sama pengelolaan disepakati selama 25 tahun dengan salah satu keistimewaan menguasai garis pantai. 

Di kawasan pantai yang menjadi "milik" resor, nelayan dilarang menangkap ikan. Penjaga keamanan akan dengan sigap mengusir mereka. 
Dalam situs web mereka, pengelola resor menjanjikan layanan sempurna. Pengunjung diiming-imingi pemandangan pantai yang spektakuler dan terumbu karang yang termasuk dalam kelompok terbaik di dunia. 

Adapun tarif menginap tujuh hari dipatok 1,940 dollar AS sedangkan paket 11 hari 2,840 dollar AS. Tarif belum termasuk sewa alat selam atau snorkling. Istimewanya, peminat yang telah deal di situs web akan dijemput pesawat khusus di Bandara Ngurah Rai dan langsung dibawa menuju Pulau Tomia yang memiliki lapangan terbang eksklusif. 
Selama liburan, pengunjung dapat memilih waktu menyelam kapan pun di pantai berjarak 20 mil dari resor. Dijamin tanpa gangguan lalu lalang kapal nelayan. 
Itulah salah satu "surga" layanan yang dijanjikan satu-satunya resor di Wakatobi. Resor itu pula yang selama bertahun-tahun menjual eksotisme bawah air Wakatobi. Sayangnya, tak semua cerita indah datang dari keberadaan resor tersebut. 

Sifat eksklusivitasnya cenderung kaku dan berjarak dengan masyarakat lokal. Bahkan, bupati dan kepala polda setempat pernah dibuat berang lantaran dilarang masuk ke area resor. 
Belakangan, kehadiran resor dipersoalkan. "Di satu sisi kami harus berterimakasih karena resor turut membuka mata dunia akan Wakatobi, tetapi kelayakan administrasi, usaha, dan operasinya juga harus sesuai ketentuan," kata Bupati Kepulauan Wakatobi caretaker AM Madra ketika menerima rombongan wartawan dan staf WWF-TNC Joint Programme di kantornya di Pulau Wangi-Wangi, akhir Mei 2006 lalu. 

Salah satu penataan menyangkut pajak Rp 130 juta per tahun yang dapat dicicil. Jumlah itu dinilai di luar kesepakatan karena luas resor sudah bertambah seiring penyewaan dari masyarakat. 

Penataan lainnya menyangkut nasib nelayan. Kelestarian terumbu karang juga diharapkan turut menyejahterakan nelayan tradisional. 
Taman nasional 

Perlu diketahui, seluruh luas wilayah Kepulauan Wakatobi merupakan kawasan Taman Nasional Kepulauan Wakatobi (TNKW) yakni 1.390.000 hektar. Saat ini, sedang dikerjakan revisi zonasi karena sebelumnya tumpang tindih dengan kepentingan penduduk. 
Hal itu disebabkan pembuatan zona kawasan disusun di Kendari, ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara, tanpa melihat kondisi lapangan yang terdiri dari 37 pulau. "Akibatnya tidak koneksi dengan kondisi lapangan," kata Kepala Balai TNKW Syihabuddin. 

Bayangkan, kawasan mencari ikan nelayan yang mentradisi, tiba-tiba masuk menjadi zona inti yang berarti dilarang ada aktivitas penangkapan ikan di sana. Demikian pula kawasan budidaya rumput laut. 

Revisi yang sedang dikerjakan saat ini melibatkan pihak pemerintah daerah, taman nasional, WWF, The Nature Conservancy/TNC, dan perwakilan masyarakat. Salah satu kendala yang dihadapi adalah belum adanya peraturan daerah mengenai tata ruang wilayah. 
Bupati Kepulauan Wakatobi AM Madra menyatakan, mendukung penzonaan yang sedang dilakukan selama melibatkan masyarakat. Ia memahami pentingnya menjaga kelestarian kawasan yang berujung pada keberlanjutan mata pencaharian warga. 

Pendekatan langsung kepada masyarakat, termasuk pelatihan-pelatihan pemberdayaan selain penyuluhan pentingnya menjaga kelestarian terumbu karang mulai membuahkan hasil. Hal ini ditunjang patroli rutin kapal cepat dan surveilans kapal motor Menami (milik WWF-TNC). 

Kini, sepuluh hari dalam setiap bulannya KM Menami kapasitas 63 GT mengitari kawasan Kepulauan Wakatobi. Selain para penyelam, surveilans diikuti polisi hutan yang berpatroli. Terakhir, mereka menangkap basah pengebom ikan yang tengah sandar di Pulau Runduma, salah satu pulau terjauh dari gugusan pulau-pulau besar Wakatobi. 

Penangkapan tidak lepas dari kesadaran warga Runduma yang mengontak kru kapal KM Menami yang menginformasikan keberadaan kapal pengebom ikan. "Kami tangkap mereka ketika sedang joget-joget hingga subuh," kata Syukur, polisi hutan BTNKW. 
Sebanyak 15 orang ditangkap dengan barang bukti 60 botol bom ikan. Kawasan Pulau Runduma relatif jauh dari jangkauan patroli karena faktor transportasi dan jarak. 
Menurut penuturan beberapa warga di beberapa pulau, aktivitas pengeboman ikan sudah menurun drastis dalam lima tahun terakhir. Sebelumnya, dentuman bom selalu terdengar sejak subuh di beberapa pulau. "Dulu hampir tiap hari dapat lihat pengebom ikan," kata Udin (37), warga asli Wakatobi yang juga penyelam WWF. 

Berbenah 
Perubahan mulai terasa di Wakatobi. Masyarakat diberi pelatihan budidaya rumput laut, ikan komersial, dan berorganisasi, yang selama puluhan tahun tidak mereka tekuni. 
Pemerintah pun menyatakan niat mereka untuk berubah, yang dimulai dari penataan internal dan pertanggungjawaban. Pemerintahan sebelumnya, hingga kini tidak menyampaikan laporan pertanggungjawaban (LPj). 

Soal Lpj bukan satu-satunya keanehan. Lainnya adalah penerimaan daerah tahun lalu dari sektor perikanan sebesar Rp 140 juta. Padahal, Wakatobi telah lama dikenal sebagai salah satu pusat penghasil ikan komersial seperti kerapu, sunu, hingga napoleon yang menjadi primadona di dunia. 

Menurut Koordinator Surveilans dan Monitor Program Bersama TNC-WWF Anton Wijonarno, kawasan Kepulauan Wakatobi memiliki keistimewaan dengan keberadan upwailling (pertemuan massa air hangat di permukaan dan air dingin dari laut dalam) di sana. Upwailling merupakan salah satu faktor utama banyaknya ikan. "Itu ada di sepanjang kepulauan," kata dia. 

Di Wakatobi tercatat sebanyak 396 spesies karang dan setidaknya 600 spesies ikan. Termasuk di antaranya ikan komersial seperti sunu, kerapu, dan napoleon. Soal kekayaan jenis ikan inilah yang selama ini kalah pamor dengan keindahan alam bawah air. 
Kekayaan itu ditambah dengan keberadaan Pulau Anano yang menjadi lokasi bertelur penyu sisik dan penyu hijau; dua jenis penyu yang hampir langka di dunia. Kepulauan Wakatobi juga memiliki gugusan karang Kaledupa yang membentang sepanjang 48 kilometer, yang menjadikannya salah satu gugusan karang terpanjang di Asia Tenggara. 

Di atas karang berair jernih itulah berdiri pondok-pondok singgah nelayan ketika melaut. Rombongan wartawan sempat mengunjungi keramba apung di gugusan karang Kaledupa. Pengelolanya bertutur, secara rutin kapal Hongkong datang mengambil kerapu, sunu, dan napoleon. 

Di sekitar Pulau Hoga, setidaknya dua kapal besar bersandar menunggu datangnya nelayan-nelayan untuk menjual ikan tangkapan mereka, sebelum akhirnya diekspor. Bertahun-tahun mereka telah beroperasi di sana. 

Dengan fakta-fakta itu, meskipun belum memiliki data potensi, tidak heran bila Bupati Kepulauan Wakatobi AM Madra menyatakan bahwa kebocoran penerimaan di sektor perikanan saja mencapai Rp 9 miliar per tahunnya. Seiring niat pemerintah daerah, taman nasional, dan aksi nyata organisasi non pemerintah di lapangan, wajar muncul harapan. 
Tidak ada kata terlambat untuk berubah.

No comments: