Thursday, September 23, 2010
Hari-hari tersisa di Wakatobi
Wednesday, June 16, 2010
Kabar dari Pulau Runduma-Anano
Tujuhbelas tahun setelah penelitian Limpus, tim monitoring lain menyusuri Taman Nasional Wanci, Kaledupa, Tomia, Binongko atau Wakatobi Sulawesi Tenggara, yang luasnya 1,390 juta hektar. Perjalanan ditempuh saat purnama bulan Mei memuncak. Kapal patroli FRS Menami milik WWF Indonesia untuk program bersama WWF Indonesia,TNC-CTC dan Balai Taman Nasional Kepulauan Wakatobi, menyusuri laut yang cuacanya sungguh tak bisa diperkirakan. ”Seharusnya teduh, tapi ini memabukkan,” kata Anton Wijonarno, tim TNC yang menyandang gelar dive master. Ia memiliki keahlian mengamati lokasi pemijahan ikan dan pemetaan wilayah. Pimpinan monitoring, pria bernama Purwanto, pembawaannya tenang.
Dalam perjalanan itu, tim peneliti dan monitoring mencoba menemukan satwa sama yang dilihat Limpus yakni dugong, ular laut, pari, karang-karang terbaik dan penyu, meski dari jenis yang berbeda. Namun, ada kenyataan tak menggembirakan dari monitoring ini. Yakni penyu-penyu menjadi semakin tak mudah ditemui. Pukul 2 dinihari, saat tim turun ke Pulau Anano (bagian dari Kepulauan Tomia), mereka hanya bisa menyaksikan bayangan penyu seperti titik hitam bergerak-gerak di bawah air yang bening karena pantulan rembulan. Penyu enggan naik. Mereka mencium bau ancaman. Di Pulau Runduma, yang letaknya 2 jam dari Anano, tim monitoring hanya menemukan jejak penyu. Tampaknya, cerita Limpus tentang krisis keseimbangan satwa itu juga ada di sini. Di Pulau Runduma-Anano, wilayah yang dijuluki pulau penyu.
Luas Pulau Runduma 521,808 hektar. Ujung Pulau bisa disaksikan saat berdiri di tepi laut. Tak ada listrik, air bersih dan fasilitas seperti di kota. Pulau Runduma tergolong pulau yang sulit. Jaraknya 2 hari perjalanan dari ibukota Kendari. Pulau ini bersebelahan dengan laut dalam—sebuah istilah untuk tingkat kedalaman laut yang dihindari nelayan --. Bisa dihitung jari orang dari Kendari yang mengunjungi Runduma dalam setahun. ”Bisa 5 atau 10 orang saja,” kata Halima (18 th). Sebaliknya, dihitung jari orang Runduma yang keluar dari wilayah itu. ”Saya belum pernah kemana-mana,di sini terus,” ujar Halima. Ia tamat SD, lalu menikah dengan nelayan Runduma. Pendatang biasanya disambut dengan joged lulo. Warga akan menyiapkan api unggun, menabuh musik dan joged hingga dinihari di bawah langit. Di sini, lebih gampang menemukan siaran radio Flores dibanding Kendari di pulau ini.
Nenek Husain merupakan generasi pertama yang menempati Runduma. Tahun, 1950-an, Husain bisa menyaksikan tukik yang berlarian dari sarangnya menuju laut. Tahun 1990-an, bila beruntung, ”yah masih ada tukik,” katanya. Tapi lebih sering Dia hanya menemukan jejak, atau kadang rangkas penyu yang tergeletak begitu saja.
”Tak tahu siapa yang mengambilnya,” katanya. ”Bisa jadi warga desa sini atau orang luar”. Harga kulit penyu menggiurkan bagi sejumlah nelayan. Satu penyu bisa mencapai Rp 50 ribu, telur penyu Rp 500 hingga Rp 1000 per butir.
Hatipa, perempuan Runduma berani mengakui perbuatannya. ”Saya pengumpul telur penyu, untuk biaya sekolah anak-anak,” katanya. Tahun 2005, Hatipa menghentikan kegiatannya. Dia tersentuh saat menyaksikan petugas jagawana dari Balai Taman Nasional Kepulauan Wakatobi berkunjung ke desanya untuk memantau penyu. ” Meski ombak kencang,” ceritanya. ”Saya lalu tanya, kenapa harus jaga penyu?”.
Jawabannya membuat Hatipa tercengang. ”Jumlahnya tinggal sedikit, kalau telur dan kulitnyanya diambil, kita pe anak tidak tahu lagi muka penyu itu,” kutipnya. Dia menghentikan kegiatannya dan mulai kampanye perlindungan penyu. Sederhana saja, saat kumpul dibale-bale mengikat kasuami, makanan khas orang pulau, Hatipa akan berkata, ”janganmi ambil telur penyu kasian, maumi habis”.
Esran, petugas jagawana itu mengatakan, pendekatan mereka ke warga sangat menentukan keberhasilan konservasi penyu dan keanekaragaman hayati di Taman Nasional Kepulauan Wakatobi. ”Sudah tidak pakai senjata lagi, mereka kami ajak baik-baik, ini kan milik mereka juga,” ujarnya. Tidak mudah, karena penentangnya juga banyak. ”Resiko,” kata Esran.
Aktivitas pengelolaan laut yang berlebihan juga menjadi ancaman bagi penyu. Pada April 2005, sekian mill dari pulau Anano-Runduma, tim monitoring TNC-WWF- Taman Nasional Kepulauan Wakatobi mencatat sekitar 522 kapal beroperasi. Sebanyak 79 diantaranya tertangkap menggunakan bom, bius,pukat dasar, ganco dan kompresor untuk memperoleh ikan, kima, taripang dan penyu.
Tahun 1999-2005, petugas patroli Taman Nasional Kepulauan Wakatobi mengadukan 126 nelayan yang mengelola laut dengan bom, racun atau mengambil satwa yang dilindungi. Nelayan yang terbukti divonis paling maksimal 1 tahun. Sebagian 7 bulan atau dilepas. Pemburu penyu praktis tak banyak diberi sanksi. Mereka seringkali “dibina” , artinya ditegur, dilarang dan diberi tahu serentetan hewan yang boleh dan tidak ditangkap. Istilah ini juga berarti, mereka akan diajarkan alternatif pencaharian lain. “Tetap di laut, tapi harus lebih ramah, misalnya menggunakan jaring,” kata Purwanto.
Tidak berhenti di situ. Masalah lain kadang muncul dari patroli yang lemah. Seringkali, pemantauan dilakukan di pulau Kaledupa, namun bom ikan atau eksploitasi ikan terjadi di Tomia. Bila itu terjadi, tak hanya ikan yang terjaring, tapi juga penyu. Pada tahun 2000-an, bom ikan bahkan terdengar 5-10 kali sehari. Termasuk kegiatan semprotan sianida pada ikan-ikan hias.
Kata Purwanto, sulit memantau wilayah ini. Sejak ditunjuk menjadi taman nasional tahun 1996, tantangan berat yang dihadapi aktivis lingkungan adalah menyederhanakan teori pelestarian pada warga. Wilayah Wakatobi tergolong unik. Penduduknya berada dalam kawasan taman nasional. Seringkali terjadi perbedaan tajam soal penetapan zonasi dan memunculkan komentar sinis seperti ’ekstrim konservasi’ terhadap TNC-WWF Indonesia.
”Kami malah pernah mendemo TNC-WWF,” kata Beloro, pria etnis Kaledupa. Belakangan, Beloro memberikan dukungan pada kegiatan konservasi, setelah melihat banyaknya kerugian yang diakibatkan oleh pengelolaan laut tak ramah lingkungan.
Konservasi juga sering diterjemahkan sebagai istilah : DILARANG. ”Masak kami dilarang ambil ikan atau penyu? Nenek moyang kami kan hidup di sini terus,” kata Ali Rahman, nelayan di wilayah Wakatobi.
”Tidak melarang, tapi menyelaraskan kebutuhan manusia dengan kondisi alam,” kata I Wayan Veda Santiadji, Community Outreach Coordinator WWF Indonesia.”Targetnya, apa yang ada dalam kawasan ini bisa berkesinambungan dan dinikmati generasi ke depan,” katanya.
Konservasi ketat dilakukan karena Wakatobi masuk kategori segitiga terumbu karang terbaik di dunia. Di sini terdapat 396 jenis karang keras, 28 marga karang lunak dan 31 jenis karang jamur. Jenis-jenis keanekaragaman hayati lain yang tercatat di balai taman nasional Wakatobi adalah, 590 jenis ikan karang, 9 jenis lamun, 11 jenis paus, 34 jenis Stomatopoda, 300 jenis opisthobranch, 5 jenis teripang, 4 jenis bulu babi, 1 jenis bintang laut, 31 jenis Foraminifera dan 3 jenis penyu. Kekayaan ini menarik minat banyak peneliti dan menjadikan Wakatobi surga bagi penyelam.
Penyu sendiri merupakan satwa unik. Fosil penyu laut dengan ukuran karapas 4 meter dikenal dengan nama Archeleon. Dulunya, ada 5 family penyu laut, sekarang sisa 2 famili, 3 lagi punah. Hasil penelitian juga menunjukkan, dari 30 generasi penyu, tersisa 6 generasi dari 7 spesies. Di Kepulauan Wakatobi, terdapat 3 jenis penyu yang bisa ditemui saat musim peneluran. Yakni penyu hijau, penyu belimbing dan penyu sisik.
Penyu belimbing bisa dikenali dari ukurannya yang besar, kadang mencapai 160 cm. Ciri khasnya terlihat pada lekukan rahang atas dan kulit licin. Penyu hijau bisa dikenali dari karapasnya yang keras, dan gerigi pada rahang yang digunakan untuk memotong lamun, makanannya. Penyu sisik mirip penyu hijau. Seringkali orang salah menilai, yang pasti penyu sisik memiliki sisik prefrontal dengan 4 pasang sisik dada dan sisiknya saling tumpang tindih.
Menurut penelitian Limpus, seekor tukik—anak penyu—memulai hidup yang unik dan penuh ancaman sejak masa peneluran. Hidupnya berawal dari migrasi seekor penyu dewasa yang kadang menempuh jarak paling pendek 100 kilometer atau mencapai 3000 kilometer. Umumnya penyu dewasa bermigrasi di daerah pemijahan. Penyu jantan tergolong play boy, sangat aktif secara seksual. Ia bisa saja kawin dengan 7 betina berbeda dalam satu bulan. Musim peneluran berikutnya, ia akan kawin dengan beberapa penyu betina lagi.
Selanjutnya, penyu betina akan bergerak ke daerah peneluran. Ia membutuhkan pasir yang tidak becek atau terlalu kering. Penyu sangat sensitif, kegiatan sekecil apapun akan mengganggu mereka. Penelitian menunjukkan, seekor penyu betina yang hendak bertelur kadang mencoba 1 hingga 39 kali naik ke darat dalam semalam, namun gagal karena gangguan kecil :cahaya lampu, gerakan atau bunyi.
Ancaman lainnya berasal dari hewan yang suka menyantap telur penyu. Dari sekitar 50-100 telur dalam sarangnya hanya sebagian yang selamat. Tukik akan muncul setelah 50 atau 60 hari. Jenis kelaminnya sangat ditentukan suhu. Kelamin betina bila suhu di atas 29,5 derajat celcius, jantan bila suhu di bawah 29 derajat. Begitu muncul dari cangkang telur, mereka akan berlarian ke laut, menghirup bau air yang disentuhnya dan merasakan sinar matahari. Setelah itu tukik tak akan makan dan tidur 3 hari. Hidupnya tergantung pada kuning telur yang dibawanya saat lahir. Ia sekaligus akan belajar menghadapi ancaman yang datang dari burung elang, ikan hiu atau bahkan lumba-lumba. Mereka berjuang untuk hidup hingga dewasa dan kata Limpus, kemungkinannya hanya 1:1000.
Pada saat itu, tukik akan terbawa arus ke laut lepas dan membuat mereka kadang tak terpantau 20-50 tahun. Ini disebut tahun-tahun hilang. Menjelang musim kawin dan peneluran, penyu-penyu itu kembali ke lokasi lahirnya. Ada yang mengarah ke Pulau Anano-Runduma, bisa jadi, bayangan penyu itulah yang dilihat tim monitoring, bergerak-gerak seperti titik hitam dan merasa terancam. Penyu itu tak tahu bahwa puluhan warga Runduma telah mengeluarkan peraturan desa untuk menghentikan penjualan dan pengambilan telur penyu. Pemburu penyu dilaporkan ke pihak berwajib. Meskipun, menurut Hatipa, siapa yang bisa memantau pemburu penyu yang datang malam hari dan pergi diam-diam dari pulau terpencil ini?
”Tapi tidak apa-apa, kan untuk kita juga ji”, serunya.
Artinya, ini tak sekadar soal penyu tapi tentang rencana besar untuk menyisakan sejarah dan kekayaan nyata pada generasi selanjutnya di Wakatobi. (Naskah :Indarwati Aminuddin, anggota komunitas Pantau dan kini bekerja untuk WWF Indonesia di Sulawesi Tenggara)
Sunday, June 06, 2010
Pemutihan Karang Makin Meluas, Ikan Napoleon Penjaga Keseimbangan Menyusut
Sebelumnya, Pusat Penelitian Oseanografi pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan, fenomena pemutihan karang telah terjadi secara massal, terbentang dari perairan Pulau Weh, Nanggroe Aceh Darussalam, hingga Nusa Tenggara Timur.
Karang yang membentuk kumpulan menjadi terumbu karang ini jika terserang pemutihan akan memiliki persentase kematian antara 60 dan 90 persen. Di Wakatobi, pemutihan masih terjadi di beberapa titik terumbu karang yang lokasinya mulai menyebar.
”Ini menjadi indikasi dampak pemanasan global. Kenaikan suhu muka laut naik mengakibatkan pemutihan pada terumbu karang,” kata Kepala Bidang Inventarisasi Sumber Daya Alam Laut pada Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) M Yulianto, Kamis (3/6) di Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
Bakosurtanal menyurvei perairan Wakatobi akhir-akhir ini untuk pemetaan atau inventarisasi sumber daya alam laut yang dimiliki beberapa pulau kecil. Sebelum Wakatobi, tim Bakosurtanal menyurvei pulau-pulau kecil di Maluku Tenggara Barat.
”Di Maluku Tenggara Barat pada bulan Mei 2010 terjadi meitike, yaitu bahasa lokal untuk fenomena air laut ketika surut lebih lama dari biasanya. Meitike bisa sampai enam jam,” ujar Yulianto.
Meitike ini memungkinkan pula terjadinya pemutihan akibat gangguan terhadap terumbu karang oleh manusia. Pada saat meitike, penduduk menangkap ikan yang masih terperangkap di sela karang sehingga karang-karang kerap terinjak.
Putu Suastawa, anggota Polisi Kehutanan pada Balai Taman Nasional Wakatobi, menjadi pemandu penyelaman tim Bakosurtanal. Menurut Putu, pemutihan karang di Wakatobi ini baru saja terjadi dan menjadi fenomena baru.
”Selama tiga tahun bekerja
Dia mengatakan, pada Maret 2010 ia mengikuti periset dari Inggris menyelam di Wakatobi. Mereka belum menemukan pemutihan pada terumbu karang, tetapi periset dari Inggris itu mengatakan, telah terjadi tanda-tanda pemutihan karang.
Bupati Wakatobi Hugua mengatakan, pemutihan terumbu karang yang terjadi di mana-mana saat ini menjadi fenomena massal. Penyebab hal ini perlu segera diketahui. Kemungkinan besar sebagai dampak perubahan iklim.
Tim dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI dalam waktu bersamaan pekan ini meriset pula wilayah perairan Wakatobi. Salah satu perisetnya, Dirhamsyah, mengatakan, populasi ikan napoleon (Cheilinus undulatus) di Wakatobi dikhawatirkan terus menyusut sehingga kemungkinan keseimbangan alam untuk kelestarian terumbu karang mulai terkikis.
Ikan napoleon dikenal memakan telur bulu seribu (Acanthaster plancii). Bulu seribu ini hewan pemakan karang yang sekaligus mengganggu kelangsungan hidup karang.
Wednesday, June 02, 2010
Menyegarkan kembali semangat bersih2 di Wangi-Wangi
Tuesday, June 01, 2010
Pelatihan Penilaian Mandiri Ekowisata di Wakatobi
Saturday, May 01, 2010
Wakatobi: A paradise for divers
“Wow... it’s beautiful,” said a passenger sitting beside me as he was watching a vast expanse of blue sea and green terrain from the plane window upon its landing at Matahora Airport, Wakatobi, Southeast Sulawesi.
Its gorgeous beach covered with white sand was clearly in sight, enhancing the magnificence of Wakatobi archipelago.
Passengers seated in the middle also tried to peek from nearby windows for a better view of the panorama outside. Nearly all those boarding the plane with a capacity of 30 people were amazed as it touched down at the airport located in Wanci, Wangi-wangi Island.
Wakatobi is an acronym of the names of major islands composing this island group: Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia and Binongko. The other name is Tukang Besi as the islands’ population is famous for its blacksmiths, who used to supply the domestic and war equipment for the Buton kingdom.
As part of the Heart of the World Coral Triangle Center, Wakatobi is believed to have become a magnet for divers from all over the globe. Marine expert Jacques Cousteau even described Wakatobi as the finest diving site in the world.
Wakatobi has at least 100 diamond-class dive sites. Situated between Banda and Flores seas, the island group has the most beautiful coral ridges in the world’s coral triangle. The coral ridges found in Kaledupa are even the longest in the world, extending along 48 kilometers.
“Top dive sites are mostly located in Tomia,” said Jupri from the Fisheries and Maritime Affairs Ministry. “There we can see various species of fish and coral reefs,” he added. Jupri has worked in the Wakatobi National Park for three years now.
Wakatobi’s varied and unique marine resources with its enchanting underwater panoramas make this archipelago a submarine paradise lying in the Heart of The World Coral Triangle Center, a zone with the highest diversity of coral reefs and other biota covering the Philippines, Indonesia and Solomon Islands.
The underwater biodiversity of Wakatobi is claimed to be higher than that of the Caribbean and Egypt, currently known as the world’s top diving centers. Around 90 percent of the globe’s 850 coral species or 750 species are found in Wakatobi. The Caribbean, famous for its marine tourism, only has 50 species and the Red Sea, Egypt, 300 species.
At last, my dreams of diving in Wakatobi waters came true, after skin diving in Raja Ampat, Papua, two years ago, and later in Tulamben, Bali and Bunaken, North Sulawesi.
At midday, with seven other divers, I began my first dive on Hoga Island. It took about 45 minutes to reach this island from Wang-wangi by speedboat. Hoga has been the center of Operation Wallacea — a series of biological and conservation management research programmes — activities since 1995. Several students, mostly from Britain, have been conducting research in the area of Wakatobi National Park.
On this site we were diving along a slope of between 60 and 70 degrees. We had 30-meter visibility thanks to the clear seawater. Coral reef density was not so high and the number of fish species not so large either.
However, we could still observe gorgonian fans about 2.5-meters wide on coral along with giant barrel sponges.
There were also leaf corals, presenting attractive formations at a depth of 12 meters. Small fish such as cardinal and damsel fish were swimming around them, while hundreds of yellowback fusiliers were moving in a group near the surface.
The 45-minute dive failed to satisfy my curiosity as I hadn’t yet encountered anything that matched my expectations. I really wished to relish truly amazing views, those of the underwater paradise.
By afternoon we returned to Wangi-wangi and then on to Waha to join other divers. It was cloudy with a rather strong current in Waha. With the urge to watch submarine splendor, we began our dive in front of Waha’s drop-off.
A few moments after descending, a fantastic sight appeared before us. An extensive stretch of stunning coral reefs aroused our admiration.
We let ourselves drift along while enjoying the wall diving. A group of purple and bright yellow fish were swimming along the coral wall, followed by some batfish and butterflyfish in a marching formation.
Before dark, I decided to dive 25 meters deep. At 10-meter visibility, I kept drifting right before the wall, directing my torch at the coral while trying to identify the various biota. I was staring at black and white snappers and moorish idol. But as the current grew stronger, I couldn’t stay much longer.
Time went by so fast and we wound up our dive. On the surface, we could hear the call to dusk prayer. The sky was getting dark, golden yellowish on the horizon.
“This is great” said a diver, with which his peer concurred. “We’ve got to come back here tomorrow,” I proposed.
We returned to Waha the next morning. It had been raining hard that morning, which worried me a little. But fortunately the rain soon subsided and it was bright again. I enjoyed every bit of this last dive. On this site, Wakatobi proved its reputation as one of best dive sites in the world besides Raja Ampat in Papua.
As soon as I peered down underwater, a splendid sight emerged right before my eyes, more gorgeous than any artist could ever paint.
Dazzling, fresh and varied coral reefs in bluish seawater were teeming with colorful small fish moving around amid the striking natural surroundings.
Round and oval corals with very elegant textures, were growing along with soft corals.
Diving 18 meters deep, I saw a painted rock lobster hiding in its nest resembling a small cave. Some 1.5 meters from the first lobster, a second could be found snug in its hole, as if watching me taking the pictures of the other while gesturing with its antennae.
Slowly, I went further to a depth of 25 meters. After a little while, I noticed some ragged-finned fire fish, locally called lepu, swimming upside down under coral, and pixy hawkfish hiding in sponge.
After admiring the biota, I tried to again descend to 35 meters deep, where I could see a yellow trumpet fish swimming peacefully near a pink sea fan. In a few moments I ascended slowly to get back to the near-surface biodiversity.
The 40-meter visibility and the wide variety of observable undersea biota made me wish I could extend my diving experience.
Sadly, time was limited even though there were many more dive sites to visit. But this may well prompt me to go there again some day.
There’s still much more to explore. Ben, a British student who had to go home after two weeks’ of surveying on Hoga Island with several peers agreed.
“I’ll be back in July,” said the marine biology student aboard the boat that would take him to the site for another dive in the paradise of Wakatobi.
— Photos by JP/Arief Suhardiman
Arief Suhardiman, The Jakarta Post, Wakatobi, Southeast Sulawesi | Sat, 04/24/2010 9:56 AM
Saturday, March 27, 2010
Marine Meeting WWF Indonesia
18 - 21 Maret 2010 tim Marine WWF khususnya Bunaken, Kendari dan Wakatobi berkumpul di Wakatobi. Membahas PPMM. Gak ngerti khan? Sejenis workplan deh.