Monday, March 02, 2009

Seni Tenun Ikat dan Anyam Wakatobi

Melaju di Deru Perubahan Zaman
 
WAKATOBI – Percuma kalau pergi ke Wakatobi, bila hanya untuk menikmati rumpunan soft coral dan kehidupan orang laut Bajo. Karena di dalam gugusan pulau-pulau indah di kawasan Sulawesi Tenggara ini, masih tersimpan banyak daya tarik lainnya. Seperti menelusuri keindahan seni tenun ikat dan melihat pengrajin anyaman tikar lipat. 
Taman nasional laut yang terletak di tenggara Buton ini sepertinya memang sengaja terus menawarkan kemungkinan-kemungkinan baru untuk menambah arus pemasukannya. Setelah sukses dengan keindahan bawah laut dan kehidupan orang Bajo, mereka mencoba menggagas kemungkinan wisata kerajinan yang bisa menjadi salah satu simbol kemudian hari di Wakatobi.

Mungkin nama sarung Wuray kurang terdengar akrab di telinga, apalagi anyam tikar dari Feruke. Tapi dengan keunikannya masing-masing, kedua jenis kerajinan tradisional ini mencoba menyeruak dan meminta perhatian agar diposisikan sebagai buah tangan yang layak untuk dibawa.
Seperti juga seni kerajinan daerah lain. Hingga sekarang mungkin masih saja terdengar kendala yang merapatinya. Namun, kalau mau melihat ke depan, sebenarnya jenis wisata seperti ini memiliki pasar tersendiri yang bisa terus digeluti.

Sarung Wuray 
Sambil menanti kedatangan pick-up yang akan membawa kami ke masjid. La Mahode, pemandu kami, menawarkan mengunjungi beberapa pengrajin tenun di sana. Di Pulau Kaledupa yang teduh di serambi-serambi rumahnya, ditemui banyak perempuan yang melakukan kegiatan menenun. Salah satu rumah di utara desa kelihatan juga menyimpan satu perempuan yang kelihatan sibuk di teras rumahnya yang bertingkat dua. 
”Sarung wuray ini biasanya hanya dipakai saat ada kegiatan khusus saja. Semacam perkawinan dan acara resmi keluarga di sini,” kata La Mahode. Kain dengan motif kebanyakan garis-garis ini juga terkenal karena daya tahannya. ”Kain yang saya pakai sekarang, merupakan warisan dari nenek saya,” kata La Mahode lagi menjelaskan secara implisit kekuatan sarung tersebut. Padahal, bila melihat bahan dasar yang berupa benang kapas biasa, sarung ini cukup menakjubkan karena mampu bertahan hingga 20 tahun lamanya. 
Dengan harga Rp150 – 200 ribu kita bisa memiliki kain sarung tersebut. Namun, sayang hingga kini keberadaan sarung tersebut hanya untuk konsumsi orang Buton. Penjualan paling jauh hanya ke kota Bau-bau. Padahal kalau mau diseriuskan, bisa saja menjadi tambahan bagi perekonomian sekitar. 

Tikar Lipat 
Satu lagi kerajinan asli Kepulauan Wakatobi yang rasanya pantas untuk dibicarakan adalah seni anyaman tikar lipat. Dengan bahan dasar daun pandan yang dikeringkan, dan kemudian dianyam menjadi tikar. Banyak penduduk desa Feruke mencoba menjualnya ke turis yang biasa datang ke sana. 
”Biasanya baru setelah dijemur selama tiga hari. Daun pandan siap untuk dianyam menjadi tikar liap,” ungkap seorang ibu. Harganya juga tidak terlalu mahal,berkisar antara 25 – 50 ribu saja, kita telah memiliki sebuah tikar lipat seukuran badan orang dewasa. Rasa sejuk yang keluar saat kita tidur di atasnya, menjadi daya tarik tersendiri di tengah teriknya udara lautan di sana. (slg)

Copyright © Sinar Harapan 2003

Ritual makan karang di Wakatobi

Oleh YOSHASRUL

Makan karang dan kulit kerang bagi bagi masyarakat umum tentu sesuatu yang mustahil. Tapi tidak sebagian warga di pesisir Kecamatan Kaledupa, Kabuten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Bahkan makan karang ini seolah sudah menjadi tradisi bagi warga disana.


Laode Biru mungkin tinggal satusatunya orang yang masih menjalankan ritual makan karang di desanya di wangi-wangi, Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Wakatobi hingga kini.

Tak heran jika laode biru yang sudah berumur lebih dari seratus tahun menjadi tontonan ratusan pasang mata saat pembukaan festival pesisir di kabupaten wakatobi provinsi sulawesi tenggara.

Dalam usianya yang telah mencapai 106 tahun orang tidak akan menyangka jika pria yang telah mencapai usia 1 abad lebih ini mampu memakan karang dan kulit kerang tanpa alat bantu apapun.

Laode Biru mampu memukau para tamu undangan dan masyarakat dalam satu acara ritual di kepulauan wakatobi sulawesi tenggara tanpa mengalami hambatan apapun.

Ritual yang telah diwarisi secara turun temurun ini semula sempat diragukan oleh banyak pihak karena melihat kondisinya yang sangat tidak mungkin dilakukan pria normal manapun. Apalagi dengan kondisi gigi la ode biru yang hampir tanggal semua.

Bagi Laode Biru, ritual makan karang bukanlah hal yang Baru. Sebab kebiasaan makan karang dan kulit kerang ini telah dilakoninya sejak berumur 2 tahun. ”Tradisi ini sebagai ucap syukur kepada sang kuasa atas limpahan rejeki bagi warga di pesisir,”kata Laode Biru.

Dalam aksinya pria yang juga merupakan tokoh adat masyarakat kaledupa dengan enteng memakan karang dan kulit kerang yang sebelumnya diperlihatkan kepada orang banyak.

Tak hanya Laode Biru, seorang pengunjung yang hadir dalam acara tersebut juga ikut menyantap karang dan kulit kerang yang berada dalam genggaman La Ode Biru. ”Saya mau mencoba,”Dasman, pengunjung yang nekat itu.

Sebelumnya Ia terlebih dahulu wajib mengikuti arahan Laode Biru. Namun Ia tak sanggup. ”Keras sekali kulit kerang itu, saya tidak sanggup,”katanya lagi.

Sayangnya tradisi makan karang dan kulit kerang yang diwariskan secar turun temurun oleh pendahulunya kini tidak lagi diwariskan ke generasi berikutnya dan la Laode biru adalah pewaris terakhir yang hingga saat ini masih bertahan hidup.