Monday, October 03, 2005

Man or beast? -- the daily talk in a national park

In early September the Indonesian offices of non-governmental organizations (NGOs) the World Wide Fund for Nature (WWF) and The Nature Conservancy (TNC) invited a number of journalists to Wakatobi National Park, Southeast Sulawesi province, comprising 1.3 million hectares, mostly of sea and a few small islands. The following is a report by The Jakarta Post's Ati Nurbaiti and contributor Hasrul.

The classic argument around ecosystems and conservation is ""man or beast"" -- which one to sacrifice? -- while environmentalists insist that sustainable use of natural resources and protection of the species is, in the long term, for the good of both. 

The debate still rages on in the isles of Southeast Sulawesi, involving passionate activists, worried researchers and grumbling fisherfolk. Zoning of fishing areas and national parks, for the locals who have ever heard of these concepts, simply means a series of ""no this, no that"" a nuisance and even unwanted intervention into their livelihoods. 

The middle way is the pragmatic, firm tone of Regent Safaruddin Safar: It's all about cash. ""If we want to attract dollars to Wakatobi then we must preserve the coral. Destroy it and the fish flee, and, in turn, the tourists leave."" 

Local elections are coming up later in September and the environment is becoming a hot political issue. But the incumbent says the pro-conservation stand is the only choice for whoever becomes the new regent for the sake of the economy. 

Already in the waters around the regency of Wakatobi -- an acronym for the main islands of Wangi-wangi, Kaledupa, Tomea and Binongko -- swimmers and divers are safe from the sharks, ironically because the feared rulers of the sea have already left in the past few decades. 

The absence of the feared predators is a main indicator of degradation of the ecosystem here, experts say. 

Bloro, a resident of Kaledupa, cites how sharks were numerous in his childhood. ""My uncle caught an octopus and tied it to the end of the boat, and soon after a shark followed us and we just dragged it home."" 

Fishermen among the famed sea gypsies in Sulawesi, the Bajo people, say they now increasingly sail to the waters further south, to Flores and even Australia, in search of the sharks. The value of the fins apparently continues to lure them to sail for months, even with the threat of imprisonment by Australia's immigration authorities. 

Assessments of coral and other marine life by staff and volunteers by the ongoing Operation Wallacea environmental program here has led to its latest conclusion: The sites selected for study have clearly degraded, compared with last year. 

Locals also cite the greater distance they now must cover to get their delicacies, the best seaslugs (tripang) compared to some years ago. This may be an initial sign of locals' awareness that the greens are looking for -- that people sense they are in trouble if fishing continues at the current rate, and increasingly involving destructive methods like bombing. 

However, it seems playing catch up on the part of these environmentalists will remain the norm in the foreseeable future. 

""There are fish to be caught, every single day,"" says Veda Santiadji of WWF, citing the strong belief of locals. 

He acknowledges the need of more expertise from anthropologists and the like; marine scientists and even those working on social issues say they are bewildered at the behavior here -- today's catch and today's earnings are for today only. 

""One family earned Rp 150,000 in a day and spent it all, including on food,"" says Veda

The global rule on national parks, environmentalists have found, is that local people are the best guardians of the ecosystem, no matter how many regulations or patrol boats the authorities may have (very little, in the case of Wakatobi). Instilling local awareness of retaining the marine life for the future is therefore vital, but the sense here is that high expectations are thrown on the shoulders of the communities alone, without much government support. 

""The locals can't be expected to guard the surroundings by themselves,"" a resident said. ""It's just not fair; we might refrain from fishing in a certain zone but then our neighbor does it and gets away with it."" 

Authorities know what they are up against. Regent Safaruddin says the budget allocates a mere Rp 25 million for patrolling the 1.3 million-hectare area; hence the heavy reliance on big international NGOs like WWF and TNC and their speedboats. 

The law on coastal areas is new, the maximum penalty being five years jail and a hefty fine of Rp 100 million for violations. ""Our approach is mostly giving information and being persuasive,"" says police patrol official La Fasa. 

On one bumping patrol trip through the long coral reefs of Karang Kaledupa, the speedboat stops besides a fairly large boat, belonging to Haji Sana, who's on the deck with his wife and other crew members. La Fasa steps up to approach the big, burly, dark man in a friendly manner, whose eyes dart suspiciously at La Fasa in his green uniform and the blue uniform of forestry policeman Murgiono. Then a few reporters augment the interrogation party and Sana gets worked up: I think he may push us off the boat! 

At La Fasa's question on whether he has a permit, he barks, ""I've been fishing all these years and I've never had to look for permits!"" ""But you should know"", Fasa says gently, ""that when you use a fishing boat like this you must have a permit."" 

He goes along to explain about the national park and Sana retorts he has never heard of it. ""Our catch is worth only so much and the permit is some Rp 100,000!"" 

There is no ticketing or anything and our group leaves after La Fasa and Murgiono feel they have shared enough information and understanding. Sana manages a hesitant smile when we wave, and La Fasa sighs later: ""Sometimes it's as though the supervision of the whole park depends on a few patrol men like us."" 

The current signs are that they might have lots of rest in the coming weeks; a quota policy on fuel has been introduced as the the impact of the fuel shortage has crept even into these waters.

The Jakarta Post ,  Jakarta   |  Tue, 09/20/2005

Sunday, October 02, 2005

Wakatobi dalam Transisi

Jaman Beralih, Musim Bertukar 


Oleh
Adi Seno

WANCI – Perubahan! Itulah satu-satunya yang pasti dalam hidup ini. Dan orang Bajo menyiasati perubahan dengan kehidupan nomadik. Inilah mengapa mereka disebut juga “gypsy laut”. Bagi Chris Major yang sudah sepuluh tahun bersama orang Bajo bahkan beristrikan “orang laut” itu. Ini tantangan! Pasalnya, jika alam rusak, mereka pun minggat.
Ilmu perikanan itu bukan ilmu pasti, demikian Duncan May mengingatkan. Peneliti bergelar doktor ini sudah lima tahunan meneliti di Wakatobi. Ia menjelaskan indikator yang menentukan kurang tidaknya ikan di Wakatobi. “Persepsi masyarakat (melalui penelitian sosiologi) bahwa jumlah tangkapan ikan berkurang,” jelas Duncan yang merupakan wakil dari Wallacea Trust. Data hasil tangkapan pun menunjukkan yang didapat ikan-ikan usia muda. 
Rantai makan yang menjadi landasan siklus hidup untuk di Wakatobi membutuhkan terumbu karang. Sayangnya, terumbu sudah dirusak lewat racun ikan dan bom. 
Racun memabukkan ikan, juga sekaligus merusak terumbu karang. Terumbu itu tempat tinggal dan tempat mereka mencari pangan. Sedangkan, bom selain mengambangkan ikan, juga menghasilkan bongkah karang yang berguna untuk fondasi rumah.
Bagi Chris Major, saudaranya orang-orang Bajo inilah yang harus disadarkan mengenai pentingnya melestarikan sumberdaya laut. Walau mereka hanya sepuluh persen dari jumlah penduduk, menurut Chris Major, peran orang Bajo dalam perikanan sangat besar. Ia bahkan berani menyebutkan 90 persen kegiatan perikanan dilakukan orang Bajo. Ini dengan sendirinya peran mereka dalam overfishing serta praktik perikanan yang merusak juga besar.
“Jadi upaya konservasi harus melibatkan orang Bajo, tanpa mereka mungkin tidak akan berhasil,” ujar Major di Sampela (3/9), desa terapung di lepas pantai Pulau Kaledupa.
Sulitnya mengubah pandangan orang Bajo diungkap Joanna Swiecicka, peneliti antropologi di Sampela yang berasal dari Polandia. Ia menjelaskan, 

mengenai kepercayaan akan umbu mari laut yang selalu akan memberikan ikan lagi pada orang Bajo. Konsep konservasi susah diterima sehingga upaya membatasi perikanan dengan membuat daerah larang tangkap ditanggapi orang Bajo hanya sebagai kepentingan turis asing, bukan untuk mereka.
Major lebih lanjut menjelaskan bahwa orang Bajo, walau sudah memiliki kampung di Sampela, masih punya kecenderungan pindah. Sekarang ini banyak yang berangkat ke Timor. “Jika mereka sudah siap maka keluarga pun dibawa,” katanya.
Bukti omongan Chris Major didapat ketika melakukan kunjungan ke Mola Selatan. Ini juga desa yang mayoritas orang Bajo. Letaknya di bagian kota Wanci, Ibu Kota Kabupaten Wakatobi di Pulau Wangi-wangi. Di sana rombongan wartawan dari Jakarta dan Kendari berjumpa dengan Jufri, pria berputra tiga yang semuanya sudah di sekolah menengah atau lebih tua lagi. Ia sedang menyiapkan kompor untuk dipasang di perahunya. Rencananya dalam tiga hari sejak 5 September lalu, ia akan memulai perjalanan kesekiannya ke Timor.
Pelayaran sendiri akan makan seminggu. Di sana ia akan melanjutkan lagi ke perairan Australia. Rencananya akan menangkap hiu untuk mendapatkan “ekor”-nya. Menurut Jufri, “ekor” (sirip) ini bisa dijual sekilo mencapai Rp 1 juta lebih ke juragan di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Dalam perjalanannya ke sana ia bisa menangguk Rp 33 juta.
Jufri juga mengakui sudah tiga kapal ditangkap di Australia. Kerugiannya diperkirakan satu kapal Rp 10 juta. Jadi Jufri yakin jika ia bisa lolos sekali saja sudah impas, apalagi jika dua kali lolos, pasti untung. 
Dia sendiri mengaku tidak ada niat menjual rumah batunya yang berdiri kokoh di atas fondasi batu karang. Anak-anaknya yang menempati rumah itu untuk melanjutkan sekolahnya. Namun, ia juga mengaku bahwa tetangganya sudah banyak yang berlayar “lama” atau “merantau” ke Timor. Bahkan, dia menyatakan 30 persen lebih orang di Mola Selatan sudah meninggalkan kota itu.

Seperti kata pepatah Melayu “zaman beralih, musim bertukar,” maka bagi orang Bajo jawabannya gampang saja. Mereka merantau mencari tempat-tempat di mana “umbi mari laut” masih menyediakan ikan bagi mereka. Jika itu di perairan Australia, jadilah! (*)

Copyright © Sinar Harapan 2003

Taman Nasional Wakatobi, Bertahan pada Dua Arus

Oleh  Adiseno

 

Wanci – Kata orang di Pulau Hoga, kalau mau ke Binongko akan menyeberang selat dengan arus deras. Begitu juga dari Pasar Wajo di Pulau Buton menuju ke Pulau Hoga, ada gelombang yang menandakan arus ke Laut Banda. Buat orang yang tak biasa melaut, goncangan ini memabukan. Sekarang pulau-pulau di Sulawesi Tenggara itu pun terguncang dua arus, konservasi dan eksploitasi.

Pulau – pulau Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko adalah pulau terbesar di Kepalauan Tukang Besi. Sekarang orang lebih mengenalnya dengan Wakatobi, singkatan keempat nama pulau itu. Ini juga karena nama Wakatobi yang dipakai ketika kawasan seluas 1,39 juta hektare ini dijadikan taman nasional laut pada 1996.

Perkara taman nasional, seperti biasa dimulai dari ketakutan sumberdaya yang kaya didalamnya dijarah manusia. Hutan yang takut habis di darat sudah dari zaman kolonial dipagar-pagar dengan ketentuan hutan lindung. Sayangnya, baru zaman kemerdekaan pada kawasan yang jauh lebih luas lautannya seperti Kepulauan Nusantara kita ini, pelestarian kawasan laut dilakukan.

Salah satunya yang terbesar adalah Karang Kaledupa. Berada 10 mil laut ke barat dari Wakatobi. Ini yang bisa dilihat mata telanjang oleh orang darat dari atas kapal. Jika mau menyelam, situs penyelaman di Wakatobi sampai ratusan jumlahnya. Bahkan ada orang Swiss Lorenz Mader yang membuka resor penyelemanan lengkap dengan bandar udara perintis, yang melayani turis kaya langsung dari Bali.

Juga ada Operation Wallacea (Opswal) yang menyediakan kesempatan bagi ilmuwan dan mahasiswa yang mampu bayar 2000 poundsterling (Rp 37.808.000, - dengan kurs Rp 19.805,- /poundsterling) untuk belajar dari alam kita yang kaya. Ini di Pulau Hoga. Setiap musim pembelajaran yang lamanya tiga bulan bisa seratusan mahasiswa dan peneliti yang datang. Ini sudah berjalan lima tahun, begitu yang dijelaskan John Coop, direktur operasi Opswal.

Bagi awam seperti saya, ini indikasi bahwa memang ada sesuatu yang indah dan perlu dilestarikan. Perlu lestari sendiri diperkuat oleh Duncan May, seorang peneliti yang sudah tahunan di Wakatobi. “Keadaan tangkapan menurun, bisa dilihat jika predator pada rantai makan berkurang,” jelas dia dengan sabar. Maksudnya sekarang ini kalau berenang selepas pantai Hoga tidak bakal lagi ketemu ikan hiu. Padahal hal ini ketika May pertama meneliti bukan hal yang heboh. Jika hiu sudah jarang maka artinya populasi bawah laut juga langka, begitu kira-kira maksudnya.

Ini lah arus pertama yang sudah hampir sepuluh tahun melanda Wakatobi. Arus ini bagi para peneliti konservasi di Wakatobi dinilai lemah. Coba saja tanya pada para petugas taman nasional, pada anggota World Wide Fund for nature (WWF) dan The Nature Conservancy (TNC) yang bergerak dibidang itu disana. Veda Santiaji (WWF), Purwanto (TNC), La Fasa (Polhut), Murgianto (juga Polhut) semua khawatir akan kelestarian bawah laut di Wakatobi. Mereka rata-rata disana sudah selama Duncan May.

 Arus Baru

Kira-kira dua tahun lalu datang arus baru. Entah apa arus ini masih jadi tanda-tanya. Ada undang-undang no 29 tahun 2003 tentang pembentukan Kabupaten Wakatobi. Yah, luasnya seluas 1,39 juta hektare, sama persis dengan luasnya taman nasional. Dan pemilihan kepala daerahnya yang direncanakan Juni ditunda jadi 20 September mendatang. Biasanya, pemerintah daerah dan pimpinannya akan mengarah pada peningkatan kesejahteraan yang kerap identik dengan eksploitasi.

“Saya yakin bisa sejalan,” begitu ujar Sarifudin Safaa pejabar bupati yang bertugas mempersiapkan kabupaten baru ini. Ia optimis pemerintah daerah bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat jika bupatinya mengutamakan konservasi. Demikian diutarakannya di Kaledupa ketika ditemui wartawan. “Saya optimis jika pimpinan mendahulukan konservasi. Hanya itu dan pariwisata.” Demikian Safaa (3/9).

Duncan May pun sepakat. Bisa jadi seperti “dua arus” bertemu seperti dalam ilmu kelautan dimana jika arus panas dan dingin bertemu (Kuroshiwo, contohnya) maka hasilnya jadi lokasi ikan. Richard Unsworth peneliti dari Essex University di Inggris yang jadi pendamping mahasiswa pun sepakat. “Ada kelompok Forkani yang merupakan kumpulan petani rumput laut. Mereka mulai merasa terganggu dengan adanya pengebom dan racun ikan. Jadi mereka mulai bertindak.” Maksud Unsworth masyarakat sendiri mulai menerima perubahan akan kebutuhan konservasi bukan hanya eksploitasi. Jadi ia dan Duncan juga berharap pemerintah daerah pun menerima yang sama. 

Copyright © Sinar Harapan 2003